Lihat ke Halaman Asli

Didik Sedyadi

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

[Fiksi Fantasi] Penjara Pustax

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PENJARA PUSTAX

Karya Didik Sedyadi (No 92)

Hari pertama bulan ini.

Hakim Brayut memutuskan vonis 10 tahun penjara untuk Sanepa. Potong tahanan 2 bulan baginya tak berasa mengurangi bakal penderitaan. Yang paling mengerikan adalah keputusan hakim termasuk ia harus dijebloskan ke Penjara Pustax. Lemas lutut Sanepa. Air matanya meleleh. Sama sekali tak meninggalkan bekas kebengisan sebagai seorang jagal mutilasi. Bahkan kemudian Sanepa berteriak histeris, hingga petugas keamanan turun memegangi, kemudian menyeretnya keluar. Para petugas yang juga gemas melihat kelakuan Sanepa memegang laki-laki dengan mencengkeram keras. Sanepa mengaduh pelan dengan mulut meringis. Sanepa digelandang ke luar menuju mobil tahanan.

“Pustax akan menjadi penjara yang paling mengerikan dalam hidupmu.” bisik petugas ditengah perjalanan menyeret narapidana itu.

“Tolong saya Paaak ….”

“Tak ada tolong-tolongan. Kamu akan merasakan bagaimana sakitnya dimutilasi. Kupingmu akan diiris dengan silet, bibirmu sedikit demi sedikit ….. “

“Ooooo …. Ampuuuunn…..”

Ketika mereka hampir memasuki mobil tahanan, terdengar teriakan dari pintu gedung pengadilan memanggil mereka kembali. Petugas keamanan kembali menyeret Sanepa ke gedung. Ternyata hakim sudah berdiri di depan pintu.

“Cukup, cukup! Tetap di situ! Tidak perlu masuk.” kata hakim sambil menyalakan rokok.

“Ada apa Pak Hakim?” tanya petugas keamanan.

“Emh tadi kasusnya apa? Bukannya mutilasi?” tanya hakim seraya menghembuskan asap ke wajah Sanepa.

“Iya Pak.”

“Mutilasi kasus berat. Keputusan direvisi. Vonis menjadi penjara seumur hidup.” kata hakim sambil mengetuk pintu tiga kali.

Mendengar revisi hakim, Sanepa tersengal-sengal, kemudian pingsan. Dalam keadaan pingsan Sanepa tetap dibawa ke mobil tahanan , langsung ke Penjara Pustax. Hakim mengatakan tidak perlu dibawa ke rumah sakit, tidak perlu dibawa ke dokter.

Hari kedua bulan ini.

Hakim Brayut memutuskan vonis 5 tahun penjara bagi Drona. Laki-laki dengan sifat rakus ini tersangkut korupsi pembangunan tempat ibadah. Alasan Drona karena lahan korupsi di sektor lain telah dikapling-kapling. Tinggal kapling sektor ibadah yang masih belum ada yang berani. Drona yang menduduki jabatan mencemooh mereka yang tidak mau korupsi di sektor pembangunan tempat ibadah.

“Koruptor kok masih sok suci! Kaffah saja sekalian.” begitu salah kalimat yang sempat diungkapkan dalam persidangan.

“Benar Pak Koruptor, kalau mau jadi koruptor jangan tanggung-tanggung. Korupsi sepuluh juta diungkap juga malu, seratus juta atau satu milyar namanya tetap korupsi. Sama malunya!” kata hakim Brayut yang lupa bahwa itu adalah siding. Ia merasa bahwa Drona adalah teman sedang ngobrol di warung kopi.

“Bapak hakim salah!”

“Apanya yang salah?”

“Bapak mengatakan apa tadi? Sama malunya?”

“Memangnya kenapa?”

“Kami tidak punya malu kok Pak!”

“O ya maaf kalau begitu.”

“Itu yang memalukan!” kata Drona kepada hakim.

“Bagian mana?”

“Masak hakim minta maaf kepada narapidana!”

“Wah terima kasih Pak Koruptor. Kalau begitu vonis anda 5 tahun penjara, dan denda 100 juta.”

“Wow Cuma 100 juta!”

“Dan sita asset berupa rumah, tanah dan seluruh simpanan di Bank.”

“Lho …. Pak hakim?! Kalau begini saya miskin dong?”

“Memang koruptor harus dimiskinkan!”

“Kalau tahu begini tetap miskin, saya tidak mau jadi koruptor!”

“Dan anda harus menghuni Penjara Pustax!”

“Astaghfirullaaaaahhh………”

“Koruptor kok istighfar!”

“Maksud ….. maksuuud……. saa….sayaa…. makss…..”

Drona pingsan. Seperti biasanya setiap narapidana yang pingsan karena vonis penjara di penjara Pustax, narapidana dibawa ke mobil tahanan yang akan membawanya ke penjara paling mengerikan.

***

Pustax dibangun di atas lahan yang sangat luas. Tempatnya adalah di atas bekas kota Jakarta yang hilang karena disapu tsunami. Sebuah kota metropolitan yang memiliki keunikan sejarah yang diceritakan ke anak cucu karena banyak hal. Kemacetan, preman, kakilima, pengamen, anak jalanan, three-in-one, transjakarta, banjir, gedung DPR/MPR, demo, mudik-balik, jawara, dan masih banyak ciri khas lain yang ikonik.

Pustax bagi para penjahat merupakan penjara paling mengerikan. Beda dengan di Indonesia (si negeri kreatif dalam mengakali peraturan perundangan) jaman dulu setelah vonis dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan. Mendengar Pustax 85% narapidana yang divonis langsung pingsan di ruang siding. Terbayang pula penjara Guantanamox jaman dulu. Sebuah penjara yang tak lagi mengindahkan penghormatan kepada nilai manusia. Penjara ya penjara. Tak ada lembaga dengan pelemahan arti.

Pustax adalah penjara yang tak mengenal belas kasihan. Keluarga hanya diperbolehkan menengok tujuh tahun sekali. Praktis kurun waktu itu akan menyebabkan sebuah kekaburan ingatan dengan wajah-wajah baru setelah terpisah begitu lama. Banyak pula yang menganggap bahwa putusan masuk penjara Pustax adalah sebuah kematian. Oleh karena itu, anggota keluarga yang masuk dianggap docoret dari keluarga, dianggap hilang dari pembagian waris keluarga.

Di  sel 23 , selang sekitar seminggu setelah vonis Sanepa dan Drona.

Keduanya ternyata kemudian dimasukkan ke dalam sel yang sama. Sanepa yang masuk lebih dulu hanya menatap dingin ketika Drona masuk. Laki-laki yang pernah  memutilasi tiga orang itu melempar gagang korek api ke arah Drona.

“Ada apa?”

“Kita sudah mati.”

“Kata siapa?”

“Pustax berarti kematian.”

“Belum. Nanti sipir akan kusuap, kepala penjara akan kusogok agar bisa keluar.”

“Kamu narapidana kasus korupsi?”

“Benar. Darimana kamu tahu?”

“Pikiranmu selalu menggunakan uang. Time is Money. Selesaikan segala sesuatu dengan uang!”

“Oh benar sekali. Kalau anda?”

“Dulu aku mahasiswa kedokteran. Spesialis bedah. Tapi gagal. Ternyata orang tua saya koruptor seperti anda. Imbasnya saya menjadi mahasiswa DO, drop-out. Tapi aku masih terobsesi menjadi dokter bedah. Aku pernah menjadi jagal sapi. Tapi nggaak, aku keluar dari pekerjaan itu. Bayarannya kecil. Aku akhirnya hanya suka memuaskan kesukaanku terhadap jagal.”

“Aaaa…. Aaa …. Kamu kena kasus apa? Pembunuhan?”

“Ya.”

“Kamu jahat sekali!”

“Memang aku jahat. Segala persoalan kecil yang datang kepadaku, atau apa saja yang tidak menyenangkan aku, maka akan kuselesaikan dengan cara jagal.”

“Oooohh …….”

“Termasuk kamu yang telah menuduhku jahat!”

“Aaa …..”

“Semua orang yang tidak aku sukai, aku mutilasi! Aku Rajang-rajang tubuhnya, seperti aku memotong-motong sapi ….. “

“Aaaa … maaaa….maaaa-af.”

“Aku bukan tipe pemaaf!”

“Kalau mau uang, kamu minta berapa! Aku akan sediakan, asal kamu jangan bunuh aku… mohon ….. “

“Aku dapat bocoran, di Pustax ini, semua narapidana diadu, sampai mati!”

Drona lemas lututnya. Sanepa menatap Drona dengan penuh kebencian. Entah mengapa tiba-tiba ketakutan tentang Pustax yang dirasakan ketika di persidangan taka da sama sekali. Malah dia merasa bakal menjadi raja di Pustax ini.

Wajah Drona yang memucat dihiasi dengan peluh yang meleleh di pipinya membuat Sanepa atertawa terbahak-bahak. Namun tawa Sanepa terhenti ketika seorang petugas masuk. Drona yang lemas diseret. Drona tak berdaya mengikuti ke mana petugas membawanya. Sementara Sanepa memandanginya dengan heran. Namun keheranan Sanepa terhenti ketika dua petugas datang mengapit kemudian memaksanya meninggalkan sel.

Bruk! Tubuh Drona dilempar ke kamar. Drona mengerang kesakitan. Namun tidak lama. Ia kaget ketika hawa dingin merasuki kulit. Ada rasa nyaman tumbuh dalam dirinya.

AC…….., gumamnya. Buku …….. ratusan buku ck..ck…ck, gumam Drona yang matanya mulai berkeliling kamar tahanan yang cukp besar. Ia merasa bahwa ini bukanlah kamar tahanan. Ia bingung. Benarkah ini bagian dari Penjara Pustax? Pikirnya berkali-kali.

“Bingung Pak Drona?” kata petugas yang membawanya yang masih berdiri di depan pintu.

“Apa maksudnya ini?”

“Setiap narapidana yang masuk penjara Pustax wajib membaca buku setiap hari. Bahkan setiap menit. Tidak boleh tidak. Hukumannya akan diperberat. Lihat, di atas ada CCTV yang mengamati setiap narapidana.”

“Ooooo…..”

“Kamu bisa baca nggak?!”

“Pasti bisa! Saya kan koruptor!”

“Naaah ….. anda Pak Drona, bisa mulai dari buku tentang akhlak. Kira-kira implementasinya membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Untuk satu buku. Nanti jika kesadaran telah mulai tumbuh, Pak Drona bisa membaca buku-buku akuntansi. Bapak bisa mempelajari bagaimana membuat pembukuan yang benar. Bagaimana balance-nya sebuah pembukuan. Jika terjadi selisih, walaupun hanya satu rupiah, harus dilacak di mana letak diawalinya kesalahan pembukuan. Ini juga enam bulan. Nanti ada tes!”

“Kok kaya sekolah di SMA?!”

“Memang koruptor itu adalah mereka yang seharusnya tidak layak lulus SMA!”

“Oooo memang ada hubungan antara pelajaran di kelas dengan di kehidupan orang tua?”

“Koruptor goblok! Itulah kalau sekolah hanya mengejar ijazah!”

“Kok bapak tahu?”

“Ssssst….. soalnya aku merasakannya!” kata petugas sambil berbisik-bisik.

Benar-benar tak terbayang oleh Drona. Penjara Pustax adalah penjara membaca. Itu yang disimpulkan Drona. Biar ia seorang koruptor, tetapi masih punya pikiran waras , walaupun hanya sedikit. Ia menyimpulkan pula bahwa Sanepa pun ditempatkan di sebuah sel berbentuk kamar yang nyaman yang penuh dengan buku. Ia berfikir bahwa buku-buku yang harus dibacanya adalah buku-buku tentang anatomi, tentang syaraf perasa. Tentang akhlak sudah pasti. Entah buku apalagi yang harus dibaca Sanepa si pemutilasi.

“Tetapi mengapa setiap narapidana di Pustax hampir tak ada yang kembali?”

“Karena mereka tidak lulus tes. Otak mereka kadang-kadang bebal. Maklum saja, mereka orang-orang dewasa. Apalagi bagi mereka yang pekerjaanya main, berjudi, mana pernah terlatih membaca. Setiap tidak lulus, kami indoktrinasi bahwa keluarga mereka telah menganggapnya mati. Jadi buat apa kembali. Mereka toh tak akan percaya bahwa yang datang adalah narapidana.”

“Jadi mereka malas untuk lulus?”

“Iya. Tapi, aktivitas membaca harus tetap dilakukan. Sebab jika tertangkap kamera mereka malas membaca, maka ada hukuman fisik. Ini yang mereka tidak mau. Tapi ini rahasia! Awas!”

“Penjara terunik. Tapi mengapa anda membuka rahasia ini kepada saya?”

“Bebas setiap petugas menyampaikan rahasia ini. Toh mereka tak pernah akan keluar dari Pustax.”

“Kejam sekali sebenarnya.”

“Tidak, mereka dibisaakan menulis di media online. Dengan banyak membaca, biasanya dia lancar menulis. Mereka dapat honor dari tulisan online mereka. Mereka punya nomor rekening. Honor mereka banyak.”

“Banyak? Berarti tabungan mereka besar-besar dong?Kapan akan anda berikan?”

“Nanti kalau mereka keluar!”

“Bukannya mereka tak akan pernah keluar?”

“Sudah Pak Drona …. Bapak mulai membaca saja. Mudah-mudahan betah di sini!” kata petugas itu sambil mengunci kamar Drona. Yang ditinggalkan terbengong-bengong.

Hari Minggu pagi Penjara Pustax hingar bingar.

Para petugas kelihatan panik. Kepala penjara telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi  CXII (KPK) . Ini adalah lembaga lanjutan dari KPK yang dulu ada di Indonesia sewaktu Jakarta masih ada. Kepala penjara ditangkap ketika sedang melakukan transaksi dengan penerbit buku untuk pengadaan buku-buku Pustax.

“Ampuni saya Pak…. Ampuni saya ….. nanti siapa yang mengurus Penjara Pustax?”

“Mantan narapidana. Kami adalah narapidana yang berhasil melarikan diri, karena ingin membongkar penyelewengan di Pustax. Tabungan para narapidana, juga kolusi pengadaan buku.”

“Ampuni saya Pak….”

Setelah kepala penjara diganti, akhirnya kepala penjara berkasus ini dimasukkan ke sel Penjara Pustax. Sambil ada tugas khusus, yakni harus menyusun Novel Fantasi. ***

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline