Pemerintah dibentuk karena ada rakyat yang mempercayainya untuk memimpin maka pemerintah harus mengayomi rakyat agar tercipta kedamaian, sejahtera, adil dan makmur. Untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah maka perlu pembagian tugas yang kita kenal sebagai trias politika yaitu Eksekutif, Legeslatif dan Yudikatif.
Semua itu diupayakan supaya ada kontrol antara satu dengan yang lainnya, tidak tumpang tindih dalam menjalankan pemerintahan dan tidak bertumpu pada satu kekuasaan sehingga tercipta
pemerintahan yang efektif dan nyaman bagi semua pihak yaitu rakyat dan pemerintahan.
Kebuntuan hukum dalam penanganan kasus Bank Centris Internasional adalah salah satu bukti bahwa ketiga fungsi tersebut tidak berjalan dengan baik dan masih tumpang tindih. Pemerintah tidak boleh membuat dua keputusan yang berbeda terhadap satu kasus yang sama.
Fakta yang terjadi Bank Centris Internasional diadili oleh dua lembaga pemerintah yaitu dengan adanya keputusan Pengadilan di satu pihak, namun di lain pihak muncul keputusan PUPN dalam perkara yang sama. Inilah yang membuat tidak adanya kepastian hukum.
Kasus Bank Centris bermula dari adanya perjanjian jual beli antara Bank Indonesia dengan Bank Centris Internasional yang dituangkan dalam akta 46 tanggal 9 januari 1998. Dalam perjanjian tersebut Bank Centris menjual promes nasabah (tagihan nasabah Bank Centris) senilai 492 miliar rupiah dan menyerahkan jaminan lahan seluas 452 hektar.
Kesepakatannya Bank Indonesia harus memindahbukukan sejumlah uang yang diperjanjikan ke rekening PT BCI 523.551.0016. BI juga tidak diperbolehkan menagih nasabah Bank Centris karena sudah ada jaminan yang telah dipasang hak tanggungan atas nama Bank Indonesia.
Namun, tanpa melibatkan Bank Centris, Bank Indonesia justru menjual cessie PT BCI kepada BPPN dengan akta no 39 tahun 1999 dibayar dengan surat hutang dari pemerintah kepada BI sebesar 629 miliar rupiah.
Atas rekomendasi dari Bank Indonesia, BPPN kemudian membekukan secara sepihak Bank Centris pada tanggal 4 April 1998 ketika perjanjian dengan Akta No. 46 masih berlangsung sampai dengan Bulan Desember 1998, dan belum ada penyelesaian sampai dengan hari ini.
Dikemudian hari akta 39 tersebut dijadikan dasar oleh BPPN menggugat dan menagih PT BCI dengan SK penetapan hutang nomor 49 serta surat paksa no 216. Namun dalam proses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Perkara No.350/Pdt.G/2000/PN.JKT.SEL tahun 2000, dengan bukti bukti hasil audit BPK terhadap Bank Centris Internasional di BI terbukti pelimpahan cessie sebesar 629 tersebut adalah cessie milik PT Centris International Bank (CIB) dengan no rekening 523.551.000 bukan cessie PT BCI dengan nomor rekening 523.551.0016
Dua amar putusan PN dan PT tidak menyebutkan siapa yang berkewajiban. Dalam pertimbangan hukumnya tertulis "bila Bank Centris Internasional wanprestasi, silahkan sita jaminannya yang sudah berkekuatan hukum tetap".
PUPN sebagai kepanjangan tangan dari BPPN seharusnya mengetahui bahwa proses pengadilan sedang berlangsung dan ada jaminan dalam perkara tersebut, bukan malah mengeluarakan sendiri keputusan paksa bayar untuk menagih Bank Centris dan pribadi pemegang sahamnya.