Lihat ke Halaman Asli

Melupakan Sejarah dengan Menghilangkan Bangunan Bersejarah

Diperbarui: 25 September 2017   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Siang itu rasa panas yang menyengat tidak menyurutkan langkah kami menuju ke sebuah bangunan tua yang sudah dijadikan bangunan cagar budaya. Lokasi bangunan tua tersebut ternyata berada di dalam sebuah rumah sakit, bernama Rumah Sakit Umum Dr.Ajidarmo Rangkasbitung. Ya, kami sedang berada di Rangkasbitung, Banten.

Rangkasbitung, ibu kota kabupaten Lebak ini merupakan salah satu daerah lama. Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, wilayah ini sudah menjadi basis pergerakan rakyat, dan menjadi kota terbesar kedua di Banten setelah Serang.

Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1945, sebelum kemerdekaan Indonesia, para pemuda Banten yang bergabung dalam Badan Keluarga Pembantu Peta (BPP) melakukan pertemuan di salah satu rumah tokoh di Rangkasbitung untuk membicarakan kemungkinan Indonesia merdeka dan mengirimkan pemuda ke Konferensi Pemuda di Jakarta, 9 Agustus 1945.

Rangkasbitung berasal dari kata Rangkas berarti Patah dan Bitung yang merupakan nama pohon bambu. Konon pada masa dulu, ada sebuah pohon bambu besar yang rindang dan mengeluarkan sumber air untuk digunakan oleh penduduk sekitarnya namun tidak pernah habis. Oleh karena itu, penduduk pun menganggap pohon bambu tersebut keramat. Penduduk kemudian mulai menyembah dan meminta apapun pada pohon bambu tersebut, sampai seorang kiai sampai di daerah tersebut. Sang kiai pun menasehati para penduduk untuk tidak menyembah dan meminta apapun pada pohon bambu karena dianggap musyrik.

Sayangnya tidak ada satupun penduduk yang mendengarkan sang kiai. Tiba-tiba, datanglah angin yang besar dan mematahkan pohon bambu bernama Bitung tersebut. Sejak itu pun wilayah tersebut dinamakan Rangkasbitung, atau pohon bambu Bitung yang patah.   

Itu kisah legenda asal muasal Rangkasbitung. Kembali ke bangunan cagar budaya yang berada di Rangkasbitung, kami pun masuk kedalam rumah sakit untuk bisa mencapai halaman belakang, atau lebih tepatnya tempat parkir motor, untuk melihat bangunan cagar budaya yang dimaksud.

Bangunan tersebut masih berdiri, tapi berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Semuanya kotor, berantakan, tidak terurus sama sekali. Hal yang paling menyedihkan, terlihat ada bangkai tikus besar yang baunya terasa begitu menyengat ketika kami mendekati bangunan, dan tidak ada satupun yang peduli, padahal berada di halaman parkir sebuah rumah sakit.  

Meskipun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, kami masih bisa membaca papan peringatan bangunan cagar budaya. Ternyata ini lah Rumah Multatuli. Multatuli (dari bahasa latin multa tuli, berarti "banyak yang sudah aku derita"), nama pena dari Eduard Douwes Dekker, seorang penulis Belanda yang pertama kali menuliskan tentang penderitaan rakyat Indonesia ketika pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Rangkasbitung, Lebak, Banten Selatan.

Melalui bukunya berjudul "Max Havelaar", terbit pada tahun 1860 di Belanda bercerita tentang pengamatan dan pengalamannya ketika menjadi Asisten Residen Lebak pada Januari sampai April 1856. Saat itu, sekitar pertengahan abad ke-19, di berbagai tempat di nusantara termasuk Lebak, pemerintah kolonial Belanda sedang menjalankan Sistem Tanam Paksa atau dikenal dengan Cultuurstelsel. Sistem Tanam Paksa ini memaksa petani-petani di Jawa untuk menanam tanaman dagang yang diperuntukkan dalam perdagangan dunia.

Tujuan sistem ini yaitu agar pendapatan pemerintah kolonial Belanda meningkat. Akibatnya petani pun dituntut untuk terus bekerja tanpa istirahat, tidak memiliki penghasilan dari hasil pertaniannya, sehingga penduduk semakin miskin dan mati kelaparan. Ditambah lagi umumnya pejabat pribumi Lebak mendukung Sistem Tanam Paksa ini semakin memperparah kehidupan rakyat Lebak. 

Kondisi inilah yang dituliskan oleh Multatuli, sehingga dianggap berlawanan dengan pemerintahan, dan berakibat dengan singkatnya masa jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak. Pada perkembangannya, buku Multatuli ini sangat terkenal di dunia, dan mendorong penghapusan Sistem Tanam Paksa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline