Lihat ke Halaman Asli

Didik Sedyadi

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Cerpen: Senandung Mojang Majalengka

Diperbarui: 21 April 2016   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto dok. Ilya Syafira Z"][/caption]

Pagi pukul 06.13 .
Halaman SMP 17 masih sepi, namun Jaka telah datang. Entah karena tanggungjawab sebagai ketua kelas atau apa, pagi itu memang dirasa tak seperti biasanya. Dari tasnya ia keluarkan tugas teman-temannya. Hari ini tugas menggambar logo koperasi pelajaran IPS harus dikumpulkan.
Jaka mendesah dalam. Jarinya bergetar. Gadis kelas VIII bernama Ilya Syafira datang. Nafas Jaka tidak teratur. Ia gelisah. Malam tadi gambar buatan Ilya Syafira telah ia ambil dan ia simpan di rumah. Sekilas ia lirik gadis itu. Cantik, tenang, mempesona.... demikian bibir Jaka bergumam memuji gadis itu.
Waktu pukul 06.30. Teman-teman sekelas semakin banyak yang datang. Dengan sigap Jaka mengumpulkan tugas-tugas menggambar. Jaka menghitung. Beberapa jenak kemudian ia berjalan menghampiri Ilya.
“Ilya..... mana tugasmu, sini!” kata Jaka meminta tugas kepada Ilya. Gadis itu kaget.
“Tugas apa maksudnya?”
“Tugas menggambar!”
“Kan sudah aku kumpulkan kemarin siang... sudah aku tumpuk di situ.”
“Ngomong ke aku nggak?”
“Nggak sih.”
“Gambarmu tak ada, coba cari sendiri.... “
Buru-buru Ilya mencari tugas di tumpukan tugas-tugas teman lain. Hingga beberapa saat Ilya mencari, ia tak menemukan apa-apa. Wajahnya pucat. Keringat meruntus di dahinya.
“Tugasku nggak ada ..... Kaaa... Jakaaaa..... kemana tugasku?”
“Nggak tahu! Ya makanya aku tadi menagihmu!”
Jaka berteriak-teriak mengumumkan kalau tugas Ilya hilang, barangkali ada yang menemukan. Namun tak seorangpun yang menemukan. Ilya menangis menutupkan wajahnya ke bangku.
“Ilya ... Ilyaaa..... jangan nangis!” kata Jaka sambil mendekati Ilya.
“Aku mau pulaaang ..... takuuut.....” kata Ilya sambil mengambil tas kemudian bergegas. Jaka dengan sigap melompat ke hadapan Ilya.
“Ssst .... Ilya.... Ilya, jangan pulang! Aku akan menolongmu! Dengar Ilya.... aku akan menolongmu!”
“Apa maksudnya?”
“Ilya duduk, tenang, tasnya simpan lagi .... kamu menggambar lagi. Sabar saja.”
“Tidak bisa! Tugas itu aku kerjakan dua hari! Minggir! Jangan halangi aku!”
“Ya sudah.... Ilya, dengarkan, aku akan menggambarkan untukmu.” Kata Jaka dengan mimik serius. Ilya mengeritkan dahi.
“Menggambarkan aku?”
“Kau tahu aku jagoan menggambar kan? Aku akan buatkan kau gambar lambang koperasi. Dalam waktu sepuluh menit!”
“Oooooohhh....... benar Jaka?”
“Ya! Aku gambarkan!”
Siang itu Jaka pulang dengan hati bahagia. Ilya mau dibuatkan gambar. Gadis itu tinggal membubuhkan nama dan kelas. Sebuah taktik yang sangat jitu. Jaka mengepalkan tinjunya. Yesss! Teriaknya. Sampai di rumah, ia langsung ke kamar. Diamatinya gambar buatan Ilya yang ia ambil tadi malam. Ada rasa bahagia bisa memberikan gambar untuk Ilya. Sama sekali ia tak berfikir bahwa itu perbuatan salah, baginya adalah unik dan smart!
Seminggu kemudian gambar-gambar yang sudah dinilai. Jaka kaget ketika pagi-pagi ia disambut Ilya dengan heboh di depan kelas.
“Jakaaaa! Terima kasih! Baru kali ini gambar aku dapat nilai 93!”
“Hah? Hebat sekali! Hahaaaa!” Jaka tertawa.
“Iiiihhhhh itu kan gambar kamu, kamu narsis! Memuji diri sendiri!”
“Hahaa ya enggak lah, kan itu nilai kamu. Aku ikhlaskan untukmu Ilya....”
“Wuuuuhhh mesra banget kayak orang pacaran!”
“Ilya sudah punya pacar?” tanya Jaka memanfaatkan kata-kata Ilya.
“Nggak ah! Masih kecil.” kata sambil beranjak pergi. Jaka memanggilnya.
“Il, Ilya, tunggu sebentar....”
“Ada apa?”
“Maaf, flashdisk kemarin yang aku pinjam hilang Il, gimana ya?”
“Hilang? Haduuuh kamu ceroboh sekali sih! Tapi untung isi datanya nggak terlalu penting.”
“Terus aku harus bagaimana?”
“Data sih cuma sedikit, tapi bandul wayangnya itu ... beli di Malioboro!”
“Aku ganti ya?”
“Diganti flashdisknya? Terus bandulnya?”
“Bandulnya ada, tapi beda dikit. Niiih ..... bagus ya?”
Jaka menyodorkan flashdisk dengan bandul handycraft bertuliskan Singapore. Ilya berjingkrak memperoleh flashdisk baru dengan bandul barang dari Singapura.
“Keren banget, siapa yang baru dari Singapura?”
“Kakakku, tahun kemarin ia dikirim belajar di Singapura dari universitasnya.”
“Kakakmu pandai ya Ka?”
“Enggaaak.... biasa saja.”
“Biasa bagaimana?”
“Biasa, maksudnya nilai-nilainya biasa A saja.”
“Pantesan kamu juga pinter ..... kamu dari keluarga orang pandai ya Ka?”
Dipuji seperti itu Jaka malah mati kutu. Mulutnya terkunci. Dia bahkan semakin bingung ketika Ilya semakin menggodanya. Tapi ia sangat suka akan paripolah Ilya.
***
SMA Ganesha.
Pepatah Jawa mengatakan “witing tresno jalaran soko kulino” , artinya “bibit-bibit cinta tumbuh karena terbiasa (selalu bersama)”. Manusia memang ditakdirkan untuk mengenal cinta sewajarnya ketika bersamaan balighnya anak manusia. Usia SMP, kadang anak manusia mulai dikenalkan oleh Tuhan akan rasa-rasa aneh dan asing yang tiba-tiba datang dalam hidupnya.
Demikian pula halnya dengan Jaka dan Ilya. Rasa suka diawali oleh Jaka. Dengan gaya anak SMP, ia telah melalukan dua buah taktik yang tak pernah diketahui Ilya hingga saat ini. Satu gambar, dan satu flashdisk. Keduanya adalah ujud akal bulus Jaka, demi memiliki barang-barang Ilya Syafira untuk kenangan dirinya.
Sekarang keduanya telah SMA, bahkan satu sekolah. Gaya, penampilan, gestur, pengungkapan segala hal yanag berkait dengan rasa saling suka tak lagi menampakkan gaya SMP. Mungkin, menurut Jaka, juga Ilya, mereka merasa memiliki apa yang disebut cinta. Namun kadang mereka ragu juga.
“Ilya, kamu tahu arti kata cinta nggak?” kata Jaka ketika sore hari masih berada di lingkungan sekolah menikmati wifi gratis.
“Tinggal nyari di kamus, googling boleh, atau di wikipedia!”
“Pertanyaanya, bukan nyari di mana? Tapi tahukah kamu apa arti cinta?”
“Memang ngapain nanya masalah itu?”
“Ilyaaaaa..... jangan mbalik nanya!”
“Emang aku nanya apa?”
“Busyeeettt daah!”
“Hihihihi..... kena kamu dikerjain! Kesel, kesel soooook aah!”
“Ilya, aku serius sekarang nih....”
“Beneran?”
“Iya beneran. Serius seratus persen. Ilya pernah mencintai seseorang nggak?”
“Mencintai? Definisinya juga nggak tahu.”
“Kalau suka ke seseorang?”
“Kalau suka ya banyak laaaah!”
“Huuuh Ilya, susah banget diajak ngomong! Maksudnya, suka nggak ke teman kamu yang lawan jenis.”
“Ada sih.”
“Ya berarti itu cinta dong!”
“Waaah, aku malah jadi bingung Ka, itu bukan cinta, itu namanya suka. Kan tadi kamu juga nanya suka. Iya kan?”
“Berarti suka bukan cinta?”
“Kayaknya gitu. Tapi kalau cinta, pasti ada rasa suka.”
“Ilya, kamu ngerasa nggak kalau sejak SMP dulu aku suka sama kamu?”
“Ngerasa!”
“Kok nggak girang? Nggak teriak?” tanya Jaka heran.
“Kenapa harus girang? Kan cuma ngerasa kamu suka sama aku.”
“Aku memang suka kamu Ilya.”
“Iya, kelihatan. Kelihatan banget kamu suka sama aku. Aku tahu. Tapi biar sajalah, temanku yang lain yang bilang suka juga ada. Tiga orang malah!”
“Kalau begitu, sukanya aku tamnah, jadi cinta. Aku cinta sama kamu?”
“Iiiiiih nggak ah! Ini juga nggak ada romantis-romantisnya. Kalau cinta pasti romantis.”
“Bener Ilya, aku cinta kamu!”
“Ngaco! Jaka! Kau sendiri tadi menanyakan apa definisi cinta. Masih belum ngerti, eh malah ngomong cinta. Ya aku jawab biasa. Mungkin suka saja.”
“Jadi kamu nggak percaya kalau aku cinta sama kamu?”
“Ya bagaimana mau percaya? Definisinya saja belum tahu!”
“Ya sudah, dirasakan saja.”
Jaka sendiri kadang-kadang bingung. Dirinya suka kepada Ilya, atau cinta kepada Ilya? Itu yang ia sendiri belum tahu. Ia mengatakan cinta, ternyata Ilya biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa apa yang ia ucapkan bagi Ilya. Ingat seperti itu, Jaka suka menepok-nepok jidat sendiri.
***
Di bulan kedua ketika mereka berdua duduk di kelas XI.
Hari itu Ilya mengajak Jaka ke kantin. Ajakan gadis itu terasa sanget serius di mata Jaka. Tak biasanya gadis itu memaksa-maksa.
“Tumben Ilya, ada apa?” kata Jaka sambil memulai memakan mie ramen.
“Mau minta doa restu ke Jaka!”
“Ilya? Memangnya aku orang tua ? Pakai minta doa restu segala. Ngomong yang bener ah!”
“Maksudnya, doain aku ya Ka...”
“Ada apa Ilya? Bikin deg-degan saja!”
“Dua minggu lagi aku ikut seleksi Moka, Mojang Jajaka tingkat Kabupaten.”
“Alhamdulillaaahhh.......”
“Kok alhamdulillah? Kan suruh ngedoain!”
“Maksudnya bener perasaanku, mojang itu harus ... harus .... pinter, supel, bahasa Inggrisnya harus bagus, siapa tahu bisa jadi duta pariwisata, ya kan?” kata Jaka dengan mantap.
“Kok omonganmu bener?” timpal Ilya.
“Ya bener lah, aku serius nih! Selain itu juga harus bisa berbahasa Sunda yang paten, eh maksudku yang baku, Sunda murni, yang penuh dengan unda-usuk. Bisa kan?”
“Insya Allaaaah..... “
“Dan yang pasti, harus cantik. Dan memang benar ..... cocok itu, kamu cantik Ilya....” kata Jaka sambil memelankan suara.
“Ah bisa saja kamu Ka ...”
“Ilya, kamu memang cantik. Bener, kalau lihat cantikmu kerasa banget sampai ke hati. Lihat Ilya.... niiiih...... bulu-bulu halus di lenganku berdiri kalau lihat kamu tersenyum.. iiiiiihhhhh! Aaah!” kata Jaka sambil mengusap-usap kedua lengannya yang memang meremang ketika melihat senyum Ilya.
“Aku bisa pingsan dipuji gitu Jaka ...”
“Ilya ....... “
“Apa?”
“Aaah, nggak jadi aaaah ....” kata Jaka sembari menyuapkan mie ke mulutnya. Tapi kelihatan ia menahan tawa. Ilya penasaran.
“Harus jadi! Hayo mau ngomong apa?”
“Ilya .......... aku kagum senyum Ilya sejak SMP, sejak kita kenal dulu.”
“Ooohh.... “
“Bolehkan aku mengagumi sampai sekarang ini?”
“Aaaaahhhh Jaka ... jadi baper niiih ....... “ kata Ilya sambil tertawa membuang muka. Jaka tertawa.
“Ilya, kalau Ilya nanti bisa juara kabupaten, atau, apalah, pemenang salah satu katagori, aku akan kasih hadiah. Kejutan yang hebat, yang tak akan kamu lupakan.”
“Bener nih?”
“Iya, serius!”
“Doakan ya?”
“Buat Ilya, Jaka akan selalu doakan .......”
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Siang itu di Gedung Joeang Majalengka.
Doa Jaka akan kesuksesan Ilya terus ia lantunkan menjelang detik-detik pengumuman. Berkali-kali mata Jaka melirik ke arah Ilya. Namun ada yang menyebabkan ia menjadi gerah, di samping Ilya duduk seorang Jajaka yang tampan sebagai salah satu peserta. Beberapa kali keduanya ngobrol. Jaka menghela nafas. Ia merasakan ketidaksukaan itu.
Pengumuman telah dilakukan. Suasana riuh hingar bingar mengiringi setiap pengumuman berbagai macam katagori.
“Mojang Pinilih Remaja Tahun 2014 jatuh kepada ................ Ilya Syafira Zahraaaaa!!!!!!”
Dada Jaka berdetak keras. Dirinya bersyukur. Ilya meraih salah satu katagori penghargaan. Dari kejauhan Jaka mengabadikan dengan lensa telenya. Namun berkali-kali gambar yang ia ambil terhalang pemuda yang berada di dekatnya.
Siang hari, Jaka menunggu di depan gedung. Ketika Ilya keluar, Jaka menyambutnya dengan senyuman. Gadis itu menerima jabat tangan Jaka hingga lama.
“Ilya ...... selamat cantik, atas prestasinya.” bisik Jaka.
“Terima kasih Jaka .... tapi sayang sekali aku tidak bisa ikut ke tingkat provinsi.”
“Tidak penting Ilya .... yang penting Ilya sudah menunjukkan prestasi di kabupaten, yang tidak dimiliki rekan kebanyakan. Juga gelar katagori ini tentunya dedikasikan untuk orang tua.....”
“Tentu Jaka ......, hanya sekarang aku mau menagih janji, mana hadiahnya?”
“Harus sekarang?”
“Terserah saja... besok juga boleh.”
“Besok! Aku janji! Aku ingin besok Ilya tersenyum dalam wajah yang natural, yang aku sukai. Yang sekarang terus terang aku tidak suka, walaupun cantik, tapi cantik make-over, bukan cantiknya Ilya yang aku kenal ..... OK?”
***
Hari minggu Ilya sudah tidak sabar menunggu kedatangan Jaka.
Dua gelas syrop campolay warna hijau sudah disiapkan di teras. Hingga akhirnya yang ditunggu datang menepati janji.
“Cantik sekali Ilya ..... “ kata Jaka ketika baru duduk.
“Jaka, kamu ini sekarang aneh, sekarang sering obral mengatakan cantik, cantiik, cantiiik!”
“Heheheee.... sedang senang saja. Kamu nggak pernah ngomong aku ganteng ya?”
“Iiiih kege-eran kamu Ka!”
“Ganteng nggak Il?”
“Nggak tahuuuuuu....... mana hadiahnya Jaka?”
“Aku minum dulu ya?” kata Jaka mengingatkan.
“Oooo... aaa... iya, iya .... silakan.......”
Setelah keduanya minum dan bercakap sekedarnya, Jaka mengeluarkan sesuatu dari tas yang dibawanya.
“Ini hadiah untuk Ilya ............ “
“Benar Jaka?” kata Ilya sambil menerima bungkusan lempengan selebar folio. Ilya merasakan seperti memegang papan berpigura.
“Iya bukalah ... ini hadiah yang Jaka harapkan paling Ilya suka....”
Ketika tangan gadis itu mulai membuka, ia membayangkan bahwa yang ada dalam pigura adalah foto-foto ketika evem lomba Moka atau pas pengumuman.
Sreet! Ilya menyobek kertas pembungkus. Matanya terbelalak. Jaka tersenyum.
“Jaka? Jakaaa .... apa-apaaan ini? Ini... ini bukannya, aduuuh Jaka! Ini kan gambarku waktu SMP? Gambar lambang koperasi yang dulu hilang?” kata Ilya tak percaya.
“Iya Ilya, Ini gambar milikmu .......”
“Kena apa ada di kamu Ka?”
“Ilya, maafkan aku .... dari dulu mengagumi Ilya ..... aku ingin memiliki kenang-kenangan dari Ilya, dulu gambar ini aku ambil, tapi akhirnya Ilya aku gambarkan.”
“Jaka .... kamu nakal banget!”
“Ilya, aku bahagia tiga tahun bersama gambar buatanmu. Setiap kali sebelum tidur, aku pandangi gambarmu yang ini.”
“Kau pasang di kamar tidur?”
“Yah....”
“Jaka, sebesar itukah perasaanmu ke Ilya?” tanya Ilya hampir tak kedengaran. Mata Ilya berkaca-kaca. Jaka mengangguk.
“Kalau Ilya ijinkan, mungkin perasaan ini akan lebih besar lagi. Bahkan akan menjadi sangat besar.”
“Jaka..... “
“Aku pernah tanya ke Ilya apa definisi cinta. Ilya tak tahu. Aku juga tak tahu. Tapi aku memiliki satu perasaan yang sulit aku namai dengan kata-kata. Aku sangat bahagia Ilya, Ilya tahu betapa sejak kelas delapan dulu aku bersemangat. Aku merajalela. Aku juara umum, juga murid teladan. Ilya tahu itu semua apa? Tahu Ilya?”
“Nggak Ka.....”
“Itu semua untuk Ilya .... semua karena semangat dari kehadiran Ilya dalam hati Jaka... membangunkan motivasi belajar yang luar biasa. Biarpun aku masih kecil, belum tahu apa itu cinta. Tapi .... mungkin ini yang disebut cinta .....”
“Ka.....”
“Tapi mungkin jika Ilya kemudian hilang .... anak benama Jaka akan kehilangan segalanya. Kehilangan motivasi, mungkin niatku berprestasi salah. Tapi itulah yang aku rasakan Ilya ....”
“Kaa..... hmmh... aku jadi sulit ngomong niiih ...”
“Ilya, ketka acara penguman Moka kemarin di Gedung Joeang, Ilya tahu nggak kalau Jaka di belakang berontak. Marah.”
“Kenapa?”
“Ilya akrab dengan jajaka yang menjadi pinilih laki-laki.”
“Ohhh Rizky itu?”
“Iya.....”
“Kan aku nggak apa-apa, nggak ada apa-apa....”
“Syukurlah kalau begitu. Aku merasa cemburu. Mungkin karena cinta? Tapi nggak tahu juga....”
Siang itu apa yang tersimpan dalam hati Jaka keluar semua hampir tak ada yang tersisa. Kekaguman kepada Ilya diungkapkan secara lugas. Gadis itu sendiri memang sejak dulu juga punya rasa simpati kepada Jaka, maka ketika Jaka menyampaikan semuanya, rasa simpatinya menjadi semakin mendalam.
Setelah semuanya cukup, Jaka berpamitan.
“Mudah-mudahan hadiah ini menjadi kenangan dan penghargaan dari Jaka buat Ilya...”
“Enggak...”
“Maksudnya?”
“Maksudnya hadiah ini aku terima, tetapi ..... tetapi ..... biar Jaka saja yang simpan. Biarkah Jaka simpan di kamar tidur, kalau itu memang Jaka suka ....”
“Bener Ilya? Ilya nggak dapat hadiah dong?”
“Dapat.”
“Apa?”
“Nggak tahu ah, lain kali saja Ilya ngomong....”
“Ya sudahlaahh kalau begitu.... Ilya, jadi bener gambar ini untuk aku ya?”
“Iya, buat Jaka saja....”
“Akan aku simpan sampai tua Ilya....”
“Apaan Jaka aaaah!”
***

Islamic Centre, suatu pagi. Selang lima tahun setelah keduanya lulus SMA.
Gedung megah yang berada di sebelah selatan taman Dirgantara tampak semarak. Hari itu perhelatan pernikahan antara Jaka Lelana dengan Ilya Syafira Zahra dilangsungkan. Akad nikah yang akan berlangsung beberaa menit lagi menjadi fokus perhatian para kerabat dan tetamu.
Kedua sejoli itu telah memutusakan untuk mengarungi hidup bersama, yang dilandasi rasa suka, rasa kagum, dan cinta. Semenjak memasuki meja pernikahan, keduanya tampak tak bisa menahan senyum bahagia mereka. Hingga akhirnya detik-detik yang menegangkan bakal dilalui.
“Mas kawinnya apa?” tanya ayah Ilya sebagai wali kepada Jaka.
“Nanti ayah bacakan kalimatnya, hingga kata-kata dengan mas kawin ...., ananda akan menyampaikannya langsung. Ananda sudah siapkan tulisan.”
“Boleh begitu pak Naib?”
“Boleh saja..... sliakan”
“............... ananda Jaka Lelana, aku nikahkan engkau dengan anakku Ilya Syafira Zahra dengan mas kawin .... “ ketika sampai kalimat ini Jaka menyodorkan tulisan ke hadapan calon mertuanya. Sang calon mertua membacakan tulisan. Ilya terhenyak.
“Saya terima nikahnya putri bapak, barnama Ilya Syafira Zahra, dengan maskawin sebentuk cincn emas seberat sepuluh gram dan sebuah flashdisk berbandul wayang, dibayar tunai!” kata Jaka dengan lancarnya.
“Bagimana?”
Sah, saaah, saaaaah!!!
Alhamdulillaaaaah, terdengar gumam orang-orang di sekitarnya. Semuanya mengucapkan syukur. Jaka menutup mukanya hingga lama, sementara Ilya menunduk dalam. Beberapa sekon yang baru lewat, ia baru saja menjadi nyonya Jaka.
Ketika di pelaminan, ada waktu-waktu selang dari kedatangan tamu, Ilya mencubit lengan Jaka.
“Kak, kakak itu aneh, masa maskawin kok flashdisk?”
“Kan itu benda. Sah kan? Dengan maskawin cincin dan flashdisk, Ilya menjadi nyonya Jaka, iya kan?”
“Itu... itu .... bukannya flashdiskku yang dulu waktu SMP, yang berbandul wayang?”
“Maafkan Ilya, dua kali waktu SMP aku ingin barter, pertama gambar, kedua flashdisk!”
“Uuuuuhhhh... kakak akal bulus aaah, bilangnya hilang!”
“Yang penting sudah aku ganti.”
“Norak juga sih.....”
“Benar sayang, aku ingin antimainstream, ingin tidak sama dengan orang kebanyakan, sebab cintaku pada Ilya juga tidak seperti orang kebanyakan.”
“Kenapa?”
“Sampai tadi sebelum akad nikah, kapan kita pernah saling mengatakan cinta? Kalaupun iya, kita juga tidak yakin maknanya itu cinta. Tetapi sekarang Jaka yakin..... hari ini adalah cinta, pernikahan adalah makna cinta yang sesungguhnya .... cintaku untuk Ilya ...... ya sayang?”
“Iya sama Kaaak......”
“Ilya, aku mencintaimu ..... Insya Allah sampai akhir hayatku....”
“Aamiin Kak, Ilya juga demikian, kagum sejak dulu, hanya tak pernah ngomong. Dan hari ini, Ilya mengatakan mencintai Kak Jaka..... forever! Insya Allah forever!”
“Terimakasih Mojang Pinilihku ..... Ilya ..... Syafira Zahraaaa......”
Keduanya saling tersenyum. Matanya saling tatap sejenak.
“Hmhhhh......................... “
“Kenapa mendesah?”tanya Ilya berbisik.
“Ilya ..... aku ingin memelukmu ..... pingiiiin banget.... tapi malu banyak oraang.....” bisik Jaka.
“Iiiiiihhhhhh..... “ Ilya mencubit pinggang suaminya. Jaka menyeringai.
Menjelang siang tetamu semakin banyak. Mereka berbagi kebahagiaan dan doa untuk kedua mempelai yang mulai menapaki masa-masa bahagia. ***

Majalengka, 13 April 2016

 

*Edisi request Ilya Syafira Zahra

Rencana Cover Buku Kumpulan Cerpen Request :

 

[caption caption="Insya Allah Akhir April 2016 - beres"]

[/caption]

Rencana Isi Buku Kumpulan Cerpen Request Siswa SMAN 1 Majalengka :
CERPEN REQUEST

1. Dosen Simpanan - Request Rozica Ardelia

2. Safir Biru Cintaku - Request Shafira Aulia Rachmadyanthi (1)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline