RESHUFFLE atau pergantian menteri kabinet selalu mewarnai pemerintahan di Republik Tercinta Indonesia. Itu berlaku hampir di setiap rezim. Motifnya pun beragam. Ada yang dipengaruhi faktor kecakapan menteri bersangkutan, ada juga motif politik, khususnya dukungan partai politik.
Sekarang ini, lagi-lagi isu pergantian menteri di Kabinet Kerja Joko Widodo ramai diberitakan media nasional. Pemicunya adalah pernyataan PAN yang siap mendukung pemerintahan Joko Widodo, meskipun PAN tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). PAN pada Pilpres lalu sudah jelas rival Joko Widodo dan koalisinya.
Bahkan PAN mengklaim dapat jatah dua menteri, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Perhubungan. Soal ini Istana belum mengonfirmasi kebenarannya. Sampai saat ini juga belum ada pernyataan resmi dari Presiden Joko Widodo terkait reshuffle kabinet.
Kemudian 'merapatnya' PKS ke Istana Negara yang dipersepsikan sebagai sinyal PKS mengikuti langkah PAN. Utak-atik siapa menjadi menteri apa dan siapa yang digantikan pun ramai jadi perbincangan publik. Komentar politisi partai politik dan pengamat pun mulai ramai. Hangat menjadi konsumsi media.
Terkait menteri kabinet, sejak awal Presiden Joko Widodo seolah tak bisa menghindar dari pusaran politik di elit partai politik. Meskipun sebelum terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla sempat menyatakan menteri dari kalangan profesional akan lebih besar porsinya dibanding kader partai politik pendukung.
Namun Presiden Joko Widodo seolah tak berdaya berhadapan dengan partai politik yang 'lebih kuat' mempengaruhi terbentuknya kabinet. Apa yang dijanjikan pun tidak terealisasi. Alasannya, figur dari partai politik juga merupakan profesional.
Publik bisa menilai kinerja masing-masing menteri yang ada saat ini. Publik juga bisa menilai para menteri yang ada loyal kepada siapa. Baik buruknya menteri, sedikit banyak mempengaruhi citra seorang kepala negara dalam kepemimpinannya.
Kemudian jika PAN menempatkan kadernya di kabinet, sudah barang tentu pertimbangannya adalah politik. Membangun bangsa tidak harus menempatkan kadernya duduk di pemerintahan. Di parlemen pun sebenarnya bisa. Lantas apa motifnya? Tentu berada di lingkaran kekuasaan lebih menguntungkan untuk kepentingan partai politik!
Dukungan PAN tentu tidak gratis, namun ada imbal balik yang sepadan, yakni jatah kursi menteri. Jika sudah mendapat jatah kursi di kabinet, apa iya PAN tetap di KMP? Begitu juga dengan PKS.
Kalau PAN benar adanya mendapatkan jatah menteri, saya prediksi Presiden Joko Widodo tidak bakal menggusur menteri dari partai politik yang mendukungnya sejak awal Pilpres. Bisa ribut lagi. Sekarang saja PKB dan Hanura sudah meributkan soal wacana reshuffle dengan memasukkan PAN ke kabinet. Mereka menganggap PAN adalah penumpang gelap. Mereka menganggap partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla berdarah-darah dalam suksesi, sementara PAN jelas-jelas rival sebelumnya.
Presiden Joko Widodo akan bermain 'nyaman' dengan menggeser menteri dari kalangan profesional. Para menteri dari kalangan profesional hanya akan menjawab, "Jabatan itu amanah." Mereka tidak akan berani membuktikan jika mereka layak dipertahankan. Akhirnya, mereka yang dari kalangan profesional pun akan terpinggirkan.