Lihat ke Halaman Asli

Usman Didi Khamdani

Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Cinta Terpendar

Diperbarui: 30 April 2024   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

JAKARTA. Sore. Langit biru. Awan berarak, menebarkan angin dingin, sisa hujan deras barusan.

Di beranda rumah. Aku masih terdiam di samping Ibu. Belum sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku tak berani menjawab. Apalagi membantah. Ibu terlalu bijak untuk kudebat.

"Asih, Ibu tidak bermaksud menekanmu, memaksamu untuk segera menikah. Pun tentang Irwan, kalau kamu merasa tidak cocok, Ibu juga tidak memaksa. Toh, Ibu juga sudah merasakan, betapa perkawinan, betapa rumah tangga yang tanpa dilandasi cinta, begitu berat terbina. Meski tidak mustahil, cinta itu pun dapat hadir seiring kebersamaan yang terus dijaga." Ibu kembali menjeda kata-katanya. Nampak kini pandangannnya beralih, menerawang angkasa. Seperti mengenangkan sesuatu. Sejarah hidupnya.


Ya, Ibu dan almarhum Bapak memang menikah tanpa didasari cinta. Mereka menikah hanya karena orangtua. Orangtua mereka yang saling berteman akrab. Mereka menikah hanya karena keegoisan orangtua yang ingin mempererat hubungan dengan saling menjodohkan anak-anak mereka: Ibu dan Bapak. Entah itu dengan atau tanpa persetujuan Ibu dan Bapak.


Meski akhirnya Ibu dan Bapak pun dapat menegakkan rumah tangga: saling menerima dan mengasihi dan pula kemudian melahirkan kami: aku; Mbak Pipit yang kini ikut suaminya dinas di Yogya; Mas Anto yang sekarang di Lampung bersama istri dan kedua anaknya; juga Wawang, adikku dan juga saudaraku satu-satunya yang masih setia tinggal bersama ibu dan merawatnya, yang juga telah menikah.


"Asih," Ibu kembali menatapku. "Ibu harap kamu mengerti. Ibu hanya mau mengingatkan bahwa usiamu kini telah lebih dari tiga puluh tahun. Wawang pun sudah menikah. Ibu sendiri juga sudah merasa tua. Ibu takut kamu lupa dengan kewajiban itu. Kamu tidak memikirkan perkawinan."


Kutatap wajah Ibu. Kutatap wajah yang mulai berkerut di sana-sini itu. Kutatap mata Ibu. Mata yang selalu menyejukkanku kala kegerahan menyergap hidupku.


Ada pengharapan yang tulus menyemburat dari mata Ibu.


Kuraih tangan Ibu yang menggeletak di atas meja yang membatasi kami.


Aku mencoba tersenyum. Meski begitu getir di bibir.


"Tidak, Bu. Asih tidak lupa. Asih juga tahu kewajiban itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline