Lihat ke Halaman Asli

Didik Sedyadi

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Novel: Zaniar dan Ahmad Hong (6)

Diperbarui: 25 Maret 2016   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok. pribadi"][/caption]

 

Link Zaniar dan Ahmad Hong episode 5  

__________________________________________________________________

6. Ribuan Masalah

       Langit semburat jingga. Lampu-lampu mercury sepanjang jalan Abdul Halim telah menyala sejak sepuluh menit yang lalu. Kelelawar beterbangan menghiasi langit yang mulai dihiasi suara adzan maghrib. Di dekat pasar lawas pedagang warung-warung tenda telah ramai melayani pengunjung.
       Zaniar bergegas. Ia melintasi lapangan pasar lawas dengan tertunduk. Beberapa saat sampai pada jembatan kecil yang menuju gang Panday. Langkah gadis itu semakin dipercepat ketika di gang itu berpapasan dengan orang-orang yang berangkat ke mushola. Hal itu dilakukannya karena sebagai anak santri tentu malu jika kalah dengan orang kampung yang biasa-biasa saja.
Sampai di depan rumah suasana sepi. Zaniar menekan daun pintu. Pintu itu tidak terkunci. Gadis itu masuk. Biasanya juga begitu. Ibunya selalu ke mushola jika pulangnya tidak kemalaman. Setelah meletakkan tas punggungnya, Zaniar ke kamar mandi membersihkan tubuhnya. Karena waktunya tanggung, setelah bersuci gadis itu shalat munfarid di rumahnya.
       Usai shalat magrib dan berdoa, Zaniar merasa lapar. Membuka tudung saji ada sepiring nasi dan sayur lodeh. Di sebelahnya ada kerupuk yang masih dibungkus plastik. Perlahan ia makan yang disediakan ibunya. Sendirian. Sudah ada perjanjian antara ibu dan anak. Jika keduanya bersama, maka akan makan bersama. Namun jika salah satu belum datang, maka yang hadir lebih dahulu boleh makan terlebih dahulu.
       Seperempat jam lamanya gadis itu makan, piringnya sudah hampir kosong. Ketika piring benar-benar telah habis nasinya, Zaniar membawa piring yang kotor ke dapur. Setelah itu mengambil sisa sayur lodeh yang masih setengah mangkuk untuk dipanaskan . Keduanya telah terbiasa dengan makan makanan yang hanya dihangatkan di hari berikutnya. Sayur yang telah dihangatkan tetap disimpan di di wajan di atas kompor. Asal tidak diacak-acak lagi, tentu sayur ini tak akan basi.
Waktu maghrib telah berlalu beberapa saat. Biasanya ibunya melanjutkan di mushola hingga ba’da Isya’. Sambil menunggu waktu Isya’ datang, Zaniar membereskan buku-buku pelajaran yang akan dibawa besok pagi. Tak lupa ia menyiapkan buku-buku latihan olimpiade matematika untuk besok siang sepulang sekolah. Bu Endang guru matematikanya, walaupun telah berkeluarga tetapi sering mengorbankan kepentingan keluarganya demi melatih Zaniar. Guru perempuan itu memang punya obsesi ingin membawa Zaniar menjuarai olimpiade matematika tingkat kabupaten Majalengka. Syukur jika bisa menembus tiga besar tingkat provinsi Jawa Barat. Melihat pengorbanan Bu Endang yang begitu besar, Zaniarpun termotivasi. Ia tidak ingin pengorbanan Bu Endang sia-sia. Maka, gadis itu memasang target menjuarai olimpiade walaupun target itu tak pernah ia ucapkan kepada siapapun. Ia tak ingin Bu Endang kecewa.
       Assalaamu’alaikum!
Terdengar salam Wartini dari depan pintu. Demi mendengar suara ibunya, Zaniar bergegas ke depan. Ia membukakan pintu.
“Wa’alaikumussalam.”
“Sudah pulang Zan?”
“Sudah Bu, sudah pulang, sudah makan, sudah shalat maghrib, sudah shalat Isya’, sudah menyiapkan buku ….”
“Wuaaah panjang sekali?”
“Biar ibu tidak nanya yang itu lagi. Kan sudah diborong tadi….”
“Ada informasi baru Zan?”
“Ada Bu. Ada dua informasi penting. Eh malah ada tiga.”
“Banyak sekali?”
“Cuma tiga Bu.”
“Apa itu?”
“Ibu masuk dulu yang tenang. Sini mukenanya Niar simpan dulu, ibu duduk , nanti kalau sudah siap biar Niar memulai ceritanya.” Kata Zaniar sambil meminta mukena yang dijinjing ibunya.
Perempuan umur sekitar empat puluh tahun itu menurut saja apa kata anaknya. Ia menggeser kursi dekat meja. Zaniar datang, kemudian duduk di kursi satunya.
“Serius banget kamu Zan?” Tanya ibunya penasaran.
“Tapi mohon ibu jangan marah ya Bu….” Pinta Zaniar sambir memegang jemari ibunya. Ibunya semakin heran.
“Ya. Ceritakan satu persatu.”
“Terimakasih Bu. Begini Bu, yang pertama Niar mohon maaf ibu, selama ini tidak berterus terang tentang kegiatan Niar di pesantren.”
“Bukannya di pesantren itu ya ngaji?”
“Bu, tadi siang Niar dipanggil Nyai Sepuh. Intinya, Niar diminta mewakili pesantren dalam sebuah lomba dalam jambore antar pesantren se Jawa.”
“Alhamdulillaaaaahhh…. anak ibu ikut lomba mewakili pesantren.”
“Ya tapi ibu jangan girang dulu, Niar itu diminta ikut lomba …. mmm…. lombaaa..”
“MTQ!” Sergah ibunya.
“Bukan Buuuu….., bukan MTQ, bukan MHQ, bukan CCQ, bukan seni kaligrafi, bukan khitobah ….. ngggg…..”
“Lalu lomba apa?”
“Niar harus menjadi wakil pesantren dalam cabang pertandingan silat!”
“Astaghfirullaaahhh…. apa Zan?!” Teriak ibunya kaget.
“Silat Bu.”
“Silat? Silat berkelahi maksudmu?”
“Yaaa… bukan berkelahi sih Bu. Silat. Seni beladiri silat.”
       Untuk beberapa jenak Wartini menatap anaknya tidak percaya. Anak gadisnya yang rajin membantu dirinya, memasak, mencuci, tak disangka bakal bercerita seperti itu. Zaniar menatap ibunya. Ia maklum ibunya kaget. Ia juga merasa bersalah selama ini ia tak pernah bercerita kepada ibunya perihal silat.
“Ibu marah ya Bu?”
“Tidak Zan. Ibu hanya kaget. Ibu tidak menyangka kamu bercerita seperti ini.”
“Maafkan Niar Bu. Selama ini Niar tidak bercerita kepada ibu.”
“Ibu hanya kecewa ternyata di pesantren kamu bukannya mengaji, tapi malah berlatih silat.” Kata ibunya melemah.
“Bukan begitu Bu. Niar mengaji Bu. Mengaji Buuuu…. masa di pesantren tidak mengaji. Niar mengaji. Begini ceritanya Bu, Sabtu sore hingga tengah malam Niar belajar tiga mata ajar, Akhlak, Ilmu Hadits dan Nahwu-Shorof Bahasa Arab. Habis shubuh hari Ahadnya hingga pukul sembilanan tidak tentu, sesuai jadwal tiap minggunya berubah-ubah. Kadang khitobah, kadang mengulang hafalan bersama-sama. Kalau ada ustadz tamu, ya mendengarkan ceramah. Nah nanti pukul sembilan sampai lohor, acara pengembangan diri. Para santri memilih kegiatan sesuai minat pada kegiatan yang disediakan pesantren. Ada olahraga seperti bulutangkis, tenis meja, dan silat. Ada yang memilih pertanian, ya pada pergi ke ladang pesantren, atau ke sawah. Yang senang wirausaha budidaya lele, ya ke kolam-kolam. Yang suka computer ya ada juga. Naaah Niar milih yang silat itu Bu.”
“Kenapa milih silat?”
“Ingin sehat dengan berolah raga Bu. Niar juga masih ingat ketika dulu Niar kecil, waktu masih tinggal di Jatitujuh pernah nonton film layar tancap, waktu film Pendekar Cantik dari Marunda itu lho Buuu…. Ibu juga nonton.”
“Kamu masih ingat?”
“Masih Bu.”
“Terus mengapa kamu dipilih mewakili pesantren?”
“Kata Ustadz Hong saya paling berbakat.”
“Bukannya Ustadz Hong itu mengajar Nahwu Shorof seperti ceritamu dulu itu?”
“Beliau juga guru silat Bu.”
“Pantaaaas …. dari biara Shao-Lin ya Zan?”
“Ah ibu bisa saja. Begitu ceritanya Bu. Nah Niar sendiri belum memutuskan untuk menjawab permintaan Ustadz Hong.”
“Kenapa?”
“Kan Niar harus minta ijin sama Ibu.”
“Ibu?”
“Iya. Terserah ibu mengijinkan atau tidak. Kalau ibu tidak mengijinkan, ya nanti saya sampaikan ke Ustadz. Kalau ibu mengijinkan ya syukur. Berarti Niar dapat mewakili pesantren. Bagaimana ibu?”
Perempuan itu tak lantas menjawab. Hatinya masih diliputi rasa kaget ketika anaknya ternyata ikut kegiatan silat, sekarang bahkan minta ijin untuk ikut pertandingan. Hingga beberapa jenak Wartini diam. Zaniar hanya bisa menunggu.
“Zan…”
“Iya Bu.”
“Ibu mengijinkan.”
“Alhamdulilllah… terimakasih Bu.”
“Yaa mudah-mudahan pilihanmu bermanfaat. Hanya satu pesan Ibu Zan, hati-hati. Pertandingan silat itu berkaitan dengan kegiatan fisik. Jangan pernah ada niat dalam dirimu untuk mencederai lawan. Lawan tanding bukanlah musuh.”
“Insya Allah Bu. Nasehat ibu Niar terima. Ijin ibu juga Niar terima. Tetapi sekarang justru Niar yang ragu, apakah Niar akan mau menjadi wakil pesantren dalam pertandingan itu apa tidak.” Kata Zaniar melemah.
“Kenapa kamu Zan?”
“Ragu.”
“Iya, ragu kenapa?”
“Niar ragu untuk melanjutkan mengembangkan silat, termasuk ikut pertandingan.”
“Iya kenapa?”
“Niar hampir membunuh orang…..”
“Membunuh?”
“Iya Bu, dua jam yang lalu Niar hampir membunuh orang.”
“Astaghfirullahal’adziiimm…….”
Zaniar menceritakan perihal peristiwa yang baru saja dialami di terminal Cigasong. Wartini mendengarkan cerita anaknya dengan seksama. Usai bercerita Zaniar diam. Ibunya juga diam hingga beberapa jenak.
“Niar tidak menyangka tendangan Niar begitu telak hingga ia langsung pingsan.”
“Tapi ada untungnya Zan. Artinya kamu bisa menyelematkan diri kamu sendiri. Bisa kamu bayangkan jika kamu tidak bisa beladiri. Entah apa yang telah dilakukan oleh kedua orang itu.” kata Wartini dengan air mata berlinang.
“Iya bu. Niar juga berpikir begitu. Tapi seandainya orang itu mati, Niar pasti harus mendekam di penjara.”
“Yaah sudahlan Zan. Semua sudah lewat. Kita syukuri saja, Allah masih melindungimu. Hanya lain kali kamu harus lebih berhati-hati. Orang itu masih mengancam, bahwa urusannya masih belum selesai. Bagaimana jika ia mengajak kawan-kawannya yang lain?”
“Ya namanya pengecut, beraninya main keroyok.”
“Zan, orang seperti mereka memang sudah tidak berpikir pengecut atau ksatria. Yang penting niatnya kesampaian.”
“Ya bu saya harus lebih berhati-hati. Nah kan gara-gara orang itu juga, uang ibu jadi terpakai. Ibu besok tak bisa berdagang.”
“Sudahlah gampang. Tidak berdagang tidak apa-apa. Yang penting untuk besok masih ada beras, ada sedikit simpanan bahan lauk pauk. Tenang saja …..”
“Terima kasih Bu.”
“Ya sudah. Tapi sebentar, kamu tadi bilang punya tiga masalah. Jadi yang mana saja?”
“Oooo itu. Yang pertama , Niar baru cerita bahwa Niar ikut silat. Yang kedua ya kasus di Joni itu, yang ketiga ibu tidak bisa berdagang.”
“Ooo ya sudah. Berarti masalah sudah klir semua.”
“Ada masalah keempat bu.”
“Apa itu?”
“Masalah keempat ini justru ada di ibu. Tapi ini masih dugaan. Niar tidak su’udzon bu.”
“Masalah di ibu?”
“Iya di ibu.”
“Masalah apa ya? Ibu malah tidak tahu.” Wartini mengernyitkan dahi. Zaniar ragu-ragu untuk bicara. Namun karena merasa bahwa semuanya sudah terlanjur, tak ada lain waktu untuk mengatakan.
“Tempo hari, kata ibu-ibu di pencucian, Niar mau dikawinkan.”
“Ooo…. dikawinkan?” ibunya justru bertanya. Zaniar ragu.
“Benarkah omongan ibu-ibu itu bu?”
“Itu yang kamu anggap masalah?” tanya ibunya sambil memperbaiki duduknya.
“Iya. Ini masalah besar bagi Niar Bu.”
“Zan. Bagi ibu ini bukan masalah.” kata Wartini datar.
“Bagaimana mungkin ini bukan masalah. Bagi ibu mungkin bukan masalah. Tapi bagi Niar? Ini masalah besar. Niar yang akan melakoninya!”
“Melakoni apa?”
“Kawin.”
“Siapa yang kawin?”
“Niar.”
“Kata siapa?”
“Kata ibu-ibu di pencucian.”
“Lah kata ibumu ini bagaimana?”
“Nggak tahu. Justru ibu menyembunyikan masalah ini.”
“Tadi ibu sudah katakan, bagi ibu ini bukan masalah.”
“Bu bagaimana cerita sebenarnya. Niar ingin tahu, ibu jangan buat Niar penasaran.”
“Niar, ini berkaitan dengan cerita masa lampau ibu di Jatitujuh.” kata Wartini dengan menyebut nama desa asalnya.
“Waktu Niar masih kecil?”
“Ya, kamu masih kecil sekitar umur empat tahunan. Ada orang yang namanya Darman. Asep Sudarman. Orang inilah yang memulai membuat masalah kemarin.”
“Siapa Asep Sudarman bu? Apakah dia yang akan dikawinkan dengan Niar kata ibu- ibu?”
“Bukan.”
“Darman ini yang dulu mengaku mengajak ayahmu pergi mencari kerja sampai saat ini ayahmu belum pulang.”
“Mengakunya dulu atau sekarang?”
“Dulu. Dia itu orangnya tidak baik.”
“Maksudnya?”
“Dia suka sama ibu. Padahal dia tahu ibu sudah bersuami. Memang sih waktu SMP ibu bareng sama dia. Ibu tahu dia suka sama ibu waktu masih sekolah, tapi ibu tidak menyukainya.”
“Kalau sama ayah?”
“Ibu memang suka. Tetapi sejak menikah, kelakuan ayahmu malah jadi pemalas. Tidak seperti yang ibu bayangkan. Hingga akhirnya suatu hari ayahmu pergi tidak berpamitan sampai sekarang.”
“Darman bagaimana?”
“Ketika ayahmu beberapa hari tidak kembali, dia datang ke ibu, dia mengatakan tahu ayahmu ada di mana.”
“Ooo dia tahu bu?”
“Entahlah. Ibu malas bicara dengan Darman.”
“Siapa tahu Darman memang tahu keberadaan ayah.”
“Tak tahulah. Ingin sih hati ibu menanyakan perihal ayahmu ke Darman, tapi malas.”
“Kapan ibu bertemu?”
“Belum lama, barang dua mingguan.”
“Ketemu di mana Bu?”
“Di pasar Cigasong.”
“Ibu masih kenal dia?”
“Dia yang memanggil ibu duluan. Tahi lalat di bawah mata ibu inilah yang rupanya meyakinkan bahwa ibu adalah Wartini.” kata Wartini seraya menunjuk tahu lalat.
“Dia mengejar ibu?”
“Ya. Dia memaksa ibu untuk ngobrol. Tanya alamat segala. Ya terpaksa ibu katakan bahwa kita tinggal di sini.”
“Bu, pasti yang dibicarakan orang-orang mau kawin dengan Niar ya Darman ini!”
“Bukan. Bukan dia.”
“Siapa?”
“Dia sudah punya istri. Dia ingin mengawinkan anaknya, namanya katanya Darno. Darno inilah yang akan dikawinkan sama kamu….”
“Oooo … jadi Darman menginginkan aku untuk anaknya Bu?”
“Ya begitulah.”
“Terus bagaimana tanggapan ibu akan omongan ibu-ibu? Terus lagian dari mana ibu-ibu pada tahu?”
“Dia cerita sendiri ke ibu-ibu mungkin. Sepertinya dia sangat bangga menceritakan perihal bahwa dia adalah teman lama ibu.”
“Tanggapan ibu?”
“Cuekin saja Zan.”
“Terus dia bagaimana?”
“Katanya kapan-kapan akan membawa anaknya ke sini.”
“Haduuuhh…… gawat…..” Zaniar menggerutu.
“Tenang Niar. Kalau ada apa-apa ibu sudah bilang sama Pak RT kok.”
“Pak RT?”
“Iya.”
        Malam itu Zaniar sulit tidur. Bayangan orang-orang yang tidak dikenal berkelebat. Ia hanya mengira-ira bagaimana wajah Darman , dan Darno. Sebagai gadis yang baru beranjak dewasa dan belum banyak mengenal laki-laki, Zaniar hanya bisa mengira-ira betapa serunya ketika kecil dulu ibunya dikejar-kejar Darman. Hingga kini setelah Darman berkeluargapun ternyata masih berupaya mendekatkan dirinya kepada ibunya. Zaniar yakin bahwa kata-kata mengawinkan anaknya dengan dirinya hanyalah dalih bagi Darman untuk dekat dengan ibu.
       Jangan sampai! Tiba-tiba Zaniar terhenyak dari tidurannya. Gadis itu duduk bersandar pada pinggir dipan. Namun ketika ia menyadari, ia kembali merebahkan dirinya di kasur. Tetapi tampaknya ia ingat akan sesuatu, kemudian gadis itu bangkit mengambil Si Bunga, buku kecil tempat menumpahkan isi hatinya.
“….. 11 April 2025 . Hari yang penuh masalah. Aku hampir tak percaya akan kekuatanku sendiri. Laki-laki preman yang katanya bernama Joni hampir mati oleh tendanganku. Dari ibu, aku dapat cerita tentang Asep Sudarman, dan Darno anaknya. Darman pernah tergila-gila pada ibu. Darno anaknya, katanya akan dikawinkan denganku. Kata ibu kapan-kapan katanya mereka akan datang ke rumah ini ……”
Usai menuliskan catatan di buku harian kembali rebahan. Ketika di luar benar-benar sepi, Zania mencoba mengosongkan pikirannya. Selang sekitar seperempat jam barulah ia benar-benar terlelap. ***

(Bersambung)

Rencana tayangan episode ke-7 :

Hari Senin pagi.
Pukul setengah tujuh Pak Haji Layang, kepala SMA Kota Angin sudah berdiri di gerbang. Guru dan siswa yang memasuki menyalami laki-laki itu. Saat itu Zaniarpun sampai di dekat gerbang. Melihat kepala sekolah sudah berdiri di situ, Zaniar berhenti sejenak. Gadis itu berlindung di balik pagar gerbang. Ada rasa malas ketemu dengan orang itu. Zaniar menunggu rombongan siswa lain yang lebih banyak. Ketika datang serombongan siswa, Zaniar menggabung. Ketika yang lain menyalami kepala sekolahnya, Zaniar bergegas menghindar.
Setelah jauh dari gerbang sekolah Zaniar merasa lega. Namun rasa lega itu hanya selintas. Di benaknya terbayang pikiran-pikiran yang masuk akal. Ia membayangkan menjadi seorang siswa yang tidak disukai oleh kepala sekolahnya akan berakibat tidak baik. Mungkin bisa tidak naik kelas, atau malah dikeluarkan. Tapi pikiran lainnya mengatakan bahwa sekolah adalah hak. Tak boleh seorangpun bertindak semena-mena.
“Niar!” ketika langkahnya membelok ke ujung taman dekat kelasnya ada yang memanggil.
“Pak Nanto? Pak Nanto memanggil saya?”
“Iya. Ke sini sebentar.”
“Iya Pak.” kata Zaniar sambil mendekat, kemudian menyalami tangan wali kelasnya.
“Jam pertama kamu menghadap saya di ruang BK ya. Sekalian ketemu ibu Siti.”
“Jam pertama pelajaran Kimia Pak.”
“Pak Yunan tidak masuk kelas. Tadi saya melihat surat ijinnya di ruang piket.”
“Bisa Pak. Tapi saya ijin dulu mau berdoa dengan teman-teman dulu.”
“Boleh. Eit sebentar Niar….”
“Ada apa Pak?”
“Tadi bapak lihat dari jauh, kamu menghindar dari pak kepala, benar ya?”
“Bapak melihat saya?”
“Ya. Kamu kelihatan aneh saja. Bersembunyi di balik rombongan anak-anak .............................................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline