Lihat ke Halaman Asli

Negeriku adalah Negeri "Pengemis"

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_111559" align="aligncenter" width="488" caption="Pengemis Tua. Sumber: Google Search Engine"][/caption] Miris dan malu rasanya hati ini setelah menyadari bahwa sebagian penduduk Indonesia berprofesi sebagai "pengemis". Profesi yang satu ini ditemui hampir di setiap sudut Indonesia, mulai dari pasar, terminal, stasiun, persimpangan lampu merah, warung tenda, pinggir jalan, bahkan sampai di perkantoran pemerintah dan gedung bundar senayan sana. Fenomena meminta-minta disebabkan karena dirinya selalu merasa "miskin" dan kekurangan, mungkin juga karena keengganan untuk bersusah-payah sedikit, dan yang lebih parahnya lagi karena mengemis itu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu saja, orang yang mampu pun banyak yang menjalani profesi ini. Lihatlah bagaimana para PNS yang seharusnya melayani masyarakat tanpa pamrih di kantor kelurahan, kantor imigrasi, ataupun kantor pelayanan umum lainnya ternyata masih juga MENGEMIS uang rokok sebagai imbalan kepada masyarakat yang dilayani (sudah menjadi rahasia umum), Petugas bandara Soekarno-Hatta yang MENGEMIS kepada para TKI kita dengan mencari-cari kesalahan mereka (mas-mas dan mbak-mbak TKI mungkin lebih paham), wartawan "abal-abal" yang MENGEMIS uang bensin kepada pihak tertentu disertai dengan ancaman akan menuliskan hal-hal yang negatif terhadap pihak yang dimintai tersebut (ini juga rahasia umum), Polantas dan petugas DLLAJR yang tanpa tedeng aling-aling MENGEMIS uang damai kepada para pengendara motor dan kendaraan umum serta truk (apalagi yang ini, sudah bukan rahasia umum lagi alias semua orang udah pada tahu), hingga anggota dewan yang MENGEMIS uang jatah proyek kepada pengusaha yang ingin berinvestasi (you know lah), bahkan mungkin pemerintah sekalipun yang MENGEMIS kepada negara-negara maju untuk diberikan pinjaman (sumbernya dari sini: http://els.bappenas.go.id/upload/other/RI%20Minta%20Tambahan.htm).

 

[caption id="attachment_111560" align="aligncenter" width="486" caption="Pengemis Berseragam dari suatu Institusi Negara. Sumber: Google Search Engine"][/caption] Mengemis memang wajar dilakukan bagi orang yang betul-betul tidak mampu untuk sekedar bertahan hidup, apalagi hidup di Negara yang pemerintahnya juga tidak peduli dengan keberadaan mereka. Terlebih lagi penduduk miskin di Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek oleh politisi untuk berkampanye, mulai dari PEMILU, PILKADA, PILKADES, maupun PIL-PIL yang lainnya. Sepertinya mereka dibiarkan agar secara struktural selalu tetap miskin sehingga para pejabat negara dapat menjadikan mereka sebagai "ladang amal" dengan membagikan sisa "remah-remah kue APBN". Tetapi kepada aparatur Negara yang sudah digaji dari uang rakyat, apakah mengemis itu wajar? Tidak malukah anda? Saya ingin berbagi cerita tentang seorang tukang becak di Jogja yang sangat jujur. Waktu itu bulan Desember 2009, saya bersama Bapak saya naik becak dari depan keraton Yogyakarta. Sebelum naik kami sempat bertanya kepada tukangnya berapa ongkosnya sampai ke sentra gudeg di daerah Wijilan? Dia menjawab Rp 5000. Kemudian setelah kami sepakat maka diantarlah kami sampai ke tempat tujuan. Setelah itu saya bayar ke tukangnya Rp 6000 (enam ribu rupiah). Tetapi kemudian tukang becak ini mengembalikan Rp 1000 kepada saya. Saya pun heran dan lantas bertanya "Lho Pak kenapa dikembalikan? Ini bonus kok saya ikhlas" dan tukang becak itu pun menjawab, "Nggak usah, ongkosnya Cuma Rp 5000 mas" dan langsung pergi begitu saja. Saya dan Bapak saya melihat dengan kagum dan takjub. Ternyata tukang becak itu TIDAK BERMENTAL PENGEMIS (mungkin ini tukang becak anak buahnya Bapak Harry van Yogya). Mungkin dia tidak mau disamakan dengan pengemis dan hanya mau mengambil apa yang menjadi hak-nya saja. Sungguh luar biasa. Semoga rizkinya berkah Pak. Mari Bapak-Bapak/Ibu-Ibu aparatur Negara dan juga mas-mas wartawan bodrex untuk belajar kepada para pedagang asongan, penjual koran, ataupun tukang becak seperti cerita saya di atas. Mereka semua meskipun dikategorikan sebagai penduduk miskin tetapi mereka masih punya harga diri dan rasa malu untuk meminta. Mereka memilih untuk bekerja mencari nafkah (baca:uang) karena disitulah letak keberkahan rizki yang diberikan oleh Gusti Allah. Mungkin saja uang-uang yang bapak-bapak/ibu-ibu aparatur Negara semua minta dari rakyat yang seharusnya anda layani dengan gratis, mereka kasih dengan tidak ikhlas dan penuh sumpah serapah sehingga itu menjadi "uang panas". Ingat, segala sesuatu yang panas ujung-ujungnya dapat membakar, membakar harga diri anda, membakar kehormatan anda, membakar institusi anda, dan pada akhirnya membakar diri dan anak istri anda di neraka kelak. Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline