Sepuluh tahun lalu Apple dengan iPhone-nya menjadi pelopor revolusi telepon genggam layar sentuh dengan koleksi aplikasi yang banyak sekali. Hingga kini kita masih berada di era iPhone atau ponsel layar sentuh, meskipun masyarakat awam lebih kenal ponsel Android secara umum untuk menyebut ponsel jenis ini.
Pada awal munculnya iPhone memang Indonesia sama sekali hampir tidak tersentuh dengan gegap gempita euforia atau demam iPhone karena peluncuran perdananya hanya ada di negara-negara Amerika Utara, Eropa, Australia, plus Jepang, Hong Kong dan Singapura. Hanya beberapa kalangan terbatas di Indonesia yang mengikuti dan mungkin memiliki iPhone dengan upaya membeli di negara lain.
Baru menjelang muncul iPhone generasi kedua (3G) berbarengan dengan beberapa ponsel Android yang mengikuti format mirip iPhone, pengguna ponsel Indonesia mulai melek teknologi baru ini. Saat itu Indonesia masih dilanda demam Blackberry sehingga ponsel Android juga masih dianggap "susah" penggunaannya karena belum terbiasa dengan layar sentuh. Oleh karena ponsel berbasis Android yg secara resmi lebih duluan masuk ke Indonesia, baru kemudian iPhone, masyarakat awam menganggap semua ponsel berlayar sentuh adalah ponsel Android. Padahal iPhone yang berbasis iOS berbeda dengan ponsel-ponsel Android keluaran vendor lain.
Hingga kini pun masih banyak orang yang sulit membedakan antara OS Android buatan Google untuk banyak merk ponsel dan iOS yang dikeluarkan Apple khusus untuk iPhone. Secara tampilan memang kini sudah hampir serupa, apalagi hampir semua aplikasi kini tersedia untuk kedua versi OS yang menguasai pasar ponsel sekarang.
Setelah sepuluh tahun banyak pengamat teknologi menunggu dan berharap munculnya inovasi baru dalam ponsel sekelas iPhone saat pertama kali. Vendor-vendor penguasa pasar secara umum seperti Samsung belum mampu memunculkan hal baru yang revolusioner dalam produknya. Dalam sejarahnya memang Samsung belum setingkat Apple ataupun Sony yang pernah memunculkan seri walkman yang jadi tren dunia. Andalan utama memang terhadap Google atau Apple.
Google sendiri sebetulnya lebih jago mengembangkan dan membesarkan hal-hal yang sudah dimulai oleh pihak lain, ketimbang memulai hal baru sendiri. Sementara itu Apple sepeninggal Steve Jobs sepertinya kekurangan daya visioner untuk memunculkan gagasan baru. Jadinya iPhone X yang menandai dasawarsa keberadaan Apple di industri ponsel belum memiliki faktor x sebagai penanda produk revolusioner, masih bermain aman dengan melanjutkan pendahulunya dengan sedikit tambahan fitur.
Apple telah mencoba mengembangkan varian lain dengan memunculkan iPad setahun setelah munculnya iPhone dan diikuti oleh banyak vendor lain dalam bentuk komputer tablet. Tablet ini mengambil ceruk pangsa pasar netbook atau laptop dan desktop, tetapi belum menjadi produk masal yang benar-benar jadi kebutuhan pengguna teknologi.
Berikutnya Apple juga mengembangkan Apple watch yang dalam generasi ketiga ini sudah dapat berdiri sendiri dengan menyematkan sim card sekualitas LTE. Banyak vendor lain juga mengikuti lini produk ini, tetapi sepertinya moment gebrakan produk ini juga sudah lewat tanpa memberi dampak sedahsyat kemunculan iPhone pertama.
Siklus sepuluh tahunan memang menjadi beban tersendiri bagi Apple dan semua vendor ponsel lain. Kita seakan menunggu datangnya satria piningit dengan gagasan baru teknologi yang akan mengubah perilaku dan gaya hidup, tentu saja menuju kebaikan dalam segala hal. Semua berlomba dan mencari-cari produk yang akan mendapat moment revolusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H