Lihat ke Halaman Asli

Iga Farah untuk Ibu

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kupotong daging iga sapi muda itu kecil-kecil. Sambil bersenandung lagu pernikahan kami dulu, Untukku dari Chrisye. “Fa, masak sup iga hari ini?” sapa ibu mertuaku. “Eh ibu, saya lagi pingin banget makan sup iga” “Wah, mungkin kamu lagi nyidam ya Fa? Aku boleh nyicip ga? Mumpung suamimu di kantor.” “Tentu bu. Kita makan siang bareng yuk.” Ku tahu benar, ibu tak bisa menolak sup iga. “Fa, aku kok kangen sayur asemmu ya. Sedep gitu.” “Ok, besok saya buat special. Khusus untuk Ibu. Mas Reno juga ga boleh coba,” timpalku. “Aduh, pastinya. Jangan sampai si Reno nyicipin,” yakin ibu. Dengan senyum, kurancang dalam diam menu sayur asem teristimewa untuk ibu, lengkap dengan tetelan sapi. ------ Lima jam kemudian, kupeluk Mas Reno yang sesenggukan. “Ibu Fa… Ibu…” semakin keras tangisnya. “Sabar Mas…” “Ini serangannya yang ketiga Fa. Kau dengar kata dokter tadi. Harapannya tipis sekali… Aku sudah berusaha menjaga Ibu sebaik-baiknya. Mengontrol semuanya. Adakah yang terlewat?” “Ndak Mas. Kau sudah lakukan yang terbaik.  Akan ada hikmahnya…” kuelus rambut halusnya sambil tak bergerak lenganku melingkar. “Kenapa sekarang Fa? Setelah beliau tinggal bersama kita. Setelah beliau tahu betapa baiknya dirimu. dan semua firasatnya tentangmu yang tidak terbukti…” Kupandang mas Reno, pria baik hatiku, sambil berbisik, “Aku mencintaimu lebih dari apapun, mas.” Sesenggukannya tak juga reda. Kusenandungkan dalam lirih, “Hanya kau Mas.  Akan kulakukan apapun hanya untuk kita. Takkan kubagi kisah-kisah makan siangku dengan ibu. Menu-menu kami yang kau larang.” Takkan kuberitahu rahasia sayur asemku yang sangat disukai Ibu. Atau sup iga lezat kami saat makan siang kemarin. Akan kusingkirkan langsung toples krupuk udang nanti sesampainya di rumah. Yang sengaja kuhidangkan di lemari makan agar Ibu bisa menyicicipinya. Dan satu lagi, sudah kuganti gula diabetic Ibu dengan gula tebu biasa sejak awal kami menikah. Karena hanya akan ada kami, dia dan aku. Farah dan Reno, itu saja. Tiada yang lain, walau itu ibu.  Seperti lagu pernikahan kami dulu, “…kau hanya untukku…” Kupeluk erat Mas Reno, tersenyumku bahagia mengingat hari esok berdua dengannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline