Lihat ke Halaman Asli

Didik Sedyadi

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Cerpen: Kucium Tanganmu Mas!

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah empat puluh tahun Santo dan Santi berumah tangga. Sekarang cucu-cucunya telah memanggilnya Kakek Nto dan Nenek Nti. Kakek Nto telah pensiun dari pegawai negerinya. Keduanya tinggal menikmati hari tua, tak memikirkan lagi tanggung jawab terhadap orang-orang di sekitarnya, kecuali terhadap dirinya sendiri.

Seusia Kakek Nto dan Nenek Nti tentu tak lagi mengurus anak. Kalaupun ada cucu juga kadang-kadang saja. Kunjungan ke mereka berdua juga kadang-kadang. Anak-anak dan cucu-cucunya tak lagi menjadi tanggungjawab langsung. Inilah sebuah kebahagiaan sosok Kakek Nto dan Nenek Nti yang sudah tua. Di akhir usia senja tak da beban lagi, kecuali membaik-baikkan diri, meningkatkan kualitas diri, jika mengatakan meningkatkan kualitas iman dirasa terlalu tinggi.

Tapi yang namanya manusia adalah makhluk aneh. Jutaan karakter ada pada jutaan manusia. Karakter manausia berbeda-beda. Termasuk dalam diri Kakek Nto. Secara rahasia – yang ia simpan dalam hatinya ­– ia mengharapkan sebuah kebajikan dari Nenek Nti, jauh, bahkan sangat jauh sebelum menjadi seorang nenek. Tanpa pernah mengungkapkan kepada istrinya, baik dengan canda maupun serius, Kakek Nto mencatat bahwa Nenek Nti menyalami dirinya dan mencium tangannya selsaya suami, belum lebih dari seratus kali.

Yang ia ingat, pada saat pengantin baru, usai akad nikah sekali. Di pelaminan, sekali. Di saat awal-awal kehidupan pasca perkawinan sewaktu masih tinggal serumah dengan orang tua Kakek Nto selama seminggu, dua kali. Kakek Nto ingat, pasca perkawinan masih mengambil cuti. Selama cuti istrinya tak pernah menyalami dan mencium tangannya. Nah ketika cuti habis, dua hari mengantar dirinya berangkat kerja, istrinya menyalami dan mencium tangannya. Itu karena di hadapan mertuanya.

Setelah pindah ke rumah sendiri, tak ada salam melepas keberangkatan. “Saya berangkat ya.”, begitu kata-kata rutin Santo. Santi dengan rutin menjawab, “Ya, hati-hati….”, katanya secara rutin sambil menutup pintu rumah. Tak ada jabat tangan istri kepada suami, apalagi cium tangan.

Sisanya Kakek Nto menghitung, paling-paling saat lebaran, istrinya menyalami, minta maaf sambil mencium tangannya. Hingga kini berarti sudah sekitar empat puluh lebaran. Satu lebaran satu kali salam dan cium tangan. Artinya jika dijumlah dengan awal-awal perkawinan, istrinya menyalami dan mencium tangannya sebagai suami sebanyak 40 ditambah selebihnya tadi, belum ada seratus kali.

Suatu sore Kakek Nto sedang menerima tamu, seorang kenalan yang mengajaknya bisnis mengisi masa pensiun. Obrolan yang sedang asyik itu terhenti sejenak oleh munculnya Nenek Nti, yang sudah memakai mukena separo dari atas,  tetapi bagian bawah masih tampak baju gamisnya.

“Emmm maaf, mengganggu ….. “ kata Nenek Nti menyela pembicaraan.

“Ooo tak apa-apa…. silakan.” kata sang tamu yang paham maksud perempuan istri Kakek Nto.

“Pak saya mau berangkat dulu, pengajian di majlis …..”

“Oh ya…”

“Assalaamu’alaikum Pak.” kata Nenek Nti seraya mengulurkan tangan meminta jabat tangan dengan suaminya, kemudian menciumnya.

Kakek Nto mengangguk. Tamu yang ada di depannya ikut manggut-manggut melihat sang istri meminta ijin kepada suaminya. Beberapa jenak setelah Nenenk Nti tak tampak lagi, mereka melanjutkan pembicaraan.

“Ngomong-ngomong istri bapak baik banget.” kata tamunya.

“Maksudnya?”

“Istri yang shalihah, setiap meninggalkan rumah selalu meminta ijin sambil mencium tangan suaminya.”

“Oooo … itu …… itu biasaaaa….” kata Kakek Nto sambil tertawa.

“Kalau bapak mau berangkat kerja pasti juga begitu ya Pak?”

“Aaaahhhh … sudahlah, jangan memuji.”

“Cermin keluarga teladan Pak. Tadinya saya pikir hal semacam ini hanya ada di sinetron-sinetron, atau adegan lain tentang kisah orang-orang ulet, juga begitu. Di depan kamera pasti mencium tangan suaminya, walaupun sang suami hanya akan pergi ke sawah.”

Sore sepeninggal tamunya, Kakek Nto merasakan desakan untuk mengatakan rahasia dalam hatinya sngat besar. Istrinya harus tahu. Ia berfikir jangan sampai hingga saat ajal menjemput nanti sambil membawa rahasia. Ia mencoba berfikir dengan cara mulai dari obrolan apa agar pembicaraan sampai pada masalah cium tangan kepada suami.

Malam hari usai shalat ‘Isya, Kakek Nto buru-buru meninggalkan musolla demi melihat Nenek Nto telah turun dari teras musholla. Tidak seperti biasanya. Biasanya laki-laki tua itu meluangkan waktunya ngobrol apa saja dengan Pak Dawud, imam musholla hingga agak larut. Sampai di rumah, laki-laki ini langsung memanggil istrinya duduk bersama.

“Jeng, maaf nih … ada sedikit yang mau saya omongin.” kata Kakek Nto kepada istrinya.

Jika di hadapan orang lain, laki-laki ini memanggil istrinya “Bu”, tetapi jika sedang berduaan saja maka memanggilnya “Jeng”. Demikian pula Nenenk Nti, selalu memanggil “Pak” ke suaminya, dan memanggil dengan sebutan “Mas” jika sedang berduaan.

“Serius banget Mas …. ada kabar cucu kita?”

“Bukan masalah cucu. Cucu kita aman-aman saja. Saya cuma tidak habis pikir …. tadi …. tadi …. pas ada tamu…. ngggg…….. aah nggak, nggak jadi ah!” kata Kakek Nto tiba-tiba merasakan jeri atas niat yang sudah hampir ditumpahkan. Laki-laki itu bangkit dari duduknya menuju kasur yang tergelar di depan pesawat TV. Namun justru ketika Kakek Nto tidak jadi mengatakan sesuatu, Nenek Nti menjadi penasaran.

“Apa Mas …. tamu apa? Kok nggak jadi ngomong?” kata Nenek Nti sambil mengikuti suaminya duduk di depan TV.

“Nggaaak … nggak jadi ngomong, nggak penting.”

“Nggak penting apa Mas? Katakan!” kata Nenek Nti sambil mengguncang-guncang pundak suaminya.

“Nggak.”

“Ngomong Mas.”

Terlanjur berada dalam posisi yang kalah, Kakek Nto mencoba menata nafasnya. Ia menoleh ke arah istrinya. Yang dilihat mengernyitkan dahinya.

“Ngomong saja….”

“Mmmmmm ….. tapi….. jangan marah ya.”

“Iya kenapa?”

“Tadi, pas ada tamu, Ajeng mencium tangan saya , tulus nggak?”

“Oooooo……hhhh…..”

Mendengar pertanyaan suaminya, Nenek Nti kendor wajahnya, tak tegang lagi. Kepalanya digeleng-gelengkan. Perempuan itu tertawa kecil.

“Kenapa tertawa? Lucu ya?”

“Masalah begitu saja diungkap Mas, Maaas … saya kira apaaa…..”

“Ini perkara besar Jeng.”

“Besar apanya? Masalah cium tangan ke suami itu masalah biasa.”

“Biasa apa? Saya menganggapnya luar biasa Jeng. Selama ini saya selalu mendambakan Diajeng Santi  mencium tanganku setiap hari , setiap kali saya hendak berangkat kerja.”

“Maaf Mas, saya orangnya tidak seremonialistis!”

“Bukan masalah itu. Ini masalah hati. Keinginan suami. Sebuah keinginan sederhana tetapi penuh makna yang dalam. Sebuah penghormatan yang murah, tidak semahal membelikan hadiah ulang tahun. Hanya cium tangan, seperti tadi sore itu.”

“Berarti sudah kan?”

“Hanya sayang, Ajeng saya amati mencium tangan saya hanya di beberapa kesempatan. Kalau ada tamu, dulu ketika kita masih tinggal dengan orang tusaya, pas lebaran. Ajeng tinggal menghitung, berapa kali Ajeng sebagai istri mencium tangan saya selsaya suami?”

“Lupa …. saking banyaknya.”

“Banyak apa? Saya catat dalam hati, dalam memori ortak saya, tidak lebih dari seratus kali !”

“Mas mencatatnya?”

“Yah, saya minta maaf. Kita hidup bersama selama empat puluh tahunan, Ajeng cium tangan yang pasti pas lebaran sambil minta maaf lahir batin. Sisanya jika ada orang lain. Seharusnya kalau sehari sekali, paling tidak seminggu empat kali, sudah berapa ribu kali Ajeng mencium tangan saya. Kalau yang tadi sore itu, saya pikir itu tidak tulus.”

Mendengar kata-kata Kakek Nto, Nenek Nti menggeleng-gelengkan kealanya. Ditatapnya suaminya tajam-tajam.

“Mas pikir saya tidak mencintai Mas? Tidak tulus? Mas hanya mengukur cinta dan perhatian hanya dari cium tangan! Apakah Mas tidak melihat pengorbanan saya, setiap pagi bangun pukul tiga, menyiapkan makanan, masak pagi-pagi buta, untuk Mas, untuk anak-anak kita, sejak anak-anak masih kecil, SD, SMP, SMA. Saya tak pernah mengeluh. Saya jalani sendiri demi orang-orang yang saya cintai. Saya tak memiliki pembantu Mas, siapa yang mencuci pakaian setiap hari? Saya Mas! Kalau Mas sakit, seingat saya , sayalah yang merawat, yang mengantar ke dokter, yang membuatkan minum khusus, membuatkan bubur …… “

“Mmmm…. Jeng, Ajeng… begini maksud Mas. Bukankah dalam pengajian majlis taklim yang Ajeng ikuti suka dibahas bakti kepada suami, salah satunya mencium tangana suami?”

“Mas! Ngomong saja yang jelas! Ngomong, ngomong saja kalau saya ini ngaji tidak ada gunanya! Ngaji tidak diamalkan! Ngomong begitu Mas …… apalagi sih Mas…. ungkap terus kekurangan saya ….. ungkap terus!”

“Jeng!”

“Ungkap terus Mas, biar Mas puas. Kenapa kalau masalah cium tangan Mas anggap itu masalah besar tidak bilang dari dulu ketika perkawinan baru satu atau dua tahun? Kenapa tidak dari dulu-dulu? Atau memang Mas ingin membuat saya menyesal hingga ajal saya tiba? Iya? Sengaja ngomong sekarang agar penyesalan saya besar bahkan sangat besar? Iya?”

“Jeng … aduuuuhhh….. sudah….. Mas minta maaf. Mas hanya emosi, kelepasan bicara.”

“Mas, apa dikira di mata saya Mas nggak ada kekurangan sehingga Mas tega-teganya menuntut saya untuk berlsaya di saat yang sudah terlambat?”

“Ooo apa kekurangan saya Jeng?”

“Tidak Mas, sampai matipun kekurangan Mas tak akan pernah saya sampaikan. Saya tsayat Mas sakit hati, tak akan pernah saya ungkapkan.”

“Ayolah ungkapkan Jeng. Biar impas.”

“Tidak akan pernah.”

“Maafkan saya ….. “

Nenek Nti tak berkata-kata apa-apa lagi. Perempuan itu beranjak dari duduknya, kemudian masuk kamar. Kakek Nto mengejar, namun terlambat. Daun pintu telah dikunci dari dalam. Beberapa kali laki-laki tua itu mengatuk pintu sambil memohon maaf, namun tak ada jawaban. Kakek Nto gundah, Ia berjalan mondar-mandir di depan kamar. Berulang kali ia menghela nafas dalam, namun sama sekali tak membuat dadanya lega. Untuk menghilangkan rasa yang mengganjal ia menyetel TV, kemudian berbaring. Matanya melek, tapi sama sekali tak melihat apa yang ada di hadapannya.

***

Pagi-pagi Kakek Nto bangun. Ia baru menyadari bahwa ia tertidur di kasur di depan TV yang masih menyala. Badannya terasa penat. Namun penatnya hilang ketika ia melirik jam dinding. Pukul 05.43.

Haduuuh! Sudah siang sekali. Ketinggalan shubuh! Kenapa Ajeng tidak membangunkanku sih?! Gerutunya sambil beranjak menuju ke kamar mandi kemudian melsayakan abdas. Usai shalat ia terlongong-longong sejenak. Namun ia baru ingat bahwa tadi sore ia habis bertengkar dengan istrinya. Laki-laki itu lebih kaget lagi ketika pintu kamar telah terbuka.

Perlahan ia melangkah ke kamar. Gelap. Tak ada suara apapun. Perlahan jarinya meraba saklar lampu. Klik! Kamar terang. Kakek Nto kaget sebab di kasur tak ada siapa-siapa.

Ajeeng! Jeng! Laki-laki itu memanggil-manggil istrinya. Sepi. Ia mencari di beberapa sudut rumahnya, tak ketemu yang dicarinya. Ia kembali ke ruang tengah, menjatuhkan pantatnya di sofa.

Mendadak mata Kakek Nto melihat ada kertas tergeletak di meja. Seingatnya tadi malam tak ada apa-apa di sana. Perlahan tangan laki-laki itu mengambil kertas itu.

Surat……, gumamnya. Benar itu tulisan istrinya. Perlahan ia membaca :

….. Mas Santo,tadinya saya ingin membawa rahasia ini hingga ajalku tiba. Tapi rasanya tidak adil. Saya takutt nanti arwahku tidak tenang, seeprti Mas yang telah menyimpan rahasia hati sejak empat puluh tahun yang lalu.

Mas, saya juga banyak kecewa kepada Mas. Mas itu orangnya tidak peka. Tak bisa paham diberitahu sekali. Ini daftar kekecewaanku Mas :

1.Selama empat puluh tahun Mas bangun pagi harus selalu dibangunkan, tidak bisa menjadi contoh untuk anak-anak. Pernah diingatkan, tetapi saya maklum mungkin sudah watak Mas.

2.Kalau makan menyendok sayur dengan sendok yang dipakai makan. Jorok Mas. Sering aya ingatkan, tetapi Mas tak pernah merubah kebiasaan itu sampai sekarang.

3.Mas jarang mengaji sore, padahal Mas selalu menyuruh anak-anak mengaji.

4.Betapa saya tiap malam selama empat puluh tahun tersiksa dengan dengkuran Mas, tapi tak pernah ngomong, kecuali sekarang.

5.Mas jarang menyiram bekas pipis di kamar mandi dengan benar, bau pesingnya kadang masih tercium mereka yang masuk belakangan. Pernah saya ingatkan Mas, tetapi kebiasaan jorok itu sampai sekarang masih Mas jalani. Empat puluh tahun Mas!

6.Tetangga kita Mas, Pak Yatno, rajin membantu istrinya, membersihkan rumah kalau hari minggu. Refreshing bersama. Mas apa? Mas lebih suka pergi memancing dengan teman-teman sekantor Mas.

7.Kalau Mas minta ngopi, saya katakana : Sekali-sekali buat sendiri Mas …., maka kamu marah-marah. Jadilah saya mengalah, meninggalkan pekerjaanku dulu untuk membuatkan kopi untuk Mas.

8.Saya mencuci pakaian kotor setiap hari, capek Mas. Pernah saya minta agar membayar pembantu untuk mencuci, tapi Mas katakan kurang afdol, tidak bersih.

9.Berapa malam saya rajin (walau capek tapi terpaksa), menemani anak-anak belajar hingga larut malam. Apa yang Mas lakukan? Tidur sejak sore.

10.Pernah saya ingatkan akan manfaat shalat tahajud, tapi Mas tetap saja tidak merespon saran saya sebagai istri. Mas lebih ringan untuk bangun tengah malam menonton sepak bola, menonton orang mengejar-ngejar angin.

11.…..

12.…….. (masih banyaaaaaaaak )……

Ah sudahlah Mas, saya capek menulis. Saya khawatir Mas keburu bangun. Masih ada ratusan kekecewaanku terhadap Mas, sebab waktunya lama, empat puluh tahun.

Malam ini saya sengaja tidak minta ijin secara lisan Mas. Saya pergi dari rumah. Agar Mas tahu bagaimana rasanya sakit hati Mas sering pergi seenaknya tanpa ijin juga, tak menganggap ada istri. Biarkan saya pergi. Tak perlu ada yang dikhawatirkan saya berjalan di tengah malam. Jangan khawatirkan saya seperti kekhawatiran ketika saya masih muda berjalan sendiri di malam hari. Sudah tidak ada yang mau dengan manusia tua, peot, dan tak tahu diri seperti saya.

Maaf sekali lagi Mas. Tadi sebelum pergi , kucium tanganmu Mas,  selagi Mas masih tertidur lelap, sebagai tanda bakti Santi pada Mas Santo, mungkin cium tangan yang terakhir.

Yang tak menghormati suami

Santi.

Ajeng Santiiiiiii!!!!! Teriak Kakek Nto sambil berdiri.

Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Nafasnya tersengal-sengal. Perlahan lututnya bergetar, semakin nyata getarannya, hingga akhirnya tak mampu menahan berat tubuhnya. Tubuh laki-laki tua itu berdebum jatuh di lantai. Sendirian. ***

Majalengka, Akhir Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline