Lihat ke Halaman Asli

Aksi Mogok Dokter: Pro Kontra Itu Bahkan Ada di Dalam Diri Sendiri

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pro dan kontra mewarnai aksi solidaritas dokter yang terjadi pada tanggal 27 November yang lalu. Reaksi tersebut sebetulnya bukan saja datang dari masyarakat, tetapi juga dari kalangan intern para dokter sendiri.Bahkan jauh sebelum aksi tersebut dilakukan dan ketika masih menjadi wacana, pro dan kontra sudah ramai menghiasi forum-forum internal.

Saya sendiri, walaupun sulit memutuskan, akhirnya dengan berat hati harus menyatakan bahwa mogok memang bukan pilihan yang tepat. Walaupun saya akui, baik yang pro maupun yang kontra memiliki cara pandang yang sama dan tujuan yang sama pula, tapi akhirnya akhirnya kami berbeda dalam mengambil sikap.

Menurut saya ada beberapa hal yang menjadi alasan aksi solidaritas kemarin sulit diterima oleh masyarakat.

1. 1. Kelemahan terbesar dokter di Indonesia (termasuk saya ) mungkin adalah masalah komunikasi. Saya rasa sebagian besar laporan kasus dugaan malpraktik disebabkan oleh misskomunikasi.Kelemahan komunikasi itu terlihat dengan gamblang pada aksi solidaritas kemarin.Persiapan yang tidak matang ditambah kurangnya kemampuan mengkomunikasikan maksud kepada masyarakat mengakibatkan tidak sampainya pesan yang dibawa.Lemahnya kemampuan komunikasi juga dibarengi dengan lemahnya negosiasi dan kurangnya advokasi sejawat yang berada di lingkaran kekuasaan.Ini menyebabkan posisi kita lemah secara politik. Padahal kebijakan-kebijakan dibidang kesehatan tentu bergantung dari hal-hal tersebut.

2. 2. Paradigma masyarakat mengenai profesi dokter, saya nilai menjadi satu aspek yang sangat penting. Saya pernah membuat tulisan bahwa masyarakat masih memegang kepercayaan bahwadokter itu harus kaya, tidak boleh salah dll. Ini yang menyebabkan posisi dokter yang serba salah. Kalau dokter kaya, disebut matre. Dokter miskin disebut wajar dan tidak boleh mengeluh, karena yang dilakukan adalah pengabdian. Jadi kalau ada dokter yang demo, masyarakat menganggapnya keterlaluan, karena mengira dokter itu berada pada posisi nyaman dan tidak perlu berkutat dengan masalah manusia umum lainnya seperti ekonomi, perasaan aman ketika bekerja dll.Inilah yang menyebabkan ketika dokter mogok dan demo, yang ada di fikirannya adalah “lho, kok demo?emang kurang makmur?” atau “kurang apa lagi sih” atau “lebay ah, apa bedanya sama buruh”. Bahkan adayang bilang” demo kok pada bawa mobil” lha, emang gak boleh dokter punya mobil? Ya, dengan menyandang gelar dokter, kadang kita harus melepaskan atribut sebagai warga negara, dan mungkin atribut manusia.

3. 3. Karakteristik sebagian masyarakat kita adalah mudah terprovokasi dan gampang menyimpulkan sesuatu, walaupun tidak dilandasi oleh data yang cukup dan akurat. Itulah sebabnya acara infotainment laris manis. Itulah sebabnya, kita mudah marah-marah dan memaki ketika menyangkut hubungan bilateral dengan Malaysia. Padahal penduduk Malaysia nya sendiri adem-ayem. Kitapun heboh dan misuh-misuh dengan perilaku Australia. Padahal berdasarkan pemaparan teman yang sedang kuliah disana, respon masyarakat Australia biasa-biasa saja dan tidak berlebihan. Entah apa yang menyebabkan karakter kita seperti ini. Saya duga bukan karena faktor pendidikan, karena banyak juga orang yang pendidikannya tinggi tapi berperilaku seperti itu. Menarik sepertinya kalau ada penelitian yang bisa mengungkap hal-hal yang melatarbelakangi perilaku tersebut.

4. 4. Yang terakhir adalah peran media. Profesi dokter, yang saya lihat, sangat mudah diintimidasi oleh dua hal, yaitu media dan pengacara. Masih ingat dengan kasus dokter yang disiram kopi? Dari klarifikasi dokter ybs, ada pernyataan bahwa pelaku penyiraman mengancam akan melaporkan dokter tersebut ke wartawan dan mencemarkan nama baiknya. Ini merupakan gejala bahwa media bisa melakukan apa saja. Mungkin bukan terhadap profesi dokter saja, politisi dan selebritis pun sering menjadi korbannya. Tapi untuk urusan kesehatan, peran media ini sangat vital. Media bisa merusak hubungan kepercayaan dokter dan pasien. Pada saat aksi kemarin, ketua POGI sebenarnya sudah menyebarkan berita ke media bahwa akan terjadi penutupan layanan poliklinik ( hanya poliklinik lho, UGD, operasi dan perawatan tetap jalan), tetapi berita itu tidak disiarkan ke masyarakat. Kalau adapun sangat sedikit. Yang terjadi selanjutnya sudah bisa diprediksi.Berita tidak adanya dokter dilebih-lebihkan, tanpamemberikan klarifikasi pada masyarakat kalau layanan lain tetap buka.

Walaupun pro kontra terjadi diantara para dokter itu sendiri, saya rasa kami masih bisa saling menghargai. Tidak ada caci maki dan tidak ada yang merasa paling benar dengan pilihannya. Karena saya yakin, kami semua memiliki tujuan yang sama. Kami hanya ingin tidak banyak jiwa melayang dikarenakan dokter berhitung dengan pasal-pasal dan akhirnya memilih untuk tidak melakukan apapun. Kami juga sama-sama menginginkan sistem kesehatan yang lebih baik, supaya tidak ada yang jadi korban lagi, baik dari pasien maupun dari dokter.

Apapun, aksi solidaritas sudah terjadi. Saya berharap, masih banyak masyarakat yang dapat menangkap pesan yang kami coba sampaikan tempo hari. Bahwa dokter dan rakyat berada pada posisi yang sama, dan memiliki tujuan yang sama.

Semoga ini adalah tulisan terakhir saya mengenai aksi solidaritas kemarin.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline