[caption caption="kreasi pribadi - gambar format JPG"][/caption]
Hilal tak jadi melangkah ke luar. Di meja tamu tergeletak surat undangan. Coraknya aneh, ornament di pinggirnya bergambar kepingan-lepingan batu warna biru dengan intensitas yang berbeda-beda. Di pojok kiri bawah terdapat gambar dua cincin permata cutting biru gemerlap. Topaz!
“Tata….. “ bibir Hilal bergumam perlahan.
Diambilnya satu buah surat undangan tersebut. Benar, di kertas tempel tertulis namanya : Kepada Kakanda Hilal Ramadhan. Bibir Hilal terkatub rapat. Perlahan ia ambil undangan itu, kemudian dua lainnya. Satu untuk Fauzi Natiq,satunya lagi untuk Yusuf Kamal. Keduanya adalah sahabatnya, yang dua-duanya juga mengelola yayasan Nurul Aini milik ayah Hilal.
Sekali waktu, di salah waktu yang disenggangkan oleh Allah, Hilal menemukan bibit-bibit rasa suka kepada seorang gadis bernama Safira Cahyaning Pertiwi. Ia seorang gadis yang ceria, supel, mudah bergaul dengan siapa saja. Termasuk pada suatu waktu, Hilal mengenalnya sebagai salah satu gadis yang mulai masuk dalam nominasi kriteria calon istri. Usia yang ditargetkan Hilal adalah 27 tahun untuk menikah. Saat itu baik Hilal maupun Safira masih berada dalam satu kampus basic Islam di kota Cirebon, Safira adik angkatan Hilal selang dua tahun.
Keduanya akrab. Keduanya sama-sama menjadi pengurus kegiatan kerohanian di masjid kampus. Maka, keakraban keduanya tak seperti layaknya orang-orang sedang berpacaran atau sejenis dengan istilah itu. Keduanya hanya bedialog dalam hati. Hilal hanya berkata dalam hati. Dan mungkin, Safira pun akan menjawabnya dalam hati.
Namun dari waktu ke waktu, Hilal merasakan bahwa tak ada peningkatan kualitas persahabatan. Pemuda itu juga tak bisa menterjemahkan, apa yang dimaksud kualitas persahabatan. Pembicaraan menuju kea rah rumah tangga? Menyatakan cinta? Atau apa yang seharusnya Hilal katakan kepada Safira. Hilal tidak mengerti, mengapa sudah sekitar satu tahun bersama-sama, taka da yang mulai ke pembicaraan yang lebih serius. Bahkan, di luar sepengetahuan Hilal, banyak pemuda lain yang sebenarnya ingin mendekati Safira, namun merasa jeri dengan Hilal, karena Hilal telah dipandang sebagai kekasih Safira.
“Boleh kapan-kapan kakak main ke Majalengka?” tanya Hilal tanpa sadar, hingga ia kaget sendiri.
“Aih … boleh dong Kak. Kapan?”
“Selesai sidang skripsiku ya?”
“Iya boleh.”
“Tapi aku hanya mampir ya…. karena kakak sebenarnya ada perlu ke paman di Tomo sana.”
Ketika waktunya tiba, Hilal benar-benar mampir ke rumah Safira. Kedatangannya disambut oleh ayah dan ibu Safira dengan suka hati. Itu terpancar dari wajahnya yang ceria, hingga Hilal sendiri malah menjadi canggung. Kedatangan dirinya ke rumah itu, oleh orang tuanya tentu dianggap sebagai sebuah hal yang serius. Berfikir yang demikian, Hilal justru menjadi ragu. Apakah sebenarnya ia suka saja kepada Safira, atau mencintainya? Kadang-kadang ada rasa hambar berkelebat hinggap di hatinya.
“Ini si Safira anak bungsu Nak Hilal!” kata ayah Safira.
“Ooo….”
“Kakanya ada dua, yang pertama Berlianto Kusuma. Yang kedua perempuan, Topaz Aini, dan yang ketiga ya ini, Safira.”
“Oooo….”
“Ada yang aneh ya dengan nama anak-anak bapak?”
“Ah enggak Pak.”
“Pertama Berlian, kedua Topaz, yang ketiga Safira. Ketiganya bapak nisbatkan ke nama-nama batu mulia! Lihat hiasan dinding, ada hiasan dari batu-batu dan permata. Bapak memang suka dengan batu mulia, maka sejak puluhan tahun lalu bapak abadikan di nama anak-anak bapak.”
“Ooooo….”
“Berlian sudah bekerja di Jakarta, nah kalau Topaz Aini kebetulan ada. Fira, panggil kakakmu ke sini.”
“Oke yaaah…..”
Hilal yang sedari tadi bersama dengan ayah Safira justru banyak diam dan sesekali menimpali kata-kata ayah gadis itu. Ketika dari dalam Safira keluar diikuti seorang gadis, dada Hilal gemuruh. Pemuda itu merasakan jari tangannya bergetar tak menentu. Masya Allaaah….. kata hatinya. Matanya melihat sosok gadis yang cantik, pembawaan tenang. Dengan senyum yang tertahan, gadis itu mengangguk. Hilal terpesona.
“Nak Hilal!” kata ayah Safira mengagetkan pemuda itu.
“Oh iiii…. Iya … iya bapak….”
“Saya dengan ibunya anak-anak mau ada perlu ke Jatiwangi. Kalian ngobrol bertiga.”
“Iya Pak, terima kasih… terima kasih….”
Di saat-saat ketika kakak beradik itu berada di hadapan Hilal, justru perhatian Hilal lebih banyak ke Topaz. Ia melihat garis dengan inisial TATA begitu anggun, keibuan, dengan gaya bicara yang teratur. Beda dengan Safira. Gadis ini style-nya ceria, bicara blak-blakan, sering tertawa terkekeh-kekeh. Sangat jauh dengan Topaz Aini, yang menimpali pembicaraa seperlunya, dan senyum yang pelit seperlunya.
Hilal!
Pemuda itu kaget. Dilihatnya ibunya sudah berdiri di belakangnya. Hilal menghela nafas dalam. Hatinya gundah. Ibunya melhat kegundahan di wajah anaknya.
“Ada masalah Lal?”
“Tidak ibu. Hilal hanya pusing sedikit. Sepertinya hari saya tidak ke yayasan.”
“Sakit?”
“Capek saja Bu.”
“O iya, tadi pagi-pagi sekali ada yang mengantar undangan ke sini. Sepertinya siapa itu? Ibu Topaz mau menikah.”
“Iya Bu.”
“Syukurlah, berarti di sekolahmu itu tinggal kamu saja yang masih lajang. Kemarin-kemarin yang lajang dua, kamu dan Bu Topaz. Eh sekarang tinggal kamu sendirian. Siapa sih calonmu Lal?”
“Aaah… entahlah Bu, bu maaf, Hilal masuk kamar dulu. Nanti saya telpon pak kepala untuk ijin.”
***
Yayasan Nurul Aini adalah yayasan pemilik sekolah SMP Islam Terpadu Nurul Aini. Sekolah yang didirikan oleh ayah Hilal ini telah merekrut banyak guru non PNS, tetapi dengan kinerja yang luar biasa. Perkembangan SMP ini dimotori oleh Hilal, selaku pengurus yayasan sekaligus guru di situ.
Demikian pula Topaz Aini Tri Astuti, atau Topaz atau TATA, dulu direkrut oleh Hilal untuk begabung mengamalkan ilmu selepas lulus dari UPI Bandung. Bersama dengan Topaz, Hilal sering berbagi dan bertukar pikiran tentang banyak hal. Namun ada satu hal yang tak pernah terungkap, karena suatu keadaan hingga Hilal menyimpan masalah ini begitu lama.
Tadi malam Hilal menelpon Topaz, pemuda ingin bicara di hari minggu di sekolah. Sebagai guru di situ, ajakan dari Hilal sebagai rekan sekaligus juga atasan di yayasan, Topaz menerima ajakan pemuda itu.
Ada yang tidak diketahui banyak orang, hanya di sekolahlah Topaz memanggil Hilal dengan sebutan Pak Hilal, juga Hilal memanggil Topaz dengan sebutan Bu Topaz. Sedangkan tanpa diketahui orang lain, Hilal juga suka memanggil Topaz dengan sebutan TATA, singkatan nama Topaz Aini Tri Astuti. Sedangkan Topaz memanggil Hilal dengan sebutan Kak Hilal, walaupun kadang-kadang gadis itu mengolok-olok dengan memanggil Dik Hilal, karena pemuda itu akrab dengan Safira, adiknya.
“Selamat Tata, aku tak menyangka mendapat undangan yang indah … berhiasan kepingan topaz natural dan cincin permatanya.”
“Kenapa tak menyangka Kak?”
“Tata tak pernah cerita.”
“Kenapa? Tata pikir ini adalah urusan pribadi aku Kak.”
“Oh maaf, kakak tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi Tata. Tapi. Mungkin hari ini saya minta ijin untuk masuk ke ranah yanag sebenarnya tidak boleh aku lakukan.”
“Maksud kakak?”
“Tata sebut nama yayasan kita ini, coba …. “
“Yayasan Nurul Aini.”
“Tata tidak pernah berfikir jauh tentang nama itu?”
“Tidak.”
“Astaghfirullaaah…” desah Hilal seraya bersandar di punggung kursi sofa.
“Mengapa istighfar Kak?”
“Dulu di rapat-rapat awal pendirian yayasan, ayahku pernah berkata, bahwa nama Yayasan Nurul Aini adalah nama yang dipilih oleh anakku, Hilal Ramadhan. Tata juga hadir waktu itu kan?”
“Iya, iya aku ingat.”
“Tata tidak merasa bahwa nama Aini yang aku pilih adalah bagian dari nama Tata? Nama Topaz?”
“Oooochh…. Emmmm ….. emmm….”
“Topaz Aini, Aini ….”
“Kak…”
“Tidaklah Tata merasakan bahwa sejak awal aku selalu membawa nama Aini, Topaz Aini dalam pikiranku?”
Topaz terdiam. Wajah gadis itu tertunduk dalam. Hilal mengatubkan bibir. Beberapa kali pemuda itu mendesah. Hingga sekitar beberapa menit keduanya diam. Yang terdengar hanya detak jam dinding di ruangan lobby sekolah.
“Tata, Hilal membuat sebuah monumen dengan nama Aini. Ini adalah cara Hilal menikmati keindahan Topaz, seperti batu permata yang ada di undangan itu. Kalau saja aku mendirikan yayasan dengan nama Nurul Topaz, semua orang tahu. Itu tidak baik.”
“Kakak terlalu jauh …”
“Kenapa?”
“Justru itu yang sekarang aku tanyakan Kak, mengapa ini kakak lakukan? Bukankah kak Hilal itu suka ke Safira, sejak masih kuliah dulu.”
“Aku dan Safira bersahabat. Aku tak pernah mengatakan apapun.”
“Ochh….. aku tak menyangka kak. Kasihan adikku….. “
“Apa aku salah jika bersahabat dengan Safira? Apa aku salah sebagai seorang sahabat mengunjungi rumahnya? Apakah ketika seorang pemuda datang ke rumah seorang gadis itu berarti menunjukkan bahwa dia itu berpacaran atau apalah namanya?”
“Memang tidak….”
“Justru ketika aku dulu datang ke rumah, Safira membawa kakaknya, sepertinya aku merasa bahwa ….. bahwa ….. kakak Safira, Topaz….. lll….”
“Kenapa kakak nggak pernah bilang?”
“Aku bingung dengan posisiku…. Aku takut menyakiti Safira.”
“Kakak sudah tahu kalau Safira suka kepada kak Hilal?”
“Mungkin.”
“Kenapa mungkin?”
“Karena Safira tak pernah mengatakannya.”
“Kak, keluarga kami, ayah dan ibu, mendidik kami anak-anak perempuannya untuk tidak pernah mendahului menyatakan suka kepada laki-laki, walaupun sesungguhnya kami menyukai atau mungkin mencintai laki-laki itu. Saya dan Fira, memahami dan meyakini kalau nasehat ayah ibu itu benar. Kami hanya akan menerima laki-laki yang pemberani, yang terus terang menyatakan suka dan langsung menghadap ayah dan ibu.”
Telak. Kalimat Topaz benar-benar telak menghujam ujung kesadaran Hilal yang merasakan bahwa kalimat itu sebenarnya ditujukan kepada dirinya. Kami hanya menerima laki-laki pemberani! Kalimat ini menempel lekat di gendang telinganya.
“Tata, mungkin ini saatnya semua rahasia hati terbuka. Ini aku katakan sebelum Tata menjadi milik orang, bukan pula bermaksud untuk mengganggu ketenangan hati Tata.”
“Hmhhh…. “
“Pertama Ta, ijinkanlah yayasan ini tetap bernama Nurul Aini. Biarlah hanya Hilal dan Topaz Aini yang tahu. Boleh ya?”
“Hmhhh…..”
“Yang kedua, Tata tetap mengangajar di sini ya?”
“Terserah suamiku nanti.”
“Yang ketiga, aku minta tolong, katakan dengan baik-baik kepada Safira, katakan bahwa aku sudah mencintai orang lain….”
“Kakak mau meninggalkan adikku?”
“Adikmulah yang telah mengenalkanku pada perasaan yang sesungguhnya.”
“Hmh…”
“Begitu melihat Topaz, dulu, detak jantungku tak keruan. Hati gundah. Perasaan yang dulu tak pernah aku rasakan terhadap Safira….”
Topaz Aini kembali diam. Beberapa saat kemudian terdengar suara telepon. Wajah Topas berubah. Pikiran yang semula mulai menjurus ke suasana melankolis dibuangnya jauh-jauh. Ia mendapat telepon dari orang tuanya, bahwa di rumahnya kedatangan tamu dari pihak calon suaminya.
“Saya harus pergi Kak ….” Kata Topaz beranjar bediri. Hilal demikian pula.
“Tata, biarlah kakak eja namamu di hadapan pemiliknya Topaz Aini Tri Astuti … nama yang pernah aku harapkan menjadi ibu dari anak-anakku, namun terlambat …..”
“Jangan katakan itu … jangan … kak Hilal….”
“Aku mencintai Topaz ….” kata Hilal seraya menatap mata Topaz. Gadis itu tertegun sejenak. Beberapa saat ia terdiam, menggigit bibirnya. Kemudian mengusap sudut matanya yang tampak mengembang air mata.
“Terlambat … kakak ..ka… kakak terlambat ….”
“Takdir , sudah takdir Topaz … kakak tidak tahu berapa tahun lagi atau mungkin puluhan tahun kakak akan berhasil mengobati kekecewaan ini …..”
“Jangan begitu kaak……”
“Topaz, ijinkan kakak mengakatan kalimat ini yang selama ini kakak pendam; Topaz yang keibuan, Topaz yang anggun …., Topaz yang cantiiikk…..”
“Kaa…kakaaa…. Topaz minta ijin …..minta ijin melangsungkan pernikahan ini ... mohon maaf ….. semoga kakak ikhlash” kata Topaz seraya menyalami telapak tangan Hilal.
Mata Hilal terasa panas. Punggung tangan pemuda itu merasakan lelehan air mata Topaz. Perlahan ia genggam beberapa sekon telapak tangan Topaz yang lembut. Ya, hanya beberapa sekon. Hilal melepasnya perlahan.
Gadis itu itu mengucap salam, kemudian berbalik. Bergegas meninggalkan Hilal.
“Topaz…. Tungu sebentar….” Teriak Hilal. Gadis itu berhenti. Hilal mendekat.
“Ini adalah mimpiku ….” kata Hilal seraya menyodorkan kertas undangan untuk dirinya. Topaz menerimanya perlahan.
[caption caption="kreasi pribadi - gambar format JGP"]
[/caption]
Topaz tertegun. Dalam undangan itu, Hilal telah mencoret nama Misbahul Ulum, mengganti nama dirinya. Hilal menggeleng. Undangan itu tidak mungkin akan dibawa Topaz. Perlahan Hilal mengulurkan tangan meminta kembali undangan itu.
Setelah itu Topaz dengan begegas meninggalkan Hilal. Kali ini benar-benar Hilal sendirian. Hilal tidak pernah tahu, ketika telah menjauh, bibir mungil Topaz bergumam “ ….. kak Hilal, seandainya kakak tahu bahwa Topaz juga mencintaimu ….. aku hanya tidak mau menyakiti hati Safira, adikku …… “
Siang itu halaman SMP IT Nurul Aini sepi. Sesepi hati Hilal. ***
Lanjut di edisi ke-2 lanjutan cerpen ini
http://fiksiana.kompasiana.com/didik_sedyadi/cerpen-kembalilah-padaku-topaz-aini_56c4b8aee422bdc10caada87
*Edisi request seorang ibu guru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H