Lihat ke Halaman Asli

Didik Sedyadi

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Cerpen: Wasiat Ibu

Diperbarui: 28 Desember 2015   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanggal 10 Maulud, 22 Desember 2015 seharusnya rembulan bersinar cemerlang. Namun kali tidak. Gumpalan awan berarak perlahan menutupi sinarnya. Perlahan suasana temaram. Puspa, perempuan setengah baya merapatkan krag jaketnya untuk mengusir hawa dingin yang datang bersama semilirnya angin. Hawa dingin yang semakin terasa, memaksanya masuk ke rumah.

Selintas perempuan itu melihat jam dinding. Jam sepuluuuh……, gumamnya seraya mendesah dalam. Ranto, suaminya, belum pulang. HP-nya tak dapat dihubungi. Rasa gelisah di hatinya semakin memuncak ketika ia ingat akan nasib bu Haryanti, atasan Puspa yang telah pensiun.

“Bu Titin, telah tiga hari Bu Har tidak masuk. Ke mana gerangan beliau?” tanya Puspa kepada Bu Titin, teman satu ruangan di kantornya.

“Astaghfirullah ….. belum tahu? Bu Puspa belum tahu?”

“Tahu apa?”

“Benar Bu Puspa belum tahu?” sekali lagi Bu Titin meyakinkan diri.

“Tentang Bu Har? Belum.”

“Pak Raden kawin lagi.”

“Astaghfirullaaaahh….. benarkah Bu?”

“Iya.”

Beberapa jenak Puspa tak berkata apa-apa. Rasa kaget kali ini benar-benar tidak seperti rasa kaget yang biasa ia alami. Ini sangat luar biasa. Pak Raden Anggoro, suami Bu Haryanti adalah seorang tokoh masyarakat yang terpandang, baik secara derajat keningratan, pangkat maupun ilmu. Keluarga dengan enam orang anak yang telah berkeluarga semua rasanya sangat mustahil Pak Raden melakukan itu. Cucunya yang banyak sama sekali tak menjadi penghalang baginya untuk kawin lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline