Lihat ke Halaman Asli

Sejujurnya, Aku Hanyalah Seorang yang Pemalas yang Iri Hati

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1296097890447844408

[caption id="attachment_87500" align="alignright" width="300" caption="pose asoy saat oret-oret "][/caption] Seorang teman, cantik berhati emas, ibu dan istri tanpa cela berkata jelas, "Kupinta Google tentangmu, sudah kubaca tuntas semua temuan itu." Kemudian ujarnya lagi, "Aku jadi pertama yang beli jika nanti buku pertamamu terbit!" "Ga salah ni?," aku lantas menjerit Teman, perlu kau tahu sapaan pagimu hari itu, membuatku melayang berapa senti karena kau tahu aku bukan Dewi Lestari. Hanya memang hatimu yang emas murni membuat kami, temanmu, mengembang dengan jeli. Sekali lagi kau bertanya, "Bagaimana bisa kau menulis begitu rupa?" Aku tertegun, lantas melamun. Kujawab saja, "Kuawali dengan iri, bagaimana orang bisa merangkai kata bersari, seperti yang kau tanyakan sekarang." Jelasku sambil mengenang. Kurenungkan lagi pertanyaanmu itu, kutemukan jawaban baru. "Karena aku seorang pemalas, bahkan mungkin kelas atas. Saat nanti aku bersuami dan anak, pikirku, aku takkan berbuat banyak. Menunggu suamiku datang dan menggenggam anakku dalam dekap larut dalam bahagia dan lelap, tak mau lagi memeras keringat untuk diikat, di lain tempat, dan kau tahu benar itu. Kecuali satu. Bahwa aku tetap akan beraksara, tak peduli dimana. Menuangkan gelisah geliat hati kapan saja. Sepanjang pinta Tuhan untuk "Iqra!" tak surut, aksara tetap akan mengurut runtut. Teman, sekali lagi pencapaian ini baru setapak. Belum juga menuju kepak. Jika kau berminat, ambil kertas dan pensil cepat. Dan gerakkan, menari dengan jari, sekarang ini. Itu saja, ya, itu saja!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline