Lihat ke Halaman Asli

Didik Ahmad Hamdani

mahasiswa aktif di universitas sangga buana YPKP Bandung

Akar Feodalisme Menjangkit Pada Pendidikan

Diperbarui: 28 Desember 2023   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah instrumen untuk menginvestasikan para penerus bangsa dalam hal intelegensi. Akan tetapi bagaimana mungkin dalam kelas belajar yang aktif mengembangkan potensi diri juncto kecerdasan bakal termanifestasi, apabila masih terbelenggu oleh feodalisme yang masih kencang mengikat.

Mari kita coba untuk memahami apa yang disebut sebagai feodalisme. Feodalisme merupakan terminologi yang lahir di era Romawi. Akar katanya berasal dari bahasa Latin, yakni feudum. Menurut Dictionary, feodalisme berarti sistem sosial yang berkembang di eropa pada abad ke 8 bawahan dilindungi oleh tuan yang harus mereka layani dalam perang. Hari ini, feodalisme lebih dipahami sebagai “orang-orang dalam masyarakat dianggap sebagai suatu sistem yang diatur oleh pola karakteristik hubungan.” dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikannya sebagai sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.

Singkatnya, feodalisme merupakan sebuah praktik yang mengharamkan meritokrasi. Ketika seseorang lebih takut atau segan pada orang yang berjabatan lebih tinggi ketimbang prestasi kerja, di situlah feodalisme mengakar. Hari ini, feodalisme bukan hanya menjangkit sesama kolega dalam suatu lembaga, namun juga hubungan antara siswa dan pengajar. Sebagai contoh, siswa takut untuk menyampaikan pendapat hanya karena ia berhadapan dengan seseorang yang “tinggi” jabatannya. Jika ia berlaku demikian, maka ia akan dicap sebagai murid yang tak tahu tata krama

Dalam hal ini Penulis merasa menjadi korban daripada feodalisme. Yaitu di salah satu kampus di kota bandung dalam ruangan kelas pada waktu malam hari ketika di tengah-tengah sesi diskusi, saya mencoba bertanya dalam upaya menciptakan dialektika dengan pertanyaan yang bersifat substantif mengenai “manipulasi penampilan”. Dan sangat di sayangkan jawaban dari si pengajar kurang memuaskan secara akal bahkan cenderung mengintervensi. dari jawabannya beliau mempersoalkan nada bicara ketimbang isi penyampainnya. Dan saya menyimpulkan bahwa momen tersebut adalah akar daripada feodalisme yang ditandai bahwa argumen di jawab dengan sentimen.

Dari premis tersebut Penulis mengambil sebuah konklusi bahwasannya pendidikan kita seolah-olah menghindari dari ketajaman argumentasi, jika tajam argumentasi dianggap tidak sopan. Dan seolah-olah adanya penyelendupan tujuan untuk menciptakan dominasi kekuasaan yang mutlak berada di tangan si pengajar.

Dengan adanya paham feodal pada sistem pendidikan indonesia membuat sulitnya bangsa Indonesia untuk maju. Karena feodalisme menekankan kekuasaan dengan pendekatan “top down” (dari atas). Selain itu, dikatakan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) yakni “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Lalu bagaimana seorang siswa mampu mengembangkan potensi dalam dirinya apabila dalam proses pembelajaran pun tidak menunjang siswa untuk aktif.(?)

Penulis yakin bahwa dari pendidikan mampu mengubah peradaban dan Penulis percaya bahwa suatu hari nanti belenggu feodal dapat terlepas bahkan terkubur dengan cara  mendeterminasikan gerakan perlawanan yakni dengan bersikap kritis terhadap feodalisme agar pendidikan kita dapat bermutu serta terjamin kebebasannya. Dan dari pendidikan yang bermutu tersebut dapat tercapai apabila dalam kegiatan belajarnya terutama pengajar yang pegagogis berasaskan pada semboyan pendidikan kita yang di pelopopri oleh ki hajar dewantara dengan semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Di depan menjadi teladan, di tengah bangun semangat dan dari belakang mendukung.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline