Lihat ke Halaman Asli

Didik Sedyadi

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Novel : Zaniar dan Ahmad Hong (1)

Diperbarui: 14 Maret 2016   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok-pri"][/caption]

1. Gemericik Kali Cideres

Majalengka Wetan. Ba’da ‘Asyar.
Zaniar menyusuri gang Panday X. Sendal jepit merah yang sudah hilang warnanya melindungi telapak kaki dari kerikil. Di tangan kanannya menjinjing ember berisi baju-baju kotor. Tangan kiri memegang ember kecil berisi sabun cuci dan sabun mandi.
Ujung gang Panday X adalah kali Cideres. Kali yang berhulu di lereng gunung Ciremai sebelah barat itu sampai di Majalengka menyisir pinggir kota. Jika kita melihat kondisi di tepian kali Code Yogyakarta, atau kali Cikapundung Bandung, atau kali Logawa Purwokerto, atau kali Garang Semarang, atau kali Ciliwung Jakarta, seperti itulah keadaan bantaran kali Cideres.
Kawasan sepanjang bantaran kali menjadi tempat tinggal, baik sementara ataupun permanen bagi orang-orang. Hal ini terjadi sejak Majalengka menjadi kota ramai, dua tahun setelah diresmikannya bandara Kertajati, yakni Bandara Abdul Halim, sebuah bandara bertaraf internasional. Kota Majalengka yang semula dikenal sebagai kota pensiun telah berubah wajah, dan tentunya prestise.
Beberapa orang bernostalgia, di tahun 2013-an kota ini masih belum dikenal banyak orang. Selepas ‘Isya hanya satu dua angkutan kota yang lewat. Pusat kota juga tidak tahu di mana sebenarnya berada. Alun-alun hanya berteman dengan Masjid Al Imam. Kompleks pertokoan yang merupakan salah satu identitas kota hampir tidak ada. Lampu traffick-light hingga pertengahan 2012 hanya ada satu, di dekat SMP Negeri 1. Setelah itu dibangun dua traffick-light di perempatan Pasar Mambo dan pertigaan Tonjong. Terminal Cigasong juga tidak hidup, lokasinya kurang strategis. Bahkan banyak orang tidak tahu jika di belakang pasar Cigasong ada terminal. Pasar Cigasong juga demikian, selepas maghrib hampir tidak ada aktivitas lagi. Bahkan kesannya lebih banyak menyeramkan bagi yang lewat pasar dengan jalan kaki. Kondisi kota Majalengka bahkan kalah ramai dan hingar bingar dengan kota kecamatan Kadipaten. Kadipaten bahkan hidup selama dua puluh empat jam. Pusat pertokoan juga ramai, pasar selalu hidup dengan transaksi para pedagang yang melakukan bongkar muat sayur mayor produksi Maja atau Talaga. Hal itu karena didukung dengan kondisi Kadipaten yang berada di jalur Bandung – Cirebon , atau Majalengka – Indramayu.
Prasarana pendidikan Majalengka waktu itu juga hanya sekedar standar terpenuhi. Hampir tak ada prestasi anak-anak dari Majalengka yang menonjol hingga ke provinsi Jawa Barat. Sebut saja misalnya SMA Negeri 1 Majalengka, mantan SMA Rintisan Sekolah Standar Internasional (RSBI) yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 8 Januari 2013. SMA Negeri 2 Majalengka, SMP PGRI 1 Majalengka, dan SMA-SMA lain di tiap-tiap kecamatan. Di tingkat SMP-nya juga, SMP Negeri 3 Majalengka mantan RSBI, serta ratusan SMP baik negeri maupun swasta, tak banyak, bahkan hampir tak ada yang berprestasi di tingkat Provinsi. Demikian pun untuk tingkat SD, tak ada prestasi apa-apa.
Tahun ini berbeda jauh dengan jaman tahun 2013.
Dua tahun setelah Bandara Abdul Halim diresmikan, kota Majalengka berubah. Kota telah dikembangkan. Persawahan jalan Siti Armilah telah berubah menjadi kawasan pertokoan. Sepanjang jalan pemuda telah berubah menjadi pusat-pusat keramaian dan hiburan. Di jalan alternatif Panglayungan – Cicenang telah dibangun terminal bis antar kota. Ada lima hotel berbintang yang selalu terisi penuh. Belum lagi hotel melati yang menjamur. Di timur Kadipaten telah berdiri pusat bisnis Jawa Barat hingga ke kota Jatiwangi yang dekat perbatasan Cirebon. Kawasan hilir ke arah bandara telah penuh dengan berbagai macam bangunan, baik yang bergerak di bidang bisnis, pendidikan, hiburan, pelayanan lokal, regional dan internasional.
Prasarana pendidikan juga pesat meningkat. Dari SD hingga perguruan tinggi lengkap. Investasi pendidikan, terutama yang dikelola swasta di Majalengka benar-benar memberikan profit yang sangat menjanjikan. Majalengka yang dulu menjadi kota yang ditinggalkan para lulusan SLTA ke luar daerah, kini justru dari luar daerah yang bersaing untuk mengenyam pendidikan di Majalengka.
SMA Kota Angin adalah salah satu sekolah swasta yang sedang berkembang. Sekolah ini sedang merintis menjadi sekolah pesaing SMA Negeri 1 Majalengka yang telah malang melintang cukup lama. Sekolah swasta ini menyaring guru-gurunya yang masuk sebagai tenaga pengajar. Kecuali kepala sekolahnya, Haji Layang Seto memang sebagai salah satu pengurus yayasan Kota Angin, ia diangkat secara langsung. Sebenarnya laki-laki inilah yang berkuasa atas yayasan itu, tetapi agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan, kepala Yayasan Kota Angin ditunjuk oleh kepala SMA ini. Jadi kepala yayasan tunduk kepada kepala sekolah.
Di SMA Kota Angin inilah Zaniar bersekolah. Gadis ini masuk di sekolah tersebut tanpa tes, karena semasa SMP ia menjadi juara Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten, sehingga mendapat tiket istimewa, sementara lebih dari tujuh ratusan calon mendaftar untuk memperebutkan 288 kursi siswa baru untuk 9 kelas yang berisi masing-masing 32 siswa.
***
Dekat bantaran kali Cideres.
Zaniar berjalan menunduk. Dia berharap sore itu tak banyak yang mencuci di pencucian umum, sehingga bisa buru-buru belajar menjelang maghrib.
“Neng Niar! Zaniar!” ada suara memanggil dengan menyebut Zaniar Neng. Neng adalah sebutan kepada anak perempuan, seperti Mbak di Jawa tengah, Uni di Sumatra Barat, atau Nok di Cirebon. Zaniar menoleh.
“Oh Bi Mimin rupanya.”
“Mau mencuci rupanya?”
“Iya Bi.”
“Ke mana ibumu?”
“Belum pulang dagang Bi.”
“Sampai sesore ini? Seperti pegawai saja!”
“Ah bibi bisa saja menggoda!”
“Atau ibu kamu sekarang butuh uang banyak sekali ya Neng?”
“Aaaaah Bi Mimin! Biasa saja kali! Buat makan saja sudah cukup kok!”
“Kapan kamu lulus SMA?”
“Masih lama Bi, saya kan baru kelas XI . Ini baru bulan apa? Oktober…. satu tahun lagi.”
“Berarti kamu mau putus sekolah! Hahahaaaa……!” tiba-tiba Bi Mimin tertawa terbahak-bahak. Zaniar kaget.
“Putus sekolah?” dahinya mengernyit.
“Iya, putus sekolah!”
“Maksudnya apa?”
“Neng Niar belum tahu?”
“Tahu apa Bi?”
“Orang-orang di pencucian itu sudah ramai membahas masalah kamu!”
“Masalah? Saya tidak punya masalah Bi!”
“Bukannya si Neng mau kawin?”
“Kawin?”
“Iya kawin!”
“Kawin beneran?” Zaniar benar-benar tidak mengerti.
“Iya …. ya kawin beneran, kaya orang-orang itu. Berjejer, ada wali, ada saksi, ada akad. Begini, aku terima nikahnya Zaniar binti ayahnya hahahaaa…! Ya kawin beneran seperti itulaaaaah!”
Zaniar terdiam. Gadis itu menghentikan langkahnya. Otaknya mengingat-ingat semua pembicaraan yang telah lewat. Dengan teman-temannya, dengan Pak Nanto wali kelasnya, dengan ibunya. Tapi ia tak menemukan pembicaraan yang aneh. Bahkan dengan Wartini, ibunya, ia tak pernah mendengar apa-apa.
“Siapa yang mengatakan saya mau nikah Bi?”
“Jadi kamu memang belum tahu?”
“Bibi serius?”
“Ya ampuuun Neng, perihal laki-laki yang datang kemarin ke kelompok ibu-ibu di gang Panday itu sudah jadi pembahasan resmi. Ya tentang Neng Niar laaah, anaknya ibu Wartini yang akan dikawinin itu.”
“Astagfirullahal ‘adziiiim…..” Zaniar membaca istighfar.
Berjalan ke arah pencucian umum langkah gadis itu teras berat. Pertanyaan yang ada di otaknya mampu memberi beban berat yang hampir menahan kakinya untuk melangkah. Namun ia berfikir untuk apa berkomentar tentang apa yang ia tidak mengetahuinya. Kalaupun hal itu mau ditanyakan ke ibunya, tentu nanti sepulang mencuci.
Setelah menghela nafas dalam-dalam, Zaniar merasa terkurangi beban di pikirannya. Ia menoleh kea rah Bi Mimin yang masih memperhatikan dirinya.
“Ayo Bi …. saya jalan.”
“Jadi siapa nama laki-laki itu Niar?” tanya Bi Mimin sambil melangkah.
“Supermen!” jawab Zaniar sekenanya.
“Supermen apa Suparman?”
“Sama saja Bi! Nggak usah dipikirin! Ntar kalau sampai waktunya bibi pasti tahu.”
Biarpun pikirannya telah memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan masalah tadi, tidak urung hati Zaniar gelisah ketika mulai masuk ke bak pencucian bersama ibu-ibu yang lain.
“Nggak dipingit Neng?” benar saja dugaan Zaniar, ada saja yang memulai menggoda. Kali ini Bu Sunah, tetangga yang suaminya bekerja di Malaysia.
“Nggak Bu … sekarang bukan jaman Siti Nurbaya.”
“Baguslah. Memang jaman sekarang perkawinan seperti telah hilang maknanya…. Telah hilang sakar …. sakaaritas….. apa itu?”
“Sakralitas bu.” kata Zaniar seraya merendam baju ke air.
“Ya itu…. itu …. sekarang perkawinan telah kehilangan sakralitasnya. Habisnya kelamaan pacaran sih!”
“Ngomong-ngomong, dulu ibu menikah kapan bu?”
“Sebelas tahun yang lalu, heheee….. biasa kecelakaan!” kata Bu Sunah tanpa tedeng aling-aling. Perempuan itu sengaja mengatakan seperti itu agar tidak didahului oleh yang lain, sebab mereka yang mencuci bersama tahu benar apa yang terjadi di waktu-waktu lalu.
“Kalau begitu tidak sakral lagi ya bu?” kali ini Bi Mimin yang bertanya ke Bu Sunah.
“Iya.”
“Itu sebelas tahun yang lalu ya bu?”
“Iya.”
“Jadi, hahaaa….. ibu jangan katakan bahwa jaman sekarang perkawinan telah hilang sarkalitas …. eh apa tadi?”
“Sakralitas!” kata Bu Sunah cepat.
“Iya itu! Perkawinan hilang itunya tidak hanya jaman sekarang, tapi sebelas tahun yang lalu juga telah hilang itunya.”
“Itunya apa? Keperawanannya?”
“Bukan! Jorok amat kalimat ibu! Itunya, maksudnya sakralitasnya!”
“Hahaaaa….!”
“Dan ibu pelopornya!”
“Ngaco! Saya bukan pelopor ….. tapi …..”
“Pelaku utama!”
Zaniar menahan senyum mendengar dialog bu Sunah dan bi Mimin. Hampir sepanjang gadis itu mencuci, pembicaraan para perempuan hanya sekitar dirinya. Sementara yang menjadi topik pembicaraan lebih banyak diam daripada menimpali.
“Kalau nanti jadi orang kota, jangan lupa sama kami Neng Niar!”
“Kita juga sudah jadi orang kota kok Bu.”
“Ya sih, tapi mencucinya tidak di tempat umum seperti ini.”
“Tapi kan airnya lumayan bersih. Ada instalasi penjernihan air, walaupun tidak boleh diminum.”
“Tapi bukan orang kota di kompleks bantaran Cideres. Rumah berjubal-jubal. Huuuh… bukan bau kota yang ada. Bau kawasan kumuh.”
“Ah ibu, kawasan itu menjadi kumuh kan karena kita sendiri yang membuat. Membuang sampah seenaknya. Lihat saja, bungkus-bungkus sabun dibuang seenaknya hingga menyumbat sebagian aliran Cideres. Kita juga banyak yang membuang sampah tiap pagi membuang sampah langsung ke kali Cideres ini. Lama-lama kali kita bakal tercemar, dangkal dan sebagainya. Nanti kalau musim hujan, banjir bagaimana?”
“Hei neng! Ini ceramah atau apa?”
“Hihihi…. bu maaf, tadi ibu bicara apa sih?”
“Kalau jadi orang kota jangan lupakan kami yang tinggal di kompleks bantaran. Awas lho! Si neng harus ingat sejarah bahwa si neng dibesarkan di kompleks Panday bantaran Cideres.”
“Ya, ya, saya akan selalu ingat. Memangnya saya pindah mau ke kota mana sih Bu? Majalengka saja sudah mengalahkan Cirebon. Bandara punya, hotel-hotel punya, tempat hiburan banyak. Kurang apa?”
“Ya barangkali Bandung. Kan pak Sambas orang Bandung.”
“Pak Sambas siapa Bu?”
“Ya ampuuun….. si neng ini benar-benar tidak tahu apa pura-pura tidak tahu?”
“Saya bingung bu.”
“Pak Sambas itu ya yang melamar kamu.”
“Melamar? Jadi orang itu namanya Sambas?”
“Ya kata orangnya dia bernama Sambas. Dia datang ke kompleks kita hari Sabtu yang lalu. Masa ibumu tidak bercerita?”
Masygul hati Zaniar. Sore itu benar-benar ia memperoleh informasi baru tentang orang yang bernama Sambas. Menurutnya informasi itu tidak perlu dipikirkan di pinggir kali ini. Ibunya pasti tahu. Namun yang menjadi keheranan Zaniar adalah ibunya yang diam tentang sebuah masalah yang besar. Seandainya memang ada kasus yang diceritakan ibu-ibu tadi, pasti akan bercerita Ibunya hampir selalu terbuka terhadap dirinya. Keluh kesah, kesulitan, kebahagiaan, semuanya disampaikan kepada anak semata wayangnya itu.
Usai shalat ‘Isya di tajug , Zaniar pulang lebih awal.
Rumah Zaniar hanyalah rumah sederhana terbuat dari kayu. Lantainya dari tegel lama warna abu-abu tua. Lampu penerangan hanya dua buah, sepuluh watt di petak depan dan lima watt di petak belakang. Listrikpun masih nggantol tetangga sebelah dengan membayar iuran sepuluh ribu rupiah per bulan. Jika malam Zaniar belajar dengan merendahkan lampu agar cahaya semakin terang. Petak depan untuk seperangkat meja kusam, sedangkan petak belakang ada dua kamar dan satu dapur kecil.
Tadi sore Wartini, ibu Zaniar, pulang menjelang maghrib. Rupanya karena kepenatan, ia mengatakan kepada anaknya tidak shalat di tajug. Sepulang dari tajug, Zaniar melihat ibunya tengah duduk berselonjor kaki. Di meja ada teh manis dua gelas. Yang satu tinggal separo isinya.
“Assalaamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam. Agak cepat pulangnya Zan?” Tanya ibunya. Perempuan empat puluhan tahun itu memanggil anaknya dengan panggilan Zan. Sementara itu Zaniar sendiri lebih suka menyebut nama dirinya Niar.
“Ya bu. Niar mau belajar. Tadi sih kelamaan mencuci. Apalagi ibu-ibu di sana maunya ngobrol melulu, jadi cucian nggak selesai-selesai!”
“Oooo.”
“Ibu capek ya bu? Sini Niar pijitin kakinya ….. “ kata Zaniar seraya duduk dekat kaki ibunya. Ibunya tidak berkata apa-apa ketika anaknya mulai memijit-mijit paha dan betis. Ada perasaan nikmat ketika otot yang tegang itu dipijit-pijit.
“Kueh-kueh laku Zan?”
“Alhamdulillah laku. Habis Bu. Lumayan bu, buat tabungan. Ibu dagangannya habis?”
“Enggak, masih ada sisa. Tuh ada di tenong.”
“Niar makan ya?”
“Makanlah. Kamu sudah makan nasi apa belum?”
“Malas Bu. Tadi di sekolah ada yang mengajak makan, jadi pulang sekolah tidak menanak nasi dulu.”
“Siapa yang mengajak makan?”
“Pak Nanto Bu.”
“Kamu diajak makan Pak Nanto? Kata kamu wali kelasmu itu duda ya?”
“Iya, memangnya kenapa kalau diajak makan oleh duda.”
“Hati-hati saja.”
“Bagaimana harus hati-hati? Ya pasti terjaga laaah. Kan makannya banyakan. Niar dan teman-teman ada empat, ada Pak Nanto, ada Bu Endang.”
“Oooo jadi makan rame-rame to?”
“Iya Buuuu ….”
“Acara apa?”
“Persipan olimpiade matematika. Soalnya sampai jam tiga tadi. Jadi lewat waktu makan.”
“Ooooo ….. bu Endang yang guru matematika itu pelatih, Pak Nanto mewakili apa?”
“Wali kelas.”
“Temanmu yang lain sekelas?”
“Tidak. Hla iyaaa ya? Pak Nanto kan bukan wali kelas teman Niar.”
“Pak Nanto suka sama Bu Endang barangkali…..”
“Uuuh ibu! Bu Endang sudah punya suami Bu, sudah punya putra ….”
“Mungkin Pak Nanto suka sama kamu?”
“Iiiih ibu bisa saja! Nggak mau Bu, Niar masih kecil!”
“Teman-temanmu di Jatitujuh dulu, kecil-kecil juga sudah pada dinikahkan!”
“Maksudnya ibu mau menikahkan Niar sekarang-sekarang ini?” Zaniar menatap ibunya dengan tatapan menyelidik.
“Ya tidak!”
“Benar Bu?”
“Iya benar.”
“Benar ibu tidak akan menjodohkan Niar dengan siapapun?”
“Benar.”
“Apa harapan ibu?”
“Manfaatkan waktumu untuk belajar. Menjadi anak pandai. Manfaatkan beasiswa yang kamu peroleh, nanti lulus SMA bisa kuliah. Jadi sarjana. Jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, yang kecukupan, yang jujur, yang berbahagia dengan keluarganya kelak. Ya? Zan?” kata Wartini seraya menarik anaknya. Zaniar diam di dekapan perempuan yang disayanginya.
“Jangan seperti ibu…..” kata Wartini lirih di dekat telinga anaknya.
“Ibu jangan berkata seperti itu!” kata Zaniar seraya melepaskan pelukan ibunya.
“Maksudnya jangan seperti ibu yang tidak bisa membahagiakan anaknya….. “
“Ibu ….. ibu jangan berkata begitu. Ibu salah, salah besar. Niar berbahagia bersama ibu. Benar bu, Niar jujur. Jangan pernah ibu berfikir bahwa Niar tidak berbahagia.”
“Ibu kasihan padamu Zan.”
“Saya tidak apa-apa bu…. ibu jangan bebani pikiran dengan yang tidak-tidak.”
“Kamu beda dengan anak lain Zan…. kamu tidak punya apa-apa, yang lain punya HP, kamu tidak.”
“Aaaah ibu, HP bukan kebutuhan bagi Niar.”
“Tapi mode Zan.”
“Buat apa mode. Nanti malah Niar suka main HP saja seperti teman-teman Niar.”
“Ke sekolah capek, jalan kaki ….. “
“Sekolah hanya satu kilo Bu … biasa. Yang penting tidak pernah terlambat. Ibu bisa lihat, bahkan banyak teman Niar yang punya motor pada terlambat.”
Mata Wartini berkaca-kaca. Zaniar pun merasa panas kelopak matanya. Tak terasa air mata merembes keluar. Gadis itu menyeka air mata dengan punggung tangannya.
“Tuuuh …. kan, bu…. Niar jadi nangis…..”
“Ya sudah jangan nangis…..”
“Ya sudah ibu jangan berfikir macam-macam tentang Niar.”
“Iya Zan.”
“Doakan Niar bu. Agar Niar menjadi sesuai dengan harapan ibu, juga harapan Niar sendiri.”
“Selalu Zan. Insya Allah.”
Zaniar heran. Gadis itu terdiam beberapa jenak. Ibunya sama sekali tidak menyinggung masalah Sambas seperti yang tadi dibicarakan ibu-ibu di tempat pencucian umum. Bahkan ketika dipancing-pancing tentang pernikahan usia muda pun sama sekali tidak ada arah pembicaraana ke sana. Gadis itu jadi ragu dengan omongan ibu-ibu tadi sore. Tetapi pembicaraan tadi sore sangat meyakinkan, walau sedikit banyak bisa menenangkan hatinya.
“Zaaan…..” sapa Wartini memecah kesunyian.
“Eh… mmm… iii…iya bu, ada apa?” Zaniar tergagap.
“Kamu melamun?”
“Emm… tidak bu. Tidak apa-apa.”
“Ya sudah. Sekarang belajar.”
“Mau cuci piring dulu.”
“Belajar dulu.”
“Untuk materi besok Insya Allah sudah paham kok bu.”
“Alhamdulillah ….. ya sudah terserah kamu saja. Tapi ibu mau tidur dulu ya.”
“O ya Bu….”
Usai menghabiskan teh hangat, Wartini ke belakang jeding di belakang rumah. Ada WC ala kadarnya tertutup dengan dinding kayu. Tak ada sumur, tak ada air ledeng. Air pengisi gentong penampung adalah air sumur yang diambil dari sumur tetangga. Gantian dengan ibunya, Zaniar mencuci piring. Tak banyak. Hanya tiga buah, dua gelas dan bebarapa buah sendok.
Setelah selesai mencuci piring, gelas dan sendok, Zaniar bergegas ke tempat semula. Ia membereskan beberapa buku yang sempat dibaca ketika tadi sore pulang mencuci. Ia melihat ibunya telah masuk kamar. Beberapa kali ia mendengar suara batuk-batuk kecil perempuan yang dicintai itu. Zaniar kadang nelangsa melihat keadaan ibunya. Pulang kadang sampai sore sekali, bangun pagi sekitar pukul tiga pagi untuk membuat bermacam-macam gorengan. Hanya karena keadaanlah yang memaksa dirinya mencoba menekan perasaan iba pada ibunya itu. Ujud nyatanya adalah ia selalu dengan ikhlas menitipkan gorengan dagangannya di beberapa warung yang dilewati ketika berangkat sekolah. Termasuk di koperasi siswa sekolah tempatnya belajar.
Kawasan pemukiman di sebelah utara gang Panday termasuk pemukiman yang padat. Hampir mendekati kumuh, terutama sekali terasa oleh warga ketika musim penghujan tiba. Kawasan itu menjadi becek karena sistem drainage yang kurang baik. Jika malam, suara obrolan tetangga yang masih duduk-duduk di teras kedengaran cukup jelas. Demikian pula suara televisi. Hanya rumah Wartini yang terbilang sepi. Paling-paling sesekali Zaniar menyetel radio kecil dengan suara pelan.
Jam tangan kecil milik Zaniar menunjukkan pukul 09.13 menit. Sambil mendengarkan radio kecil yang distel pelan gadis itu mengambil buku harian ukuran kecil, tetapi tebal, dengan sampul motif batik dari balik tumpukan bajunya yang tidak seberapa banyak. Zaniar suka menuliskan apa yang ia rasakan di buku kecil yang diberi nama Si Bunga. Sesekali tulisan-tulisan lama ia buka kembali. Banyak sekali tulisan tentang apa saja, teman di sekolah, guru-guru, orang-orang yang dikenalnya, informasi penting, atau kata-kata mutiara motivasi.
Malam itu Zaniar menuliskan beberapa kata di Si Bunga.
Majalengka, 17 Februari 2025
..... gemericik kali Cideres menjadi saksi obrolan ibu-ibu pada sebuah masalah besar. Masalah yang bukan urusan anak kecil, tetapi urusan orang dewasa. Kawin. Ya, sebuah kata-kata yang mengerikan bagiku. Tak pernah aku membayangkan aku bersanding di waktu dekat ini dengan seorang laki-laki.
Aku juga aneh pada diriku sendiri. Sampai seusia kelas XI SMA ini hatiku tak pernah sebersitpun tertarik pada teman laki-lakiku. Hingga kadang aku berfikir apa aku ini tidak normal. Kenapa? Hampir setiap hari teman-temanku begitu bangganya menceritakan pengalaman dengan pacar-pacarnya. Bahkan ada yang bangga dengan sering gonta-ganti pacar. Mbalik aku ini?
Tapi rasanya aku normal! Buktinya aku takut ketika katanya ada yang mau mengawiniku. Hiii…. Ngeri! Namun ibukuku tak sedikitpun membicarakannya, bahkan setelah aku pancingpun ibu seperti tak berpikir ke sana. Ibu adalah orang yang jujur. Tak mungkin beliau berbohong padaku. Tetapi omongan ibu-ibu di Cideres?
Aku tidak berani su’udzon pada ibu. Aku tak boleh berpikir bahwa ibu menyembunyikan sesuatu …..
Zaniar berhenti menulis.
Gadis itu menaruh Si Bunga di atas bantal. Zaniar membaringkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit yang terbuat dari bilik lapuk. Sebuah tempat paling banyak menjadi curahan pikirannya, khayalannya, cita-citanya, serta keraguannya. Keraguanlah yang acapkali lebih banyak hadir di langit-langit itu.
Zaniar mendesah. Dari radio kecil yang berada di dekatnya terdengar lagu dangdut. Ia mendesah. Jemarinya memindahkan stelan gelombang. Yang dicari adalah radio Swara Hati, radio khusus dakwah Islamiyyah.
“ ….. sobat-sobat pecinta Swara Hati 99,45 FM …. menjelang larut malam kami di studio mengajak sobat untuk mengingat sebuah ayat ….. a’udzubillahi minasy-syaithoonirrojiim… udz’unii astajib lakum! Berdoalah kepadaKu – demikian firman Allah- , Aku akan mengabulkannya….. sambil menikmati angin malam, marilah kita ikuti irama qosidah rebana Yaum Al Quds - Pesantren Babussalam Tretes!”
Zaniar terhenyak. Gadis itu duduk. Wajahnya berbinar-binar.
Gadis itu tersenyum dalam temaramnya cahaya lampu lima watt. Telinganya mendengarkan radio kecil lebih seksama. Volume ia besarkan sedikit. Begitu dari radio terdengar suara alunan qasidah rebana, gadis itu merasa bangga.
Ia teringat sahabatnya, Nurjanah dan Fathonah yang berada di pesantren Babussalam. Ingin rasa hatinya berbicara pada sahabatnya itu, namun kemudian ia hanya bisa mendesah panjang. Mengambil nafas dalam. Kemudian membaringkan diri dengan posisi miring mendengarkan alunan qosidah dari radio. Hanya itu yang dapat ia lakukan. Ia tak bisa berkomunikasi dengan sahabatnya.
“…. Hmhhhh…. benar kata ibu, tadi sore baru saja ibu katakan aku tak punya HP. Sekarang aku baru merasa butuh HP ….. tapi sudahlah …..” gumamnya.
Usai dua lagu Magadir dan Ya Salam ‘Alaika, Zaniar bangkit dari kasur. Si Bunga diambilnya. Buku itu dimasukkan ke dalam lemari kembali. Usai menyimpan si Bunga, ia membereskan buku dan tas sekolah. Ketika ia memasukkan ballpoint ke slot bagian pinggir, ia melihat ada selembar kertas. Ia heran. Rasanya ia tak pernah menyimpan kertas di sana. Karena penasaran ia mengambil kertas. Zaniar terhenyak. Di kertas itu tertulis satu kalimat
….. Niar, aku mengagumimu….. “.
Malam yang seharusnya ia niatkan untuk istirahat telah terusik kembali. Ia tidak mengerti kenapa ada kertas di dalam tasnya. Siapa yang telah memasukkan kertas ke dalam tasnya? Dihelanya nafas dalam. Kata mengagumi masih menjadi tanda tanya. Bisa laki-laki, bisa perempuan. Jika perempuan, mungkin ia mengagumi kepandaian di kelas, tetapi untuk memuji secara langsung tidak mau. Jika laki-laki, tafsirannya lebih banyak lagi. Bisa mengagumi kepandaiannya, bisa mengagumi karena suka, atau mungkin cinta. Cinta? Tak ada sebersitpun tanda-tanda teman sekelasnya yang aneh. Tatapan mereka biasa-biasa saja. Tak ada pula yang menggoda. Tak ada yang cari perhatian. Dan bagi Zaniar sendiri memang bukan masalah.
Pikirannya kembali ke perjalanan tadi siang dari pagi hingga pulang sekolah. Di kelas tak ada apa-apa, sepulang sekolah ia bersama beberapa teman berlatih olimpiade matematika di bawah bimbingan bu Endang. Zaniar berlima, ditambah Pak Nanto dan Bu Endang. Ada tiga anak laki-laki dan satu Pak Nanto. Tiga anak laki-laki Zaniar kenal baik. Tak ada sinyal apa-apa. Mungkinkah Pak Nanto? Ah! Zaniar menggeleng. Namun setelah itu Zaniar menduga-duga. Ia ingat tadi sore ketika ibunya mengatakan hati-hati, karena Pak Nanto adalah duda. Barangkali Pak Nanto suka sama kamu? Begitu ia ingat kata-kata ibunya. Tidak mungkin!
Zaniar tertegun. Wajah Pak Nanto berkelebat. Pak Nanto adalah wali kelasnya. Guru itu masih muda, usia sekitar tiga puluh lima tahunan. Zaniar hanya mendengar dari teman-temannya bahwa Pak Nanto adalah duda. Cerai atau istrinya meninggal, Zaniar tidak tahu. Dan memang untuk apa ia harus tahu. Hubungan Zaniar dengan Pak Nanto hanya siswa dengan wali kelasnya. Memang sebagai wali kelas Pak Nanto sering memotivasi. Terutama setelah mengetahui bahwa Zaniar ketika kelas X telah mencapai peringkat ke-3 olimpiade matematika se kabupaten. Tahun ini ketika Zaniar kelas XI, Pak Nanto pernah bercanda :
“Niar! Kalau tahun ini kamu juara olimpade matematika tingkat kabupaten, bapak akan beri hadiah laptop!”
“Aaaah bapak…. tidak usah….. “
“Kalau tiga besar provinsi bapak akan beri kamu ngggg……apa ya?”
“Ah bapak , jangaaaan Pak!”
“Kalau kamu juara nasional, kamu akan bapak ajak keliling dunia!”
“Ahh…. bapak bercandanya kelewatan!”
“Tidak kelewatan! Karena dengan begitu berarti kamu akan mencatat sejarah pertama siswa SMA Kota Angin semenjak sekolah ini didirikan lima belas tahun yang lalu!”
Ya, Zaniar ingat benar motivasi Pak Nanto waktu itu. Namun dengan menduga seperti itu, justru Zaniar menjadi segan bertemu. Ia menjadi tidak enak hati. Besok ia harus ke sekolah, berarti ia harus bertemu lagi dengan Pak Nanto. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana jika bertemu wali kelasnya itu.
Ketika waktu telah lewat tengah malam, gadis itu tertidur. Zaniar telah terlelap ketika ibunya menengok kamarnya, kemudian membetulkan selimut yang terbuka di kakinya. Perempuan itu menatap hingga lama wajah anaknya yang terlelap. Mata perempuan itu berlinang. Ia buru-buru berbalik, meninggalkan kamar. Seperti biasanya perempuan itu tak pernah lupa melaksanakan shalat tahajjud, tanpa diketahui anaknya. ***

(Bersambung ..... )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline