Perjalanan kehidupan tahun 2020 ini terasa sangat berat, hal ini karena segala aspek kehidupan manusia terdampak Virus Covid-19. Efeknya, dalam kehidupan manusia baik ranah sosial, ekonomi, dan budaya dipaksa menjalankan "kehidupan normal yang baru". Dalam ranah sosial kita terpaksa menjalankan interaksi sosial yang berbeda, dengan menerapkan jaga jarak, memakai masker dan meminimalisir kontak dengan yang lain. Dalam ranah budaya, efek pandemi virus Covid-19 menjadikn kebiasaan-kebiasaan baru dalam masyarakat untuk meningkatkan kebersihan dan kesehatan pribadi.
Namun, yang paling menyebabkan efek terbesr dan terberat adalah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Dampak pandemi yang memicu adanya kebijakan lockdown di banyak negara maupun daerah menyebabkan mandegnya kegiatan ekonomi. Dengan mandegnya kegiatan ekonomi ini, menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang negatif, bahkan dapat memicu adanya resesi ekonomi. Sejak merebaknya pandemi Covid-19 ini, banyak perusahaan menjadi bangkrut, PHK karyawan, pemotongan gaji atau turunya daya beli masyarakat telah menyebabkan adanya peningkatan jumlah angka kemiskinan di masyarakat.
Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikeluarkan pada pertengahan Bulan Juli, mencatat bahwa pada bulan Maret telah terjadi peningkatan jumlah angka kemiskinan sebesar 1,63 juta jiwa daripada Bulan September 2019. Pada Bulan September 2019, BPS mencatat angka kemiskinan di Indonesia sebesar 24,79 juta jiwa menjadi sebesar 26,42 juta jiwa pada bulan Maret 2020. Angka ini diperkirakan terus meningkat pada Bulan Juni, Jull dan Agustus karena masih lambannya pertumbuhan ekonomi dan masih banyaknya PHK karyawan yang dilakukan oleh perusahaan.
KEBIJAKAN YANG TEPAT
Dalam penanggulangan Covid-19 kita tidak hanya berfokus pada peningkatan kasus pasien positif dalam masyarakat saja, akan tetapi juga, fenomena lain yang terjadi dalam masyarakat sebagai dampak pandemi Covid-19, seperti peningkatan angka kemiskinan, mobilitas masyarakat secara yang masif, serta kerawanan keamanan. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ternyata memiliki dampak ekonomi yang luar biasa dalam masyarakat.
Ketika pemerintah mengeluarkan kebjakan PSBB di awal pandemi, pemerintah pusat telah siap dengan membuat paket kebijakan sosial ekonomi dalam penanggulangan Covid-19 serta dampak ekonominya kepada masyarakat. Kebijakan sosial ekonomi tersebut antara lain pemberian sembako, keringanan tagihan listrik, restrukturisasi kredit, serta penyaluran bansos berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) kepada masyarakat terdampat. Bahkan terakhir, pemerintah juga mengeluarkan paket kebijakan Bantuan Prakerja dan Bantuan Kepada karyawan yang bergaji di bawah lima juta rupiah.
Namun penyaluran bantuan kepada masyarakat yang berhak tak berjalan mulus. Pendistribusian warga penerima bantuan sosial yang terdampak wabah Covid-19 menuai sejumlah persoalan. Mulai dari pendataan, distribusi yang tak tepat sasaran, serta lambatnya penyaluran bantuan sosial. Persoalan itu pun memicu polemik vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Masalah klasik yang sering terjadi di lapangan dalam skema bantuan ialah ketidakakuratan data penerima bantuan. Terkait hal tersebut, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil beberapa waktu lalu mengatakan, pemerintah pusat tak punya basis data yang terintegrasi karena tiap kementerian memiliki survei data sendiri-sendiri. Akibatnya, data yang dimiliki pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak sinkron. Masalah pendataan juga dialami Pemprov DKI Jakarta. Gubernur DKI Anies Baswedan sendiri mengakui masih ada bantuan yang tak tepat sasaran akibat terkendala pendataan.
Tepatkah kebijakan pemerintah ini dalam menaggulangi dampak penyebaran Covid-19 serta menekan angka kemiskinan? Menurut penulis, kebijakan yang diambil telah tepat dan sesuai dengan kondisi keuangan yang dihadapi oleh pemerintah. Sebagai langkah awal, pemberian bantuan langsung kepada masyarakat dapat menolong perekonomian warga negara terdampak Covid-19.
Selain itu, untuk meringankan beban pengeluaran rumah tangga terdampak pemerintah memberikan kelonggaan-kelongaran terkait kebijakan moneter dan fiskal, serta pemberian bantuan non tunai berupa bahan sembako dan pangan yang merupakan kebutuhan mendesak ketika masyarakat tak memiliki penghasilan dapat menolongnya dari kelaparan.
Kebijakan yang diambil pemerintah ini tentu telah memenuhi prinsip-prinsip kebijakan publik dalam rangka membatasi penyebaran virus Covid-19, namun di sisi lain pemerintah juga berusaha menekan peningkatan angka kemiskinan yang terjadi. Terkait dengan masih adanya kekurangan teknis sebagaimana disebutkan di atas, memang harus diperbaiki dengan penyediaan data yang terintegrasi pada semua lembaga pemerintah yang ada.