Motif garis-garis putih, kuning, cokelat, dan merah menghiasi lembar kain tenun yang terpajang di depanku. Di sebuah bangunan tua yang difungsikan sebagai museum di kawasan Tanah Abang, aku menikmati pameran wastra nusantara hari itu. Museum Tekstil Jakarta, nama tempat tersebut. Sebuah tempat yang sering menyajikan tentang wastra nusantara. Namun kali ini aku bukan hendak membicarakan tentang museum ini, tetapi wastra nusantara, lebih tepatnya kain yang ada dihadapanku sekarang ini.
Kain tenun tersebut bermotif sederhana, sehingga seringkali tidak dilirik oleh para kolektor atau pun penggemar wastra, terutama tenun. Sebenarnya kain tersebut memiliki makna yang luar biasa, dan merupakan kekayaan budaya bangsa.
Tenun tersebut berasal dari Tanimbar. Dimana ya Tanimbar itu? Nah, bagi teman-teman yang kurang pengetahuan dalam geografi, Tanimbar itu salah satu daerah di kepulauan Maluku. Tepatnya di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kepulauan Tanimbar atau Timur Laut itu, terdiri dari empat pulau besar, dan puluhan pulau kecil, dengan bahasa, dan sub etnis berbeda. Empat pulau besar yaitu Yamdena, Selaru, Sulawasa, dan Fordata. Sedangkan ibukota provinsi nya ada di Saumlaki, di Pulau Yamdena.
Asal kata Tanimbar sendiri beragam pengertian. Ada yang mengartikan sebagai 'laki-laki besar', ada juga yang mengartikan sebagai 'tanah rendah', atau 'sesuatu yang baru muncul'. Sebutan Tanimbar sendiri juga bermacam-macam, ada yang menyebut dengan nama Timor Lao (sebutan dari orang luar untuk Tanembar), atau Tanempar (sebutan orang Yamdena).
Nama Tanimbar juga ditemukan di Provinsi Maluku Tenggara, tepatnya di dekat Pulau Kei. Karena itu untuk membedakannya, pulau Tanimbar yang dekat dengan Pulau Kei, sering disebut dengan Pulau Tanimbar Kei.
Meskipun Kepulauan Tanimbar kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia, di kepulauan ini, tepatnya di Pulau Yamdena, dan Larat, terdapat beranekaragam umbi-umbian, sehingga dapat disebut sebagai pusat ubi. Nah, sekarang kita kembali ke soal wastra, bukan soal ubi ya.
Wastra khas Tanimbar, dalam hal ini tenun, merupakan milik semua masyarakat Tanimbar, dan siapapun boleh menenun dengan motif-motif yang diambil dari kehidupan sekitarnya, bukan hanya milik kaum bangsawan. Karena di daerah ini, semuanya merupakan bangsawan, semuanya setara atau "Lebit Lokat" (emas untuk semua).
Pada acara diskusi tentang wastra nusantara, bertema Tenun Tanimbar, Hiyashinta Klise, atau dipanggil Shinta, pemilik bercerita tentang Tenun Tanimbar, dan tantangannya. Saat itu, kain tenun lama dan motif khas masing-masing daerah di Tanimbar sudah langka. Hal tersebut terjadi dikarenakan sudah tidak banyak anak muda yang mau meneruskan menenun dengan motif khas daerahnya, motif-motif lama sudah tidak diketahui lagi oleh kalangan muda, sumber daya alam untuk menenun sudah punah di tempat mereka, dan ada permintaan pasar dari luar Tanimbar, dan konsumen untuk menenun dengan motif tertentu yang umum.
Karena itu menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak muda Tanimbar untuk menggali kembali, dan merevitalisasi tradisi tenun khas daerahnya masing-masing, sesuai dengan tradisi dan filosofi kain. Kemudian juga bagaimana tenun Tanimbar yang penuh dengan filosofi diterima oleh kalangan masyarakat di luar Tanimbar. Misalnya seperti motif ulat seratus (ule rati) yang melambangkan proses dasar dari sebuah kehidupan, akan berbeda di setiap daerahnya. Namun karena Pulau Yamdena sebagai pulau tempat ibukota berada, dan salah satu pulau terbesar, serta banyak pengunjung dari luar Tanimbar yang datang, motif ule rati dari Yamdena lah yang paling dikenal.
Sekarang ini, tenun Tanimbar dapat ditemukan di pasar khas souvenir di Ambon, yang ternyata ditenun oleh para penenun di Pulau Seram, yang dekat dengan Ambon. Namun tenun tersebut sudah dikerjakan dengan pewarna kimia, benang yang sudah jadi, karena sudah praktis, tidak memerlukan waktu yang lama untuk membuat, dan motif yang dikenal, bukan berdasarkan daerah-daerah di Tanimbar. Ada sebuah pusat kerajinan di ibukota juga menjual tenun, namun sayangnya juga tidak jauh berbeda keadaannya dengan yang dijual di Ambon. Permintaan pasar yang besar terhadap tenun yang sudah dikenal juga menjadi salah satu alasan dijualnya tenun dengan motif daerah yang sudah dikenal.
Selain itu, membangun kepercayaan di kalangan masyarakat penenun Tanimbar sehingga tetap mau menenun, ada permintaan ataupun tidak juga menjadi tantangan tersendiri. Shinta bercerita pernah ada sebuah perusahaan tambang yang memesan tenun dengan motif khas daerah tersebut, dan ternyata sudah bertahun-tahun tidak diambil.