[caption caption="sumber gambar kabarrakyat.co"][/caption]
A-yu Nur-a-ma-li-a.
Gadis yang baru satu bulan naik ke kelas XII SMA itu mengeja nama pada kain bordir. Benar. Namanya sudah benar, tak ada yang salah. Setelah menerima border nama, ia menuju ke tukang jahit untuk memasangkan nama di jaketnya sekaligus. Tak lama. Hanya sekitar lima menit nama itu telah terpampang di jaket pecinta alamnya.
Usai memasang label nama, gadis itu melajukan motornya ke arah toko olah raga Ram’s Sport yang ada di kotanya.
“Cari apa teh?” sambut seorang pemuda dengan ramah.
“Cover bag.”
“Buat apa?”
“Ada apa enggak?” tanya Ayu ketus.
“Iya buat apa?”
“Buat sekolah!” jawab Ayu sekenanya.
“Huuuu…. cover bag kok buat sekolah. Buat camping teh, buat naik gunung.” Kata pemuda itu sambil tertawa. Ayu kesal.
“Cover bag ya buat itulah, buat naik gunung! Ada nggak?”
“Teh Ayu mau naik gunung?” pemuda itu bertanya sambil menyebut namanya.
“Eh, kok tahu namaku?” Ayu kaget.
“Tinggal mbaca saja di jaket si teteh kok!”
“Ooooo…… “ kata Ayu seraya mengeleng-gelengkan kepala.
“Kapan mau muncaknya teh?”
“Eh, Kak, ini saya mau beli barang kok malah ditanya yang bukan-bukan.”
“Beli apa?”
“Ya ampuuuun …. Cover bag. Merk Eiger, yang ori … “
“Mahal teh.”
“Huuuh …. ribed amat sih! Aku yang mau beli, apa dikira aku nggak punya uang.”
“Iya ….. iya …… jangan marah ah! Teh Ayu. Yang Eiger kayaknya stoknya nggak ada. Ada juga yang Consina.”
“Ooo ya sudah kalau nggak ada.” kata Ayu seraya beranjak pergi.
“Teh Ayuuuu … tunggu. Kalau mau cari di Cirebon, banyak!”
“Nggak nanya!”
“Kenapa harus cari yang Eiger?”
“Sudah janjian sama anggota lain, harus seragam.”
“Oh kejam sekali anggotamu itu Teh!”
“Enak saja!”
“Emmmhhh…. Begini, ini serius teh Ayu. Kalau memang harus Eiger, aku punya. Bukan barang baru sih.”
“Second maksudnya?”
“Bukan. Saya tidak menjualnya. Kalau mau pakai saja dulu. Dipinjam … maksudnya saya pinjamkan dulu. Mau nggak?” kata pemuda itu menawari.
Gadis berhidung mancung itu diam sejenak. Tapi kemudian ia menggeleng.
“Terima kasih, nggak usah!”
“Sesama pecinta alam kok gitu. Jangan ngambek … katanya sesama pecinta alam itu kayak saudara. Betul nggak? Apalagi kalau di puncak, rasa sehobby, rasa sepikiran, rasa senasib, rasa sekesatuan dengan alam, kadang mengalahkan segalanya.”
“Memang si Kakak pecinta alam?”
“Hahaa! Nggak tahulah … tapi mau ya saya pinjamin cover bag Eiger, ori Teh Ayu, masih ada kartu garansinya. Sudah nggak berlaku siiih, tapi itu tandanya ori.”
“Mmmm…. gimana ya?”
“Teh Ayu sekolah di mana?”
“SMAN 1 Majalengka.”
“Ada kartu OSIS?”
Entah kena hipnotis apa, gadis itu menerima saja usul pemuda penjaga toko Ram’s Sport, Pikir Ayu, daripada nanti dikerjain teman grupnya, mending mengorbankan sedikit rasa malu. Tadinya ia mau meninggalkan kartu OSIS sebagai borg, tetapi tidak jadi. Kata Ramadhan, demikian nama penjaga toko Ram’s Sport, tak perlu menyimpan borg. Apapun itu. Apalagi kartu OSIS adalah kartu identitas yang selalu diperlukan di mana saja berada selama belum punya KTP.
***
Agustus 2015. Pagi menjelang siang, di Basecamp Apuy, kaki gunung Ciremai Majalengka.
Beberapa meter dari , grup Glatik Langlang tampak bersiap-siap membeli tiket pendakian. Grup yang merupakan kelompok remaja putri terdiri dari Ayu Nuramalia, Herlin Nurjanah, Erika Risva, Aini Nurbaina dan Tamia Tya. Sebenarnya ada satu grup pendamping yang terdiri dari anak laki-laki, tapi kelompok yang biasa berpasangan masih belum sampai.
[caption caption="gadis-gadis tanggung peandaki Ciremai - dok. Erika R"]
[/caption]
Kelompok ini akhirnya memutuskan untuk berjalan terlebih dahulu. Jalan setapak khas perbukitan, dengan alam sekitar yang masih belum terusik oleh tangan jahil manusia, benar-benar menjadi sahabat bagi mereka para pecinta alam, para pendaki gunung. Grup Glatik ini sebenarnya sudah satu kali melakukan pendakian ke puncak Ciremai, dulu ketika kelima gadis ini baru naik kelas XI SMA. Sekarang tampaknya mereka akan kembali mengingat kenangan-kenangan menyasyikkan selama perjalanan.
Hampir tengah hari Pos 1 Berod terlewati. Memulai meninggalakan Pos 2 Arban, suasana hutan mulai terasa. Tanaman pinus dan lainnya bercampur menampakkan keaslian hutan. Di sekitar jalan tampak pula pakis-pakisan beraneka jenis. Jalanan yang berbeda tekstur dengan perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 sangat terasa. Perlahan, catu energi dalam tubuh mulai keluar dengan serius.
“Masih lama Lin?” tanya Ayu yang berjalan paling belakang sambil berhenti. Tangannya memegang tongkat kayu semacam trekking pole. Herlin yang ditanya, menoleh. Tak hanya menoleh, ia melihat wajah Ayu tak seperti biasanya. Gadis itu menunggu sejenak.
“Kamu tanya apa Yu?”
“Masih jauhkah puncak?”
“Ya Allaaaah Yu….Yu, ini kan baru meninggalkan Pos 2. Nanti harus lewat Pos 3, Pos 4, Pos 5 dan terakhir sebelum Puncak di Goa Walet. Bisa ngitung nggak Yu? 3-4-5-6.!”
“Uuuuuhhh…..”
“Jangan menyerah, baru saja mulai!” kata Herlin sambil berbalik melanjutkan melangkah ke jalan yang semakin menanjak.
“Andai saja ada yang mendorongku dari belakang …… “ gumam Ayu. Rupanya Herlin mendengar.
“Apa Yu?”
“Andai saja ……. “
“Yang mendorongmu itu hantuuuuu!”
Sebenarnya yang dirasakan Ayu adalah tumit yang nyeri. Kemarin sebelum berangkat, ia mencari deker tetapi tak ketemu. Hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk melupakan barang itu. Rupanya barang sepele itu kini terasa manfaatnya. Andai saja deker tumit dan telapak kaki dipakai, mungkin tidak seperti ini.
Sebagai pecinta alam ia sering meneriakkan semboyan untuk melawan tantangan dan hambatan. Rasa sakit sedikit di tumitnya dianggap sebagai sebuah tantangan kecil. Maka dengan menghilangkan konsentrasi pada tumit yang nyeri, ia berusaka melupakan itu. Ia fokus pada jalan yang akan dilewati. Nyatanya hingga lepas dari Pos 4, gadis itu masih bertahan. Namun ketika pertengahan menjelang Pos 5 Sanghyang Rangkah, Ayu tampak semakin kepayahan. Beberapa temannya sesekali menoleh, tapi Ayu mengisyaratkan agar teman-teman terus berjalan jangan mempedulikan.
Hari menjelang pukul empat sore.
Erika yang sampai paling dulu di Pos 5, menunggu teman-temannya datang. Gadis itu minum beberapa teguk air bening. Ketika Herlin, Tamia, dan Aini datang gadis itu minta difoto.
[caption caption="erika di Pos 5 Sahyang Rangkah - foto dok. Erika R"]
[/caption]
Selesai difoto Erika mengedarkan pandangannya berkeliling.
“Ayu mana?” tanya Erika setelah beberapa saat teman yang terakhir belum datang juga.
“Masih di bawah… biar saja… “
“Kalau nyasar?”
“Hus! Ngaco kamu Ka!”
“Yaudaaah … ditunggu saja, apa disusul? Kalau sakit bagaimana?”
“Lha ya memang dia itu mengeluh kakinya sakit! Tumitnya, tumitnya sakit. Mungkin keseleo.”
***
Ketika teman-temannya semakin jauh, sebenarnya kondisi Ayu semakin payah. Kakinya dirasa semakin sakit. Maka jalannya semakin perlahan. Bahkan kadang-kadang ia bersedeku. Sesekali pula ia duduk di pinggir jalur pendakian itu. Beberapa pendaki dari kelompok lain yang lewat kadang ada yang menyapa sekedar basa-basi. Taka da yang tahu kondisi yang sebenarnya.
Hampir lima menit gadis itu duduk. Setelah dirasa berkurang sakitnya, gadis itu bangkit. Dengan tertatih-tatih Ayu berjalan dengan kondisi medan yang menanjak.
“Ayooo jalan!” tiba-tiba dari belakang ada suara keras, dan ada dorongan pada ransel hingga mendorong Ayu maju. Dalam kondisi tak siap, didorong semacam itu justru gadis itu terjerembab ke depan.
“Aaaaahhhckk!” gadis itu hampir terpelanting.
“Ayuuuu!” dengan sigap ada tangan menahan cover bag mencengkeram dengan kencang.
Nafas gadis itu tersengal-sengal. Tubuhnya tak jadi jatuh. Perlahan ia memperbaiki berdirinya dengan memegang paha depan. Perlahan mengangkat tubuh.
“Ooohh….. ooohhh….. aduuuh….. aaa… “ Ayu meringis menahan sakit.
“Ayu? Ayuu…. Kamu tidak apa-apa?”
Ayu menoleh ke arah orang yang menolong. Mendadak mata ayu melotot. Pandangannya menjadi ketakutan.
“Haaan… hantuuuu….. “ teriak Ayu sambil menutup mata serta berbalik. Tap! Ada genggaman kuat menahan pergelangan tangan.
“Ayu! Lihaaat!”
“Tiiii….. tiiiidaaak..”
“Ayu, apa-apaan? Ini aku?”
“Tak mungkin, tak mungkin …. tak mungkiiin.”
“Hooiii Ayu … Ayuuuuu…. Anak SMAN 1 Majalengka!”
“Oooohh…. “
“Hoooi bangun….. mana ada hantu ngomong kamu anak SMA. Lihat sini! Ini aku …..”
Perlahan Ayu menoleh. Genggaman orang yang baru datang dilepaskan. Tak salah. Dalam pandangan Ayu memang orang itu.
“Seharusnya kamu di Kadipaten.”
“Kadipaten apaan? Ini tadi Pos 4, mau Pos 5. Punggung Ciremai Yu.”
“Aneh ……”
“Yuuuu… sadar… sadar. Baca istighfar Yu, aku bukan hantu kan? Masa ada hantu nyuruh orang baca istighfar! Itu hantu tobat!”
“Asataghfirullah hal ‘adziiiim…..” perlahan gadis itu beristighfar.
“Minum dulu!” kata orang itu seraya menyorongkan botol air mineral yang telah dibuka tutupnya. Ayu menerimanya. Setelah minum, kesadaran gadis itu tampaknya pulih.
“Kakak … kakak yang di toko Ram’s Sport itukah?”
“Lhaaa itu…. Ituuuu …. kamu benar Yu. Maaf ya, aku nggak panggil teteh lagi ah! Habisnya kamu masih SMA sih, masih kecil!”
“Ooo…iii …. Iiiyaaa… iyaaaa.”
“Aku Ramayana. Rama, Rama ….” kata pemuda itu mengajak bersalaman mengenalkan diri.
“Ayu.” kata Ayu menyebutkan namanya.
“Sudah tahu.”
“Ah iya… iya…. “
Ketika wajah Ayu mulai tampak pulih dari rasa kaget, Rama mengajak Ayu duduk. Keduanya duduk. Ayu mengambil handuk kecil. Wajahnya yang berkeringat dilapnya hingga kering.
“Mana teman-temanmu Yu?”
“Sudah duluan. Memang aku suruh duluan.”
“Kamu terlalu, Kalau merasa tidak fit, seharusnya justru minta ditemanin salah satu.”
“Kasihan mereka Kak.”
“Apa yang terasa sih?”
“Tumit sakit. Tapi kok malah ketambahan yang lain. Agak pusing Kak.”
“Ooo … sekarang mau pulang saja?”
“IIiihhhh nggak lah. Kuat, aku masih kuat kok!”
“Ukur kesehatanmu sendiri Yu. Hanya kamu yang tahu.”
“Aku kuat. Pos lima sebentar lagi. Sayang. Rencana ntar di Pos lima mau menginap.”
“Benar kuat?” tanya Rama meyakinkan. Ayu mengangguk.
Beberapa saat ini Ayu merasakan ada energi lain. Ketika ditinggal teman-temannya, rasa putus asanya sebenarnya sudah hampir muncul, dan hampir mencapai klimaks ketika dirinya hampir jatuh. Kedatangan Rama di sampingnya kini seolah menambah energi baru. Beberapa kalimat sederhana yang datang dari pemuda itu, entah kenapa tiba-tiba menyuntikkan sebuah motivasi untuk tegar.
“Kita istirahat sebentar lagi, nanti aku temani ke Sanghyang Rangkah.”
“Iya Kak.”
“Eh Yu, tadi kenapa kamu ngatain aku hantu sih?”
“Aaaaahh ….. maaaf Kaaak. Maaf, benar, tadi itu nggak sadar. Saya tak membayangkan kakak ada disini, juga tak membayangkan kakak naik gunung. Pikiranku kakan kan di Kadipaten, lho kok ada di sini? Makanya aku kira kakak itu hantu!”
“Sembarangan kamu Yu!” kata Rama sambil tertawa terbahak.
“Maaafff… maaaffff…..”
“Iya, iya saya maafin! Orang ganteng kok dianggap hantu!”
“Hihihi…. eh iya Kak, saya duluan ya!” kata Ayu seraya bangkit dari duduknya. Rama ikut bangkit dari duduk.
“Duluan bagaimana? Bareng atuuh! Kamu belum sehat.”
“Sehat, sehat kok!”
“Kamu bawa tongkat nggak?” tanya Rama sambil melihat.
“Tadinya bawa, tapi nggak tahu tadi ketinggalan di mana.”
“Kalau begitu pakai trekking pole ini.” Kata Rama sambil menyodorkan.
“Nggak mau.”
“Pakailah. Nanti aku cari dahan untuk tongkat.”
Dengan terpaksa Ayu menerima trekking pole Eiger milik Rama. Setelah memberikan barang itu ke Ayu, Rama mengeluarkan belati, kemudian menghilang di rerimbunan hutan. Kira-kira sepuluh menit kemudian pemuda itu membawa tongkat kayu.
“Aku yang kayu itu saja…..” kata Ayu seraya menyodorkan trekking pole Rama.
“Ayu saja. Santai saja Yu.”
“Malu Kak, cover bag sudah dipinjami, ini lagi, trekking pole.”
“Sudahlah jangan dibahas. Ayo berangkat kalau sudah kuat. Mudah-mudahan sekitar pukul empat kita nyampai.
Setengah jam berselang Ayu dan Rama sampai di Pos 5. Begitu melihat Ayu datang bersama seorang pemuda yanag belum dikenal keempat temannya berjingkrak-jingkrak. Secara spontan mereka melantunkan lagu jenaka Cintaku Merangkak di Gunung Ciremai. Ayu yang merasa dikerjai teman-temannya memera wajahnya. Rasa malunya ditahan. Ia pasrah.
Malam itu dua rombongan laki-laki dan perempuan menginap di Pos 5. Di kelompok laki-laki kini bertambah satu sahabat sesama orang Majalengka, Rama.
***
Sunrise! Dalam hembusan angina dingin.
Momen yang selalu dicari para pendaki. Di kesempatan ini biasanya kapasitas memori kamera dieksploitasi untuk merekam keindahan yang mungkin lama atau mungkin atak akan dijumpai lagi. Tentu bagi yang sering melakukan pendakian, tak terlalu penting. Tapi bagi seorang seperti Ayu, tampaknya masa-masa bersama anggota kelompoknya akan sulit dilakukan di masa yang akan datang.
Momen demi momen, mulai dari bayangan masih berbentuk siluet hitam, hingga mulai temaram terang tanah tak dilewatkan. Ketika suasana semakin terang, wajah-wajah mereka semakin tampak. Pengabadian dengan kamera semakin intensif. Berbagai macam gaya dan beberan kertas atau spanduk berisi tulisan-tulisan salam atau respek kepada siapa yang dipikirkannya. Tentu, untuk diunggah melalui medsos.
“Sudah banyak fotonya Yu?”
“Lumayan Kak. Rasanya cukup.”
“Syukurlah kalau sudah cukup. Sekarang lihat ke arah timur …. apa yang Ayu lihat?”
“Gunung Slamet.”
“Pingin ke sana nggak?”
“Pingiiiinnn……. Pinggiin bangeeet…..”
“Hahahaaa… kamu kalah Yu! Aku sudah satu kali mendaki gunung itu.”
“Iiiihhhh ngiriiiii….”
"Cuma sayangnya waktu itu ke puncak Slamet sendirian , jadi nggak seru!"
"Kenapa?"
"Kalau ada Ayu bareng ke puncak, wow, pasti semangat!"
"Aaahh gombal!"