Lihat ke Halaman Asli

Usman Didi Khamdani

Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Cerpen | Pergi

Diperbarui: 8 Maret 2020   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

...
dan seperti air
biarkan cinta mengalir
mengembara
bebas
mencari muaranya
...

KEMBALI, perempuan itu menghela nafasnya. Begitu dalam dan berat. Mencoba menyingkirkan gundah yang meresah, yang mengganjal di hatinya, menyekat segala vitalitasnya. Namun, kembali, iapun tak kuasa. Semakin ia mencoba, semakin kuat gundah itu meresah, semakin kuat gundah itu mengganjal. Hanya keperihanlah yang akhirnya, kembali, menghujami hatinya, menyayat--nyayat perasaannya.

Ya, haruskah aku pergi? Masih ada artinyakah aku menemui Yuda?

Perempuan itu beranjak dari duduknya di tepian ranjang, menuju jendela kamarnya yang masih terbuka. Ditebarkannya pandangan ke hamparan langit yang meluas sepi. Tanpa bintang. Tanpa bulan. Hanya terwarnai kegelapan. Kegelapan yang begitu pekat. Seperti kehidupannya yang dirasanya tanpa sinar. Hampa tanpa asa. Hanya keragu-raguan dan kegamangan yang selalu menyelimuti. Entah sampai kapan.

Sekian lama ia pandangi lanskap kelam itu. Mengembarai sudut demi sudut.

Sekali lagi, perempuan itu menghela nafasnya, sebelum akhirnya, meninggalkan jendela.

* * *

"MAAFKAN aku, Yud. Tapi memang itulah kenyataannya. Sungguh aku tak bisa merindukanmu lagi, Yud." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari mulutnya, dari mulut perempuan itu. Elma. Setelah sekian lama hanya menggantung-gantung di benaknya. Menjadi beban segala langkah kehidupannya. Ada kelegaan namun juga rasa bersalah yang mendalam yang terlintas dari matanya yang kini lekat menatap Yuda, lelaki di depannya yang telah sekian lama bersamanya menyusuri jalanan kehidupan yang panjang, terjal dan penuh liku. Lelaki yang pernah menjadi bagian dari sejarah hidupnya, memberinya warna dan arti yang tidak sedikit.Namun Yuda masih diam. Lelaki itu masih juga tidak berkata-kata. 

Ia masih terpaku di depan lukisan yang tergantung di dinding beranda depan rumahnya. Lukisan sepasang merpati yang terbang melintas di bawah awan pada lanskap langit merah. Lukisan yang diterimanya dua tahun silam. Lukisan yang terkirim bersama sebuah puisi yang ditulis perempuan yang datang dari tempatnya yang jauh kini di Eropa itu pada sebuah surat putih, untuknya:

...
dan seperti air
biarkan cinta mengalir
mengembara
bebas
mencari muaranya
...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline