Lihat ke Halaman Asli

Didik Djunaedi

TERVERIFIKASI

Penulis, Editor dan Penikmat Hiburan

Wonderful Life: Disleksia dan Ego Orang Tua

Diperbarui: 13 Oktober 2016   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penayangan Perdana Wonderful Life (Koleksi Pribadi)

“Apa-apa umi, umi, umi... ,” begitu kurang lebih teriak seorang bocah kecil bernama Aqil. Itu adalah sepenggal adegan dalam film Wonderful Life yang mulai tayang 13 Oktober 2016 di bioskop. Wonderful Life mengisahkan hubungan seorang ibu dengan putranya bernama Aqil yang disleksia. Disleksia menurut wikipedia adalah sebuah gangguan dalam perkembangan baca-tulis yang umumnya terjadi pada anak menginjak usia 7 hingga 8 tahun. Ditandai dengan kesulitan belajar membaca dengan lancar dan kesulitan dalam memahami meskipun normal atau di atas rata-rata.

Amalia adalah seorang wanita karier yang menempati posisi puncak  di sebuah agensi periklanan besar. Selama ini ia mampu mengatasi hampir semua tantangan dalam pekerjaannya. Hasil diagnosis bahwa Aqil menyandang disleksia kontan membuatnya ingin mengatasi sendiri permasalahan tersebut dengan caranya sendiri.

Tidak puas dengan penanganan psikolog, Amalia mencoba mencari berbagai alternatif penyembuhan terhadap putranya. Amalia berkeyakinan disleksia seperti penyakit-penyakit lain yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan. Perjalanan Amalia bersama Aqil dalam rangka mencari pertolongan kesembuhan putranya itulah yang menjadi benang merah film karya sutradara Agus Makki ini.

Kondisi Amalia yang jatuh bangun dan nyaris frustrasi ini dimainkan dengan baik oleh Atiqah Hasiholan. Wanita karier yang perfeksionis ini satu demi satu menghadapi kenyataan hidup di luar kendalinya. Jika selama ini ia mampu mengendalikan perusahaan, tidak begitu dengan kehidupan, termasuk permasalahan dengan Aqil yang juga diperankan dengan baik oleh aktor cilik pendatang baru, Sinyo.

Sebagian besar orang tua ketika menghadapi anak-anaknya yang memiliki kebutuhan khusus seringkali mengambil sikap sendiri. Cenderung memaksakan ego dan kehendaknya sendiri terhadap si anak yang dianggap pasien atau bahkan korban yang tidak memiliki daya apa pun.

Teriakan Aqil yang mengungkapkan rasa kesal memuncaknya terhadap sang ibu itulah yang akhirnya menyadarkan kita sebagai orang tua. Anak-anak seperti kutipan puisi Khalil Gibran memiliki hidupnya sendiri. Anak-anak disleksia seperti halnya anak-anak lain memerlukan  penanganan dan pendidikan secara individual. Kecerdasan akademik dalam ukuran nilai-nilai raport hanyalah standar umum yang tidak dapat dipaksakan terhadap setiap anak.

Anak-anak terlahir sempurna, seperti  salah satu kutipan dialog dalam film produksi  KPG, Sari Ayu dan Creative & Co ini. Jika kita mampu memberi ruang pada mereka dan dorongan positif konstruktif mereka akan mampu berprestasi dengan baik di bidang yang mereka kuasai. Aqil kebetulan memiliki daya visual di atas rata-rata sehingga mampu menerjemahkan alam sekitarnya dengan gambar-gambar yang unik.

Jarang sekali kita menemui film Indonesia yang mengangkat tema disleksia. Layak kita acungkan jempol untuk upaya sang produser: Angga Dwimas Sasongko, Handoko Hendroyono, dan Rio Dewanto yang telah memberi warna baru dalam tema perfilman kita. Film yang diangkat dari kisah nyata berdasarkan buku yang ditulis sendiri oleh Amalia Prabowo ini akan menjadi tontonan yang sehat bagi orang tua dan pendidik dalam membuka hati terhadap kebutuhan khusus putra-putrinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline