Lihat ke Halaman Asli

Hidup Hemat Ala Anak Kost Bukan Berarti Mengidolakan Mie Instan!

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1340516039985587760

[caption id="attachment_196694" align="aligncenter" width="464" caption="YUMMY: dengan menambahkan sayuran, tampilan mie tidak sekedar berkelas, tapi juga lebih sehat dan nikmat disantap"][/caption]

Sungguh aku merasa ngeri sendiri saat membaca salah satu postingan terekomendasi Bang Mimin hari ini. Diceritakan seorang perantauan India bernama Arsheef yang hidup sebegitu hematnya hingga rela sebulan penuh menjejali tubuh dengan produk mie instan. Sedikit kontroversial memang. Bagamaimana bisa, hidup hemat dengan mie instan sebagai solusi ternyata malah disarankan penulisnya untuk ditiru, diteladani. Hemat bukan berarti memangkas habis pengeluaran untuk asupan makan, apalagi mengabaikan nutrisi dan gizi pada menu keseharian kita.

Menabung banyak dollar untuk masa depan memang sangat diperlukan, tapi bukan berarti menomorduakan investasi kesehatan. Niatannya menabung banyak duit, yang terjadi malah menabung banyak penyakit. Padahal kita tahu nilai kesehatan jauh lebih berharga dari sekedar harta. Hanya saja, masyarakat kebanyakan masih awam akan pentingnya investasi kesehatan. Sehingga mereka sering salah kaprah hingga rela bertahan hidup dengan sekardus mie instan setiap bulannya. Kasus seperti ini sudah menjadi hal yang sangat lumrah pada anak kost di negeri kita. Dan ternyata terjadi juga dibelahan bumi Singapura?

Well, aku juga seorang perantauan, dimana hampir satu dasawarsa hidup jauh dari keluarga. Sehingga dulu juga pernah merasakan susahnya menjadi anak kost yang bertahan hidup dengan uang kiriman orang tua. Untungnya hingga kini aku tidak pernah mencandu mie instan, bahkan sejak saat SMA dimana sudah tinggal terpisah jauh dari keluarga. Bunda selalu mengajarkan hidup sehat dengan banyak makan sayur dan buah, sebisa mungkin menghindari mie instan. Dan kalaupun harus mengkonsumsi mie, aku selalu memasaknya dengan sayuran semisal, kol, bayam, wortel, irisan seledri dan bawang. Sesekali menambahkan telur ataupun keratan sosis. Yang lebih ekstrim malah terkadang sebelum diolah, mie instan rebusan pertama selalu ku buang dan kucuci bersih lalu ku masak lagi.

Kenapa air rebusan pertama dibuang dan mie harus dicuci dahulu? Ini terkait dengan kandungan zat lilin dalam mie instan. Dalam artikel yang pernah kubaca dijelaskan bahwa beberapa ahli menyebutkan mengkomsumsi mie instan secara berlebihan cukup berbahaya karena adanya zat lilin pada mie. Zat lilin digunakan untuk menjaga tekstur mie agar keras pada saat sebelum dimasak. Walaupun dalam mie instan dan mie-mie lainnya, kadar zat lilin yang terkandung sudah pasti aman karena Insya Allah sudah diteliti sama BPOM. Bagaimanapun kita harus waspada dan tetap menjadi smart consumer. Sehingga sebagai tindakan preventif, mencuci mie sebelum di olah setidaknya dapat mengurangi kadar lilin didalamnya.

Masih dari sumber yang sama, disebutkan bahwa zat lilin ini baru bisa dicerna dengan sempurna setelah tiga sampai tujuh hari ngendon diperut kita. Tergantung dari banyaknya kandungan zat lilin masing-masing merek mie yang dipasarkan. Nah lho kalau setiap hari kita menjejali perut dengan mie instan, kebayang kan gimana nasib lambung kita? Oke taruhlah misal dalam satu pekan, kita mengkonsumsi (3 bungkus mie X 7 hari) 21 bungkus mie instan. Kalau dihitung minimalnya, kita ambil yang bisa dicerna selama 3 hari, maka zat lilin itu baru bisa dicerna setelah 63 hari atau sama dengan 2 bulan 3 hari. Bayangkan, itu baru untuk satu minggu! Bagaimana kalau setiap minggunya kita terbiasa makan mie instant?

Dan masih seputar kandungan mie instan, yang tak kalah membahayakan adalah MSG berlebih pada bumbu. Bentuk vetsin kristal yang mendominasi bumbu mie instan ditengarai dapat melukai dinding lambung sehingga perut merasa sakit dan menyebabkan bakteri helicobacter pylory tumbuh dengan pesat di luka yang timbul. Kemudian memicu pembesaran pada luka sehingga kita akan sering merasa perih seperti menderita maag. Karena itu ketika kita sangat lapar dan memutuskan memilih mie instan sebagai solusi yang terjadi kadang perut terasa perih. Kalau dibiasakan bisa menimbulkan gastritis.

Yang perlu diperhatikan juga bagaimana cara memasak mie instan yang sesuai standard. Dalam kemasan bungkus mie instant, semua menganjurkan agar memasak mie dahulu baru menaburkan bumbu dimangkok ataupun pirin saji. Tapi seringkali kita membiasakan membumbui mie instan saat mie mendidih diatas kompor. Dengan alasan bumbu lebih menyatu dan berasa selangkah lebih lezat. Padahal jika bumbu ber-MSG dimasak diatas suhu 120 derajat Celsius akan berpotensi menjadi Karsinogen pembawa Kanker yang mematikan. Kelihatan sepele memang, tapi prosedur ini sudah selayaknya diketahui banyak orang. Sehingga kita sebagai konsumen tidak dirugikan.

Lebih jauh, MSG alias monosodium glutamat merupakan asam amino esensial yang hanya dibutuhkan dalam kadar yang sangat kecil. Maka jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih akan menyebabkan toksikotoksik yaitu meluruhnya sel-sel seperti sel saraf dan dapat mendegenerasi sel saraf sehingga kita akan merasa lebih bodoh dan kesulitan berpikir akibat hancurnya sel-sel saraf diotak secara perlahan. Hingga tak mengherankan, jika dokter juga sangat menyarankan Ibu hamil untuk menghindari komsumsi mie instan dan makanan ber-MSG yang membahayakan pertumbuhan otak janin.

Itu hanya sedikit yang bisa kuingat dan kutuliskan, dan jika dikuliti lebih dalam lagi tentang bahaya mie instan sudah pasti akan membuat kita berpikir dua kali untuk mengkonsumsi produk ini. Karena sebenarnya yang paling berbahaya dari eksistansi mie instan sendiri adalah kandungan pengawetnya, baik pada mie, bumbu, saus, maupun minyaknya. Kita sudah sama-sama tahu bahaya natrium benzoat yang digunakan sebagai pengawet makanan. Bahan pengawet disinyalir akan merusak ginjal kita bahkan kita dapat terkena diabetes karena gula darah didalam darah akan meningkat. Konsumsi pengawet yang berlebihan memicu kerusakan pada hati sehingga tidak dapat menghasilkan insulin dari sel betanya. Tidak hanya berhenti disitu, bahan pengawet juga dapat merusak sel-sel saraf kita. Dan kita akan menjadi bodoh akibat mengkonsumsi mie berlebih. Kalau sudah begini, masihkah kita bersikukuh menomorsatukan mie instan sebagai menu diet harian? Hanya karena murah dan sedap disantap lantas kita mengabaikan harga mahal yang harus dibayar di hari tua, ketika mendapati kerusakan hati dan otak karena mengkonsumsi mie secara berlebih.

Kenyataannya kita tidak harus menunggu tua untuk melihat dampak negatif mie yang dikonsumsi secara berlebih. Banyak kasus seputar mie yang sempat menghias surat kabar lokal maupun nasional. Seperti kasus Hilal pada 2009 lalu misalnya,  sungguh berita itu masih menghantuiku. Di tabloid Nova yang pernah kubaca, mie instan yang menawarkan kelezatan instan telah membuat si kecil Hilal sebegitu menggilai mie instan. Sehingga diusianya yang baru genap 6 tahun, ia dipaksa menelan pil pahit sebab ususnya bocor dan mengalami pembusukan sehingga harus dipotong. Bahkan karena sangat parah, dokter mengamputasi usus Hilal sekitar 10 cm dan ini dilakukan setelah dua kali operasi pemotongan. Sangat miris dan mengerikan bukan?

Dan cerita yang tak kalah mengerikan juga kudapati diportal berita maya, diceritakan seseorang yang berusia 48 tahunan tapi sudah 4 tahun terakhir ini kemana-mana selalu membawa alat (maaf) pengganti anus. Lagi-lagi karena usus bawah sampai dengan anus telah dipotong sebab sudah tidak bisa dipakai lagi. Pasalnya dengan alasan ekonomi, sewaktu mahasiswa dia terbiasa mengkonsumsi mie instant secara berlebihan. Bagian usus yang dipotong tersebut adalah tempat mengendapnya bahan pengawet yang selalu ada di setiap mie instant. Dan menurut penelitian, banyak mie instan yang beredar menggunakan borax yang biasa digunakan sebagai pengawet untuk mayat. Walhasil menimbulkan pembusukan dan masalah serius pada usus.

Kasus lain masih dari portal yang sama, adalah seseorang yang terkena kanker getah bening. Dia berobat selama hampir 1 tahun di Singapore hingga menghabiskan lebih dari 1 Milyar pada tahun 1996 sampai 1997. Setelah diselidiki, ternyata dia terbiasa mengkonsumsi Indomie plus korned selama 4 tahun terus menerus setiap hari. Mirisnya kebiasaan ini dilakukan karena karena istrinya sibuk kerja. Menurut dokter yang menangani, penyebab utamanya adalah pengawet yang ada di Indomie dan korned yang dikonsumsi. Berkaca dari kasus ini, semoga kita lebih berhati hati dalam mengkonsumsi mie instan. Sehingga tidak lagi mengidolakannya sebagai makanan utama dalam menu keseharian kita. Apapun alasannya, mencegah lebih baik daripada mengobati. Dan membiasakan hidup sehat sejak dini adalah kunci MUTLAK untuk tetap sehat.

Sebagai pamungkas kata, semoga artikel ini sedikit banyak membawa manfaat bagi segenap pembaca. Penulis sekedar melempengkan pendapat bahwa yang hemat tak selamanya membawa nikmat. Sehingga begitu tergelitik untuk secepatnya menuliskan dampak negatif mengkonsumsi mie instant berlebih dan cara mengurangi bahayanya. Kepada anak kost dan perantauan, berhemat memang tidak ada salahnya. Yang salah adalah ketika kita menjadi pelit untuk mengeluarkan biaya lebih demi asupan gizi yang lebih baik dan menyehatkan. Dus, untuk hari ini dan seterusnya, mulailah melakukan pola hidup sehat dengan memperbanyak makan buah dan sayuran, dan sebisa mungkin menghindari makanan yang instant. Dan buat Bunda Kompasiana, luangkanlah waktu untuk memasak sendiri dirumah. Makanlah mie instan hanya sekedar selingan, bukan sebagai menu harian. Bagaimanapun, asupan gizi dan nutrisi sehat keluarga adalah bagian dari tanggung jawab Bunda. Sebagai Bunda hebat, memberikan asupan instan pada anak dan keluarga tentu bukan pilihan yang bijak.

[caption id="attachment_196700" align="aligncenter" width="374" caption="MIE HIJAU INSTAN: ditengarai lebih sehat dari mi instan pasaran, bagaimanapun kita harus tetap berhati-hati"]

1340517063617338050

[/caption]

Gambar dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline