Lihat ke Halaman Asli

Terima Kasih dari Seorang Ibu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, saya berfikir kehidupan saya akan mirip dengan Ally Mcbeal.Bagi yang penah menonton serial ini diakhir era 90-an, tentu tahu bahwa Ally Mcbeal adalah sosok pekerja keras, berpenghasilan lebih dari cukup, tinggal sendiri di apartemen bagus dan kehidupannya didominasi oleh pekerjaan sehingga praktis tidak bisa dibilang memiliki kehidupan pribadi yang bahagia. Saya berfikir saya akan menjadi sosok seperti ini, karena saat itu saya tidak berfikir akan menikah dan menjadi seorang ibu. Masa remaja dan dewasa muda saya diisi oleh sekolah dan kerja. Saya tidak punya biaya untuk bergaul dan menikmati hidup, sehingga apa yang saya dapat lakukanadalah belajar dengan baik supaya bisa memperoleh kehidupan yang baik. Bertahun-tahun, menjadi wanita karir yang sukses adalah impian saya.

Impian saya tetap tidak berubah walaupun pada tahun 2010 ada seorang laki-laki yang nekat mengajak saya menikah. Dia tidak merokok, tidak seganteng seperti bintang sinetron, tapi nggak malu-maluin juga kalo diajak kondangan, punya pekerjaan tetap walaupun tidak kaya, tidak pernah melakukan kekerasan selama berhubungan, dan terlihat sayang keluarga. Saat itu saya berfikir saya bisa hidup berdampingan dengan orang ini seumur hidup saya, sehingga akhirnya saya menyatakan setuju.

Setahun kemudian putra pertama kami lahir, dan itulah yang akhirnya membuat saya harus menata ulang rencana masa depan saya dan keluarga. Saya hampir kehilangan anak pertama kami karena dia mengidap sepsis neonatorum, yang mengharuskannya dirawat pada usia tujuh hari. Ketika itu, hari-hari kami diisi oleh tangis dan ketidak pastian. Bagaimana tidak, dokter yang menangani anak kami sudah angkat tangan. Apalagi ketika anak kami jatuh kedalam fase syok sepsis sehingga berbagai alat dan obat harus dimasukkan kedalam tubuh kecilnya. Untung suami saya bukan dokter. Dialah yang memberi saya semangat dan meyakinkan bahwa kami harus percaya dengan kuasa Tuhan, bukan sekedar data-data statistik belaka. Setelah dirawat selama 3 minggu di NICU, akhirnya anak kami diperbolehkan pulang dan dinyatakan sehat. Tapi lagi-lagi, kami pulang dengan membawa kekhawatiran. Data mengenai akan menjadi seperti apa anak yang pernah menderita sepsis, bagaikan mimpi buruk yang tak pernah berhenti. Bagi ibu lain, mengamati tumbuh kembang anak adalah hal yang wajar dan menyenangkan. Tapi bagi saya, ini hal yang mendebarkan. Saya tidak tahu apakah anak saya bisa tengkurap, duduk, merangkak atau bahkan berbicara dengan normal.

Inilah yang menjadi titik balik pada kehidupan saya. Saya jadi belajar bersyukur terhadap hal-hal kecil yang selama ini luput dari perhatian. Setiap anak saya menunjukkan perkembangan yang sesuai dengan tahapannya, tidak luput rasa syukur saya panjatkan. Selain itu, sayapun menjadi lebih bersyukur dengan segala aspek kehidupan yang sudah dilimpahkan oleh Tuhan. Saya jadi melihat bahwa Tuhan telah begitu baik kepada saya selama ini. Sayapun jadi berbenah dengan tujuan hidup saya. Saya berhenti bekerja di rumah sakit dan berkonsentrasi dengan tugas saya sebagai pendidik dan ibu rumah tangga. Pekerjaan saya sebagai pendidik membuat saya lebih leluasa mengatur pembagian waktu. Memang ada saat-saat saya harus masuk ke kelas, atau rapat. Tapi untuk urusan lain, saya bisa lebih fleksibel. Misalnya, saya lebih senang berhubungan lewat email. Karena paperless lebih baik untuk lingkungan dan kantong mahasiswa.

Terhadap materi pandangan saya juga berubah. Bukan berarti saya tidak butuh materi, tetapi saya berusaha untuk menempatkannya sebijak mungkin. Saya tidak mau itulah yang menjadi tujuan utama hidup saya. Saya juga tidak mau diperbudak olehnya. Saya belajar untuk bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang saya miliki dan berusaha untuk bahagia dengan itu. Saya punya rumah walaupun tidak besar dan cicilannya masih belum lunas. Saya punya mobil untuk mengangkut anak-anak, walaupun bukan mobil baru dan tidak bisa dikatakan keren. Saya punya pekerjaan yang baik walaupun gajinya tidak besar. Dan saya bersyukur dan berterima kasih atas keadaan saya saat ini. Yang penting, saya punya banyak waktu untuk dihabiskan dengan keluarga kecil saya.

Hampir tiga tahun yang lalu anak pertama saya lahir. Sekarang dia bahkan sudah punya adik perempuan yang lucu. Dia menjadi kakak yang sehat, cerdas, kritis dan ceriwis. Saya merasa, lewat anak inilah Tuhan menunjukkan keagungannya. Lewat dialah Tuhan memberikan saya begitu banyak pelajaran berharga.Termasuk pelajaran untuk menjadi ibu yang baik dan bertanggung jawab.

Saat ini mungkin saya belum menjadi ibu yang sempurna. Tapi saya punya beribu alasan untuk ber syukur dan berterima kasih kepada Tuhan yang sudah memberikan kesempatan saya untuk menjadi ibu dari anak-anak yang luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline