Lihat ke Halaman Asli

Didik Sedyadi

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Novel : KYAI KERAMAT (22)

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1403963562202993284

Seri 22 dari 23 Seri :

CALON MENANTU

Sang Kyai telah kembali ke Widodaren. Kyai Haji Mukhlis Abas juga telah kembali ke Kedungjati. Penanganan Abu Najmudin masih dilanjutkan . Pemuda ini masih harus meneruskan perawatan di Sumner Waras. Ketika mau ditinggal saja Kyai Haji Mukhlis Abas telah menawarkan apakah mau pulang Kedungjati , Widodaren, atau tetap di rumah sakit dulu. Pemuda itu bahkan mengatakan ingin tinggal di Widodaren lebih lama lagi. Jadi, untuk sementara karena keadaan belum memungkinkan, pemuda masih dirawat. Penjagaan selalu dilakukan oleh santri yang mendapat giliran. Tak satupun di antara para santri yang mengeluh, sebab amanat dari Sang Kyai karomah bagi mereka adalah sebuah berkah.

Sampai di Widodaren, malamnya Sang Kyai menggelar rapat pengasuh. Banyak hal penting yang dibicarakan. Diantaranya adalah tentang peristiwa penikaman yang menimbulkan fitnah terhadap Wak Wardan. Laki-laki tua tak berdosa itu ternyata telah menjadi sasaran pukulan seorang santri dan Kyai Haji Soleh Darajat. Kedua orang itu tadi siang langsung mengunjungi Wak Wardan sambil meminta maaf. Orang-orang yang semula begitu membenci laki-laki penjaga kuburan benar-benar telah mendapat pelajaran bahwa menduga tanpa bukti sangat riskan sekali. Memang jika agak jeli sedikit, sebenarnya bisa menduga kemungkinan-kemungkinan lain. Tidak hanya Wak Wardan saja yang mestinya, dicurigai. Sarpin juga pernah terlibat pertengkaran dengan Abu Najmudin. Akan tetapi akhirnya Sang Kyai mengajak, bahwa mulai saat itu tak boleh satupun warga Widodaren yang mengedepankan su’udzon. Hilangkan sebersih mungkin darihatinya. Semua yang mendengar wejangan Sang Kyai membenarkan.

Akan halnya sikap Wak Wardan sekarang, sungguh menjadi hal yang sangat membahagiakan Sang Kyai. Laki-laki tua yang kini telah diangkat menjadi juru bersih masjid An Najm itu selalu kelihatan ceria, dan akrab dengan para santri. Pembongkaran kusen pawudon masjid juga telah dijelaskan pula bahwa atas pertimbangan yang besar, dan Insya Allah diridhoi, maka kusen jati tua sangat sangat keras itu diganti dengan kusen kayu nangka.Tak terperi kebahagiaan Sang Kyai melihat wajah Wak Wardan begitu ceria melihat penggantian kusen pintu. Kyai Ahmad Hong sebagai anak dari Sang Kyai pun sangat bahagia melihat kebahagiaan ayahnya. Sang Kyaimerasa bahwa hidup ini sangat indah ketika peran dirinya dirasakan oleh orang lain.

Pengobatanpun telah kembali berjalan normal. Akan tetapisemakin ke sini Sang Kyai merasakan makin banyak yang memanfaatkan dirinya untuk hal-hal yang mendekati syirik. Banyak dari mereka yang datang meminta mencium tangan dan mendoakan air sebagai sarana agar menjadi kaya, agar menjadi pandai, agar menjadi pejabat dan sebagainya. Untuk hal-hal semacam ini Sang Kyai masih mentolerir. Ia hanya berfikir jika suatu saat sudah sangat menyesatkan barulah ia akan mengambil keputusan.

Sehari setelah Abu Najmudin pulang ke Widodaren, Sang Kyai mendapat telephon dari Kyai Haji Mukhlis Abas. Bahwasanya keduanya harus ke Kedungjati.Malam itu juga Sang Kyai mengumpulkan seluruh santrinya di masjid An Najm. Banyak di antara mereka yang saling bertanya. Tidak biasanya Sang Kyai berlaku demikian.

“Warga pesantren Babussalam Widodaren…. ada hal penting yang akan saya sampaikan. Semua menyangkut kehidupan kita sebagai warga pesantren tercinta ini…..” Kata Sang Kyai tenang.

Malam itu angin semilir. Suasana hening. Sang Kyai berhenti sejenak. Semua yang hadir terpekur. Dijeda semacam ini, hati mereka semakin tak keruan. Mereka gelisah.

“Para sesepuh, pengasuh, para santri… yang sangat saya cintai…… rasanya beberapa hari ini kehidupan di pesantren ini banyak yang aneh. Dulu pesantren ini tenang. Namun sejak kejadian aneh pertama itu…. disusul kejadian aneh-aneh yang lain. Kuburan keramat, pasar tiban, pertengkaran, penyalahgunaan kesempatan, penikaman, fitnah, dan lain-lain. Ini semua tak sejalan dengan kehidupan pesantren yang semestinya. Jauuuhh….”

Angin semakin semilir. Santri yang berada di serambi masjid mulai merasakan kedinginan yang berbeda. Ditambah dengan suasana tintrim , mereka merasakan semakin dingin. Di jajaran pengasuh, Kyai Ahmad Hong terpekur dalam. Di sampingnya Kyai Haji Soleh Darajat pun demikian.

“Ada kalanya seseorang butuh suasana baru. Termasuk saya. Pikiran saya butuh sedikit ketenangan, walaupun sebenarnya sekarang juga telah tenang. Namun secara pribadi saya masing butuh ijin dari warga semua untuk sekedar beberapa hari meninggalkan pesantren ini. Bisa sebentar, bisa lama.”

Gemrenggeng suara para santri berkomentar terhadap ucapan Sang Kyai. Banyak yang tidak bisa mencerna ke mana arah ucapan Sang Kyai. Sementara itu Sang Kyai diam beberapa saat membiarkan para santri dan yang lain saling menduga-duga. Hingga beberapa menit , Sang Kyai memulai lagi.

“Banyak hal yang seharusnya menjadi tanggungjawab saya yang bakal dipikul oleh orang lain. Pengobatan bagi yang datang ke sini tentu akan terhambat atau tertunda. Atau mungkin juga setelah ini saya tak lagi memiliki kemampuan yang dikaruniakan Allah seperti sekarang ini…..”

Mendengar yang demikian para santri semakin cemas. Banyak hal yang akan terjadi jika Sang Kyaikehilangan kemampuan menyembuhkan orang sakit. Mungkin kebanggan para santri akan hilang, mungkin kebanggaan para pengasuh akan luntur, orang yang sakit akan kehilangan salah satu jalan penyembuh, mungkin kesulitan hidup akan kembali dirasakan oleh mereka yang berdagang di pasar tiban.

“Saudara-saudara saya yang saya cintai ….. rasanya malam ini juga saya harus berangkat ke Kedungjati. Apapun yang akan terjadi di sini, biarlah nanti ada mengurus. Tamu-tamu, para pedagang, atau apa saja. Nanti agar semuanya tahu, para sesepuh, para pengasuh, para santri semua, saya mewakili Abu Najmudin mohon diri dulu. Malam ini saya akan berangkat ke Kedungjati bersamanya.”

Mendengar pernyataan Sang Kyai para santri terkesima. Mungkin mereka merasa bahwa Abu Najmudin mendapat perlakuan sangat istimewa. Di mata mereka Abu Najmudin tetaplah santri biasa. Walaupun mereka juga sangat hormat dan kagum karena kehafidz-annya itu.

“Saudara-saudara yang saya cintai …. malam ini saya mau umumkan tentang pengganti sementara saya pergi. Seluruh urusan pesantren, siapa saja yang hendak berhubungan dengan pesantren, segala permasalahan yang terjadi di lingkungan, sepenuhnya saya serahkan ke ustad Kyai Ahmad Hong.” Kata Sang Kyai kepada Kyai Ahmad Hong yang duduk di samping kirinya.

Kyai Ahmad Hong mengangguk menandakan bahwa ia sanggup menerima amanat tersebut. Di sebelah Sang Kyai , Kyai Haji Soleh Darajat tertunduk sambil menghela nafas dalam. Kyai Haji Soleh Darajat terpekur beberapa saat. Pengasuh pesantren itu mengangkat muka ketika Sang Kyai menepuk bahunya, kemudian minta diri untuk berpamitan.

Kyai Ahmad Hong dan Kyai Haji Soleh Darajat berdiri, kemudiankeduanya mengantar Sang Kyai ke luar masjid. Dari tempat duduk para santri, Abu Najmudin menyalami beberapa santri yang didekatnya untuk berpamitan. Ditinggal Sang Kyai, Kyai Ahmad Hong dan Kyai Haji Soleh Darajat ke luar hadirin gaduh. Semua berbicara menuruti keinginan hati masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa penunjukkan Sang Kyai pas. Namun ada yang tidak setuju, sebab Kyai Haji Soleh Darajat lebih tua dibanding Kyai Ahmad Hong , sehingga seharusnya Kyai Haji Soleh Darajat–lah yang memimpin pesantren Widodaren.

Malam itu mobil yang membawa Sang Kyai dan Abu Najmudin meninggalkan pesantren. Setelah mobil hilang dari pandangan, Kyai Ahmad Hong dan Kyai Haji Soleh Darajat kembali ke masjid. Keduanya duduk berdampingan. Perlahan para santri yang gaduh mulai mereda.

“Silakan memberikan sambutan ustadz!” Kata Kyai Haji Soleh Darajat mempersilakan.

“Ooo… silakan, Pak Kyai Haji saja.” Kyai Ahmad Hong menolak.

“Lhoo… kan ustadz yang ditunjuk sebagai pemimpin pesantren ini.”

“Ya tapi…. “

“Baiklah, kalau ustadz tidak mau bicara, biar saya yang bicara.”

Kata-kata mereka yang ada di depan ratusan santri membuat tercengang. Mereka tidak mengira Kyai Haji Soleh Darajat berkata demikian kepada Kyai Ahmad Hong.

“Para pengasuh… para santri yang baik, yang saya cintai. Penunjukkan Sang Kyai atas ustadz Hong adalah merupakan sebuah kesalahan!” Kata Kyai Haji Soleh Darajat begitu nyaring.

Mendengar pernyataan Kyai Haji Soleh Darajat yang nyaring semacam ini semuanya diam. Seluruh yang mendengar perkataan Kyai Haji Soleh Darajat tegang.

“Saya di Widodaren ini adalah yang tertua! Yang paling senior, yang sudah lebih dulu makan asam garamnya ngurus pesantren ini. Saya yang lebih layak mengurus pesantren ini sebagai pemimpin, setelah Sang Kyai!” Kata Kyai Haji Soleh Darajat sambil menunjuk dada sendiri.

Suara Kyai Haji Soleh Darajat yang semakin meninggi semakin menjadikan suasana di masjid An Najm semakin tegang.

“Saya yang lebih tua. Secara unggah-ungguh mestinya ustadz Harus menghormati saya di hadapan Sang Kyai dengan menolak amanat memimpin pesantren.”

“Tapi itu amanat Pak Kyai ….. “

“Itulah jika mengedepankan keinginan pribadi! Semua tahu, ustadz Hong adalah putra Sang Kyai! Maka wajarlah …. jika nepotisme terjadi!”

“Maafkan saya Pak Kyai!”

“Apalagi ustadz Hong adalah seorang Cinaaa!” Teriak Kyai Haji Soleh Darajat menggema.

Hadirin gemuruh. Suasana menjadi gaduh, bahkan semakin lama semakin gaduh. Sebagian yang merasa tidak suka dengan sikap dan ucapan Kyai Haji Soleh Darajat mulai bangkit dari duduknya.

“Santri duduk!”

“Maaf Pak Kyaiii… bukannya kami tidak menghormati Pak Kyai, tetapi ngendika Pak Kyai sudah melenceng dari tata krama!” Kata santri dengan beraninya.

“Tata karma yang mana? Dia memang seorang Cina? Bukan anak kandung Sang Kyai, jadi secara nasab ia sama sekali bukan apa-apanya Sang Kyai! Maukah kalian dipimpin oleh seorang Cina?!”

“Ini SARA Pak Kyaiiii! Islam tidak mengajarkan yang seperti itu!” Santri yang tadi berdiri masih tetap membela Kyai Ahmad Hong.

“Tapi tetap saja kita berbeda dengan kita!”

“Kita siapa Pak Kyai? Apakah karena ia bukan seperti kita, maka Pak Kyai mengatakan itu tidak layak memimpin kita.”

“Iya! Sudah saya katakan tadi!”

“Pak Kyai ….. Pak Kyai salah besar! Salah jika tidak mau dipimpin oleh orang yang tidak sama dengan kita, tidak mau dipimpin oleh seorang Cina. Memangnya Rasulullah itu sama seperti kita? Sukunya seperti kita? Kanjeng Rasul itu orang Arab Pak Kyai! Maaf, Pak Kyai sebenarnya masih harus banyak belajar dalam hal ini. Kalau Pak Kyai mau, tolong, Pak Kyai segera tanggalkan keyakinan Pak Kyai, jangan mau dipimpin oleh Rasulullah karena beliau termasuk bangsa Arab!”

Betul! Betul Betuuul!

Suasana semakin gaduh dengan keberanian santri yang satu ini. Bahkan beberapa santri memulai bertepuk tangan diikuti oleh yang lainnya. Malam itu benar-benar panas. Namun hal yang sebaliknya tampak dalam raut wajah Kyai Ahmad Hong .

“Sudah…. sudaaah…semuanya saya anggap tidak bermasalah. Kepada yang terhormat Pak Kyai Soleh , saya sampaikan , bahwa saya dengan lilo legowo menyerahkan tampuk kepemimpinan ini kepada Bapak….. “Kata Kyai Ahmad Hong dengan tenang.

Semua yang mendengar kata-kata Kyai Ahmad Hong kaget. Begitu mudahnya ia menyerahkan amanat Sang Kyai kepada Kyai Haji Soleh Darajat . Padahal ia telah dihina dengan dikata-katai dengan menyebut-nyebut suku bangsa segala. Sebagian kecewa dengan sikap Kyai Ahmad Hong yang lemah.

“Betul ustadz?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajat dengan wajah cerah.

“Insya Allah saya ikhlash Pak Kyai.”

“Apa alasannya?”

“ Apalah artinya menjadi pemimpin, jika masih ada yang merasa lebih berhak untuk memimpin….. perjalanan mereka yang dimpimpin, atau mungkin lembaga yang dipimpin, akan tidak harmonis. Maka saya sebagai orang yang merasa lebih muda, menyerahkan tampuk pimpinan ini kepada bapak Kyai Haji Soleh. “

Kyai Haji Soleh Darajat memeluk erat Kyai Ahmad Hong hingga lama. Hadirin yang menyaksikan terkesima. Demikian pula orang-orang di jajaran pengasuh juga sangat heran dengan adegan tersebut.

“Saudara-saudara, para santri semua….. “ Kyai Haji Soleh Darajat berkata setelah melepaskan pelukannya pada Kyai Ahmad Hong, “ ….. hari ini saya harapkan semuanya menjadi saksi, bahwa ustadz Kyai Ahmad Hong adalah orang yang berhati mulia. Pembawaannya tenang, walaupun dihina orang. Santripun demikian, ghirahmembela kebenarannya muncul. Ketika saya kataka perihal Kyai Ahmad Hong adalah seorang Cina, pasti banyak yang tidak setuju karena itu adalah masalah SARA. Saya puji keberanian… emmmm siapa tadi?”

“Jamaaaal!”

“Ya keberanian Jamal terhadap orang yang salah. Saya akui salah. Dan Jamal dengan gagah berani bahkan sampai menyuruh saya meninggalkan keyakinan. Karena memang Rasulullah juga bukan bangsa kita. Bagus, bagus, sebuah analogi yang benar. Inilah yang memang seharusnya sikap-sikap yang perlu dibangun. Berani mengatakan yang haq walau pahit. Qulil Haq walau kaana muroon! Pahitnya karena saya adalah orang tua. Teruskan keberanianmu untuk mengatakan yang batil itu batil, yang haq itu haq!”

“Siap Pak Kyai!”

“Kepada Kyai Ahmad Hong saya ucapkan terimakasih”

“Sama-sama, saya juga merasa terbebas dari beban, Pak Kyai.”

“Ya… dan mudah-mudahan semua menjadi saksi bahwa Kyai Ahmad Hong adalah orang kholis. Mau?”

“Siaaap!”

“Dan saya sangat bangga pada caranya mengambil kepitusan! Setuju?”

“Setujuuu!”

“Dan memang, saya sebagai orang tua saya harus bangga kepada yang muda. Setuju?”

“Setujuuuuu!”

“Dan mohon disaksikan, bahwa pada tengah malam ini saya sangat bangga terhadapcalon menantuku!” Kata Kyai Haji Soleh Darajat sangat jelas.

Hadirin kaget. Suasana masjid kembali gaduh. Semua hampir tidak percaya. Hanya Kyai Ahmad Hong yang kelihatannya tenang. Senyumnya membayang di bibirnya. Pandangannya diedarkan berkeliling. Semuanya sama sekali tidak mempercayai apa yang baru saja mereka dengar.

“Menantu Pak Kyai?” Ada santri yang bertanya.

“Ya.Menantu.”

“Menantu beneran?”

“Iya. Benar. Saya serius. Dua hari yang lalu, ketika bapak Kyai Haji Mukhlis Abas di sini, beliau telah menjadi saksi lamaran Kyai Ahmad Hong kepada anak saya Zaniar Latifurrahmah. Memang tidak mengundang banyak orang. Nanti saja jika sampai saatnya walimahan. Benar ustadz?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajat kepada calon menantunya sambil tersenyum.

“Benar.” Jawab Kyai Ahmad Hong singkat.

Alhamdulillaaaaahh……!

Malam itu benar-benar merupakan malam yang penuh gejolak emosi para santri dan pengasuh lain. Semua mata kini perlahan tertuju kepada Kyai Ahmad Hong yang memerah mukanya karena malu. Namun senyumnya selalu membayang tak tertahankan.

“Mohon perhatian para santriii……” Kata Kyai Haji Soleh Darajat mencoba meredakan suara-suara santri, “ ….. dulu, ketika saya masih belajar di pesantren, guru saya, almarhum Kyai Haji Muchayat, juga pernah seperti saya tadi. Marah-marah, menghina orang. Ini hanyalah sebuah teknik untuk memancing munculnya sikap hakiki seorang santri, dulu begitu kata almarhum.”

“Oooo…..”

“Sekarang, pimpinan pesantren ini saya serahkan kembali kepada Ustadz Hong. Juga mohon disaksikan ……”

“Aaaahhh….. jangan…..silakan, Pak Kyai saja…”

“Sesuai amanat Sang Kyai saja….”

“Malu Pak Kyai…..”

“Nanti penerimaan lamaran dibatalkan lho?!”

“Ahh…aaahh…. jangan…. jangan Pak Kyai!” Kata Kyai Ahmad Hong sambil meraih tangan Kyai Haji Soleh Darajat disalaminya kemudian diciumi.

Yang melihat riuh rendah melihat adegan ini. Kyai Haji Soleh Darajat pun tak bisa menahan tawanya melihat kelakuan calon menantunya itu.Kyai itu menepuk pundak Ustadz Ahmad Hong berkali-kali.

“Ya sudah, mau memimpin Widodaren apa tidak?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajat yang kini gaya bahasanya seperti ayah kepada anak.

“Insya Allah mau.”

“Naaah begitu, itu calon menantu yang berbakti.”

Tengah malam lewat suasana pesantren benar-benar menjadi hidup. Ketika pertemuan dibubarkan, masing-masing pulang ke kamar sambil membicarakan lamaran Kyai Ahmad Hong kepada putri Kyai Haji Soleh Darajat .

Malam berbintang.

Mobil yang membawa Sang Kyai melaju di jalan yang sepi. Sesekali perjalanan berpapasan dengan mobil yang juga melaju kencang. Perjalanan sudah sampai daerah Sokaraja. Sang Kyai mengajak Iman membelokkan mobilnya ke warung soto.

“Kita makan dulu …..” Kata Sang Kyai .

“Silakan Sang Kyai saja, saya sudah kenyang.” Kata Abu Najmudin sambil tetap bersandar pada jok.

“Sudah kenyang makan apa?”

“Tidak tahu Sang Kyai, tapi saya merasa sudah kenyang.”

“Ayolah… kamu tidak boleh menolak.”

Tak perlu mendua kali kalimat, akhirnya Abu Najmudin turun dari mobil. Sopir Iman mengunci pintu,kemudian bergegas mengikuti Sang Kyai. Tengah malam lewat sedikit hawa terasa dingin. Sang Kyai memesan teh panas. Kedua pemuda itu juga ikut memesan teh panas.

“Kamu kenapa tidak ceria begitu Din? Bukankah sebentar lagi kamu bertemu ibumu?”

“Aaah biasa saja Sang Kyai .”

“Biasa bagaimana?”

“Biasa tidak ceria.”

“Ah bercanda kamu Din. Dulu-dulu wajahmu ceria, penuh keberanian, terutama kepada Sarpin , hingga kamu ditikam ….”

“Ya sekarang juga ceria….”

“Diiin….. apa kamu ada masalah dengan Ustadz Hong?” Tanya Sang Kyai langsung menukik. Abu Najmudin kaget.

“Aaa…aaa… apa maksudnya Sang Kyai ?”

“Ya barangkali ada masalah, sebaiknya jangan dipendam.”

“Tidak. Saya tidak punya masalah.”

“Oooo ya syukurlah kalau begitu. Sekarang giliran saya bertanya ke Iman. Man…. Kamu kenal si Niar?”

“Putrinya Pak Kyai Soleh kan?”

“Iya, itu si Niar.”

“Kenal Sang Kyai . Wuaihhh… orangnya cantik.”

“Kamu suka?”

“Aaaahh…. Sang Kyaikok tanya yang tidak-tidak saja!”

“Yang tidak-tidak saja bagaimana? Jelas saya tanyakan kamu suka ke Niar apa tidak?”

“Pernah suka sih. Tapi seperti pungguk merindukan bulan. Takut lihat ayahnya.”

“Takut lihat ayahnya, memangnya ayahnya apaan?”

“Hehehee… maksudnya tahu diri lah. Dulu Mbak Niar juga akan dijodohkan dengan Pak Guru Damar, tapi tidak jadi.”

“Hahahaaaa….”

“Bukankah kalau tidak salah Mbak Niar mau dilamar ustadz Hong?”

“Tahu saja…. nguping dari mana Man?”

“Tahu saja , yaaa tahu saja, dari gethok tular!”

“Tahunya sudah lama Sang Kyai setahun yang lalu, tapi kok nggak jadi-jadi.”

“Hong-nya belum siap. Tapi Insya Allah dalam waktu dekat resmi. Yang namanya jodoh itu di tangan Allah. Kita harus terima suratan jodoh kita masing-masing. Termasuk saya sendiri …… “

“Ah Sang Kyai bisa saja bercanda. Itu kan karena Sang Kyai yang tidak mau mencari.”

“Awas lho…. Kamu bercanda dengan orang tua…..”

Nggih, nggih Kyai.” Kata Iman sambil tertawa.

Sementara Abu Najmudin hanya diam. Namun sepertinya ia merasa bahwa Sang Kyai memang sedang menanyakan sesuatu hal yang berkaitan dengan anak Kyai Haji Soleh Darajat. Sebenarnya pemuda itu malu pada Kyai Ahmad Hong . Kemarin-kemarin Abu Najmudin berbicara pada Kyai Ahmad Hong memuji Zaniar. Hingga akhirnya pada satu kesempatan, Abu Najmudin tahu bahwa Kyai Ahmad Hong lebih banyak mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga Kyai Haji Soleh Darajat .

“Kita jalan Iman! Ayo Diiin…..” Kata Sang Kyai sambil menggamit tangan Abu Najmudin . Pemuda itu merasa bahwa Sang Kyai sangat akrab dengan dirinya. ***

Keterangan kata Bahasa Jawa :

1.unggah-ungguh = tatakrama

2.ngendika = berkata (dipergunakan untuk penghormatan yang tinggi)

3.lilo legowo = ikhlas yang sebenarnya

4.gethok tular = berita dari mulut ke mulut

5.Nggih, nggih = ya, ya

Bersambung ke Seri 23 (TAMAT)

Insya Allah Senin mendatang ................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline