Lihat ke Halaman Asli

Didik Sedyadi

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Cerpen : Sebutir Gabah

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14138516301454047180

Klik! Klik! Klik!

Huuur ketekong! Huuur ketekong!

Burung perkutut putih milik Raden Winata menandak, mengangguk-anggukan kepalanya serta berkicau ketika pemiliknya menjetetkan jari-jarinya. Laki-laki menak (menak - Bhs, Sunda = Ningrat) itu puas. Dipandanginya burung kesayangannya  tak henti-henti. Begitulah rutinitas pagi sebelum berangkat ke kantor sebagai Camat Kecamatan Cakrajaya.

Setelah beberapa lama bercanda dengan burungnya, Raden Winata memanggil Sarjan, pembantunya,  untuk memberi makan burung perkutut yang diberi nama Si Jimat Bodas (Bodas - Bhs. Sunda = putih). Sarjan datang membawa air bening, beras merah dan jewawut untuk pakan sang perkutut. Sementara itu Laswinah, pembantu perempuannya datang menghampiri Raden Winata.

“Tuan Aden ….. kata Nyi Aden dipesilakan sarapan pagi.” Kata Laswinah perlahan. Raden Winata tidak menoleh. Matanya terus mengawasi Sarjan yang sedang sibuk mengganti air minum dan pakan burung.

“Sebentar lagi Wi …. Tuan Aden sedang bercanda dulu dengan  Si Jimat Bodas.” Justru Sarjan yang menyahuti kata-kata Laswinah.

“Tapi ini Nyai Aden yang meminta. Kata beliau sekarang sudah siang, kalau-kalau Tuan Aden terlambat ke kantor……”

Raden Winata menghela nafas dalam. Sejurus kemudian Camat Cakrajaya itu masuk rumah meninggalkan Sarjan yang masih sibuk di pavilliun samping rumah besarnya.

“Bu, ibu menyuruh Laswi memerintahku ya?” Tanya Raden Winata ketika bertemu istrinya.

“Laswi memerintah apa? Saya tidak menyuruhnya!”

“Laswi memerintahku, bahkan mungkin menasehati kalau-kalau aku terlambat ke kantor. Bu, urusan aku berangkat ke kantor itu urusanku. Mau berangkat, mau bolos, mau apa saja terserah aku. Apalagi Laswi, bahasanya sangat tidak sopan.”

“Ya saya tidak tahu Pak, tapi tadi ibu hanya menyuruhnya mempersilakan bapak sarapan pagi…. Sudahlah Pak, kalau ibu salah menyuruh Laswi ya sudah, ibu minta maaf.”

“Hmh…..”

“Sarapan ya Pak, semuanya sudah siap ….”

Dengan wajah masam laki-laki itu menuju meja makan. Istrinya mengambilkan nasi dan lauk pauk yang ada. Setelah itu diletakkan dengan hati-hati di hadapan suaminya. Perlahan Raden Winata menyuap nasi sendok demi sendok. Istrinya juga makan tanpa berbicara.

Baru sepertiga bagian yang dimakan, tiba-tiba Raden Winata menyeringai, kemudian membuang nasi yang dikunyahnya ke piring. Istrinya kaget. Laki-laki itu meletakkan sendok dan garpu menyilang tanda selesai makan.

“Ada apa Pak?” Tanya istrinya heran.

“Hmh….. “ Gumam laki-laki menak itu.

“Ada yang salah di makanan? Kenapa berhenti makan?”

“Hmh….” Raden Winata menggeleng tak bersuara. Istrinya masygul melihat suaminya diam tak menjawab. Apalagi setelah itu suaminya beranjak pergi meninggalkan meja makan tanpa sepatah katapun, istrinya semakin gelisah.

“Bapak tunggu dulu …… Bapak jangan diam begitu, ada apa dengan makanannya?”

Kata-kata istrinya sama sekali tidak digubrisnya. Raden Winata masuk ke kamarnya, sejurus kemudian keluar dengan membawa tas kerjanya. Istrinya hanya terpaku melihat suaminya membuang mukanya.

Beberapa saat kemudian terdengar suara mesin mobil meninggalkan garasi. Istri Camat Cakrajaya mengejar, namun sia-sia. Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Setelah beberapa saat berdiri ia kembali ke meja makan. Ia lihat piring suaminya masih berisi nasi dan lauk pauk yang cukup banyak.

“Laswiiiiiii!” Teriak Bu Camat memanggil pembantunya.

“Ya Nyai Aden …. ada apa?”

“Bapak marah! Kamu masaknya tidak benar ya?”

“Maksud Nyai Aden apa?”

“Lihat! Makanan Bapak masih banyak, tapi Bapak berhenti makan! Nasi yang di mulut dibuang!”

“Ya Allaaaah…… kenapa ya?” Wajah Laswinah cemas.

“Cari tahu kenapa! Gara-gara kamu Bapak pergi dengan perut kosong, marah! Marahnya ke saya lagi!”

Dengan tergopoh-gopoh Laswinah memeriksa nasi yang dibuang tuannya itu. Beberapa saat setelah nasi itu diacak-acak dengan sendok, Laswinah menelan ludah. Ia memandang Bu Camat dengaan perasaan bersalah.

“Ada apa?”

“Mung….mungkin ini penyebabnya Nyai Aden….” Kata Laswinah sambil memperlihatkan sesuatu. Bu Camat mendekat.

“Apa itu?”

“Gabah, bangsal Nyai Aden …”

Melihat ada sebutir gabah dalam nasi yang dimuntahkan Raden Winata, mungkin sekali itu yang menyebabkan laki-laki menak itu marah, walaupun hanya diam. Istri orang nomor satu di Cakrajaya itu memandang pembantunya.

“Kamu itu pembantu bodoh! Tidak becus! Apa lampu di dapur kurang terang sehingga masih ada gabah dalam beras. Apa matamu yang sudah rabun heh!”

“Maafkan saya Nyai Aden …..” Laswinah memohon dengan air mata berlinang.

“Kamu harusnya tahu kedudukan Bapak itu apa! Bapak itu seorang camat! Seorang pejabat! Segalanya harus bagus! Pakaian harus bagus, harus selalu licin disetrika. Makanan harus sehat, higienis! Kamu tahu apa jadinya kalau gabah itu tertelan oleh Bapak?”

“Maafkan saya Nyaiii….” Kali ini Laswinah memohon sambil bertelekan lutut di hadapan Bu Camat.

“Kalau gabah itu tertelan Bapak, leher Bapak bisa luka, lambungnya bisa luka! Apa jadinya? Bapak bisa sakit, bisa dirawat di rumah sakit …… ini semua gara-gara kamu!”

Permintaan maaf Laswinah tidak digubris Bu Camat. Perempuan itu masuk kamar dengan membanting pintu. Laswinah terlonjak. Setelah itu perempuan yang sudah sejak sepuluh tahun lalu mengabdikan diri di keluarga itu menangis sejadi-jadinya. Perempuan itu menangis hingga lama di ruang makan. Setelah tangisnya reda, perempuan itu membereskan meja makan mengemasi piring kotor.

Sore hari menjelang maghrib Raden Winata pulang. Seperti tadi pagi, laki-laki itu tak banyak bicara. Istrinya yang menyambut tak digubrisnya. Usai menunaikan shalat maghrib laki-laki itu duduk di depan televisi. Istrinya yang menemani tetap saja tidak dipedulikan.

Beberapa saat kemudian Laswinah datang. Perempuan ini memohon maaf kepada Raden Winata, namun laki-laki itu malah berdiri dan pergi masuk ke kamar. Laswinah menangis sesenggukan. Bu Camat yang melihat hanya diam. Setelah mematikan televisi perempuan itupun masuk kamar. Di dalam kamar didapatinya suaminya telah tidur dengan posisi miring menghadap dinding. Perlahan istrinya memanggilnya, namun laki-laki itu diam tak merespon .

Dua hari suasana sepi.

Makanan yang disajikan Laswinah sama sekali tak disentuh oleh Raden Winata. Istrinyapun ikut-ikutan tidak menyentuh makanan. Perempuan itu hanya sesekali minum. Laswinah bingung harus berbuat apa. Setiap kali ia membawa makanan yang tidak dimakan ke dapur, hatinya teriris. Ia merasa sangat bersalah atas keteledorannya. Perubahan yang demikian juga ditangkap oleh Sarjan, pembantu laki-lakinya.

“Tuan dan Nyai Aden kenapa Las?” Tanya Sarjan.

“Entahlah……”

“Bukannya kamu tahau semuanya? Kamu kan di dalam? Mereka bertengkar ya?”

“Entahlah Kang …..” Kata Laswinah sambil masuk ke dalam.

“Tidak enak rasanya. Rumah seperti kuburan, sepi melulu.” Gerutu Sarjan sendirian.

Hari berikutnya Laswinah tak tampak di dapur. Bu Camat pun tidak mempedulikan. Raden Winata pun tidak peduli. Laki-laki itu berangkat keluar rumah pagi-pagi sekali. Sementara itu sore harinya Pinasti, anak perempuan keluarga itu yang kuliah di kota pulang. Namun sesampai di rumah gadis itu mendapati suasana rumahnya lengang. Gadis itu lebih kaget lagi ketika melihat wajah ibunya pucat tengah tergolek di kamarnya.

“Ibu kenapa? Inikah sebabnya telepon Pin tidak dijawab-jawab?” Tanya anak gadisnya seraya memegang pundak ibunya.

“Tidak tahulah ….. “ Kata ibunya perlahan.

“Ibu panas. Ibu sakit ya?” Tanya Pinasti seraya memegang dahi ibunya.

“Entahlah …..”

“Kenapa seperti ini? Bapak kemana? Bapak sudah tahu ibu sakit?”

“Entahlah….”

“Kenapa entahlah?” Pinasti bingung.

Gadis itu berlari ke dapur mencari Laswinah.

“Biiiii…….bi Laswiiii!” Teriak Pinasti di depan kamar Laswinah. Pintu kamar tertutup. Perlahan gadis itu membuka daun pintu. Gelap. Gadis itu meraba saklar dekat pintu. Klik! Ruangan kamar teran. Pinasti kaget melihat kondisi Laswinah yang sama dengan ibunya. Perempuan itu berbaring terlentang. Wajahnya pucat. Bibirnya kering. Matanya sayu.

“Bibi….. bibi sakit? Bibi panas sekali?” Tanya Pinasti seraya memegang dahi Laswinah. Perempuan itu menggeleng.

“Entahlah.”

“Ibu sakit Bi.”

“Tidak tahu Non…. Sudah seminggu ini Bibi jarang bertemu Nyai Aden. Di rumah ini tidak ada yang mau makan. Tuan Aden dan Nyai Aden saling diam. Tak ada cakap.”

“Hah?! Kenapa?”

“Entahlah …..Non tanya saja ke Nyai Aden.”

Pinasti mendesah. Kemudian gadis itu menghela nafas dalam, kemudian menghembuskannya melalui mulut. Setelah itu Pinasti kembali ke kamar ibunya. Namun ia kaget ketika ibunya tak ada di sana. Ia melihat sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Dalam beberapa detik berikut Pinasti berlari ke kamar mandi. Gadis itu kaget melihat dua kaki menjulur dari balik pintu kamar mandi.

“Ibuuuuuuu…..Ibuuuuuuuuuuu…..!!!”

Pinasti mengguncang-guncangkan tubuh ibunya yang sudah lemas. Lemas sama sekali. Ia raba dan tekan urat nadi di pergelangan tangan ibunya. Tak ada apa-apa. Gadis anak camat itu histeris. Di kamar mandi ia menggumuli tubuh ibunya yang telah kehilangan nafasnya.

“Ada ada Nyai Aden Noooon?” Terdengar suara dekat kamar mandi. Rupanya Laswinah mendengar jeritan Pinasti.

“Ibu Bi…. Ibuuuuu………ibuuu….”

“Kenapa Non?”

“Ibu telah…..telah…..”

“Telah….telah apa Non?”

“Bibiiiiii……..ibu telah wafaaaat…ibu telah tiada Biii….biii….” Kata Pinasti terbata-bata sambil memeluk Laswinah.

Mulut Laswinah terbelalak sejenak. Mulutnya menganga. Lutut perempuan itu gemetaran. Lengannya lemas. Pandangannya nanar, kuning hitam bergantian. Tubuhnya melorot.Pinasti kaget. Ia tahan tubuh pembantunya, namun tak kuasa. Tubuh Laswinah berdebum ke lantai diiringi jeritan Pinasti.

Di pavilliun Sarjan yang sedang memberi makan Si Jimat Bodas kaget mendengar jeritan keras. Laki-laki itu segera lari ke dalam dengan cepat. Sementara itu sangkar masih terbuka. Beberapa jenak kemudian tampak burung perkutut putih itu keluar dari sangkar, kemudian terbang ke atap. Bersamaan dengan itu terdengar suara deru mobil memasuki halaman. Raden Winata turun, kemudian berjalan ke arah pavilliun. Hati laki-laki itu kaget bukan ketika melihat burung perkutut hinggap di atap pavilliun. Benar, ketika matanya menatap sangkar yang masih tergeletak di teras dengan pintu terbuka. Ia paham apa yang terjadi.

“Dasar Sarjan goblok! Kemana saja orang itu…. haaaiii Jimat, Jimat Bodas! Ayo ke sini turun nak! Tuanmu datang!” Kata Raden Winata seraya berusaha menggapai burung dengan naik ke sisi tembok pavilliun. Hampir kena. Namun ketika jari laki-laki telah dekat burung itu menjauh, namun masih di atas di sisi yang lain. Laki-laki itu mendekatkan tangannya kembali. Burung itu tampak jinak, namun tidak mau dipegang.

“Tuan Adeeeeen! Nyai Aden Tuan ….. Nyai Aden!” Dari dalam keluar Sarjan dengan berteriak ke Camat Cakrajaya itu.

“Berisik kamu! Diaaaam! Goblok kamu! Si Jimat lepas!”

“Nyai Aden Tuan ….. gawat Tuan, Laswinah….. Nyai Aden dan Laswinah.”

“Gawat kenapa?” Tanya Raden Winata seraya turun dari tembok.

“Non Pin ada di dalam …..”

“Pin pulang?”

Laki-laki nomor satu di Cakajaya itu masuk ke dalam rumah yang telah seminggu sepi tak ada cakap dan canda. Dari kejauhan terdengar jeritan keras Raden Winata. Bahkan kemudian raungan laki-laki menak yang menyalahkan dirinya sendiri.

***

Angin sepoi. Tanah pekuburan masih basah.

Daun-daun kamboja bergoyang perlahan. Dua gundukan makam berdampingan ditaburi bunga warna-warni. Para pelayat dan pengantar satu persatu meninggalkan Raden Winata dan Pinasti. Hanya beberapa kerabat Camat Cakrajaya dan kerabat Laswinah yang masih tinggal. Semua menunggui bapak beranak yang masih meneteskan air mata di atas makam.

“Pin, maafkan Bapakmu. Bapak tak menyangka, kekesalan Bapak kemarin-kemarin berakibat fatal. Hanya sebutir gabah yang terkunyah Bapak ….. kenapa bapakmu harus mendiamkan ibumu, juga Laswinah.” Kata Raden Winata hampir tak terdengar.

Pinasti hanya diam. Matanya masih terasa sembab. Ia ingat ibunya punya gangguan darah tinggi. Tekanan batin ketika didiamkan ayahnyalah yang mungkin menyebabkan tensinya naik dan semuanya terjadi. Laswinah mungkin juga. Batinnya yang tertekan ketika merasa dipersalahkan oleh kedua tuannya menyebabkan kondisi fisiknya menurun.

Huuuur ketekkong! Huuur ketekkong!

Jauh di atas pohon beringin di ujung pemakaman seekor burung perkutut putih bersuara lepas merasakan sebuah kebebasan.***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline