Pengalaman bertahun tahun menyelami kehidupan, bergaul dengan para penulis, mereka punya filosofi : "Jadi penulis syaratnya adalah banyak membaca." "membaca" dan "iqra" adalah identik tetapi beda tujuan. Membaca banyak buku buku tulisan orang adalah mengadaptasi pemikiran banyak orang. Akibatnya jadi seperti "AI" artificial inteligent berwujud manusia. Tidak pernah mempunyai pemikiran sendiri. Semua pengetahuan mereka adalah hasil copas dari pemikiran orang. Terbukti ketika terlibat diskusi pola pikir dan cara pandang sangat sulit disejajarkan atau disamakan. Berbicara tentang "segelas kopi" orang lain memikir cara menikmati. bagaimana rasanya, lebih baik dengan gula atau tidak, padahal saya sedang berusaha mendiskusikan tentang cara menyajikan mulai dari merebus air menyiapkan peralatan dst.
Semua orang bicara hasil. Tidak satu pun mau terlibat berpikir bicara proses pembiayaan dan waktu serta keterlibatan orang lain.
Al Imam Al Ghazali bikin statement : "setiap orang seharusnya punya filosofi masing masing."
"IQRA" yang dimaksud Quran adalah "membaca fenomena alam, keadaan sosial, situasi politik dan ekonomi, kondisi dan semua yang ada di dalamnya." - "membaca ayat ayat alam atau ayat kauniyah." akan melatih pikiran untuk aktif berpikir melihat kenyataan yang ada, merasakan dan memiliki pencerapan inderawi. melatih diri berpikir dengan perasaan bukan dengan pikiran. Pikiran tidak punya mata dan tidak punya rasa. Berpikir dengan rasa jauh berbeda. Manusia akan jadi lebih manusiawi.Dalam ajaran Jawa terlebih ajaran kejawen banyak menganjurkan untuk "rasa pangrasa." "belajar ngrumangsani ora biso opo opo ora ngerti opo opo" - "aja rumangsa biso" Banyak membaca buku dan tulisan orang lebih banyak mendidik orang jadi merasa paling tau, sudah bisa dan mampu melakukan semuanya. Serba tau dan serba bisa. Inilah kaitannya dengan ayat yang mempertanyakan "apakah kamu tidak berpikir."
Kebanyakan orang dan sudah jadi budaya bangsa : "ngapain capek capek mikir, sudah ada yang ngurusin." - atau "ndak deh, mikir bikin pusing."
Akhirnya sudah tidak heran lagi ketika dimana mana semua orang mengeluh nyari duit susah ketika ditawari kemudahan semuanya menolak, karena tidak wujud baru berupa teori, tidak ada orang berpikir dan mampu membayangkan kondisi dan keadaan jika tidak ada, dan bagaimana mewujudkan. Terbiasa hidup susah dan menderita karena punya pendapat memang beginilah hidup di dunia. Harus bisa menerima keadaan apa pun bentuknya. Hidup adalah masalah, karena masalah adalah hidup itu sendiri.
akhirnya slogan : "menyelesaikan masalah tanpa masalah" tetap saja meninggalkan masalah dan justru menciptakan masalah baru. masalah tetap ada dan sampai, kapan entahlah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H