Lihat ke Halaman Asli

Didik Djunaedi

TERVERIFIKASI

Penulis, Editor dan Penikmat Hiburan

Hotel Transylvania: Mengajak Kita Menghargai Perbedaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah cinta beda alam, Jonathan & Mavis, ditentang oleh Dracula. (Sumber: comedyforanimators.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="Kisah cinta beda alam, Jonathan & Mavis, ditentang oleh Dracula. (Sumber: comedyforanimators.com)"][/caption] Jika mendengar nama Drakula, Frankenstein, Zombie dan Big Foot bayangan kita pasti sosok-sosok yang menyeramkan yang bisa mengganggu atau menakut-nakuti kita. Benarkah mereka memang suka mengganggu kalau mereka memang nyata ada? Bagaimana kalau sebaliknya, kita yang selalu mengusik keberadaan mereka? Begitulah benang merah yang ada dalam Hotel Transylvania, sebuah film animasi produksi Sony Pictures Animation. Hari minggu lalu (25/11) Indosat mengadakan acara nobar (nonton bareng) dalam rangka ulang tahunnya yang ke-45 di Platinum XXI, fX Mall. Ada dua film yang ditawarkan, Hotel Transylvania dan Breaking Dawn Part 2, dan kebetulan saya memilih film animasi tersebut. Film animasi karya sutradara Genndy Tartakovsky dibuka dengan adegan Dracula (suara: Adam Sandler) sedang membangun hotel khusus monster yang tidak akan diganggu oleh keberadaan manusia. Hotel itu dirancang agar tidak satu pun manusia yang berani mendekatinya. Adegan lalu maju ke beberapa tahun kemudian saat Mavis (Selena Gomez), putri Dracula akan merayakan ulang tahunnya yang ke-118. Di dunia drakula usia 118 berarti usia menuju kedewasaan. Mavis, seperti anak-anak perempuan lain punya cita-cita keluar dari rumah (mereka tinggal di rumah mirip istana yang sekaligus jadi hotel) dan menunggu saat usia tersebut tiba. Akan tetapi, sang ayah sepertinya tidak merelakan putrinya "bergaul" dengan dunia manusia di luar sana. Dracula memiliki pengalaman buruk pada masa lalu di dunia manusia sehingga melindungi putri satu-satunya untuk tidak merasakan apa yang pernah ia alami. Mavis secara diam-diam meninggalkan istana menuju dunia manusia. Ternyata di sana ia menemui manusia-manusia bengis yang ingin menangkapnya dan membakarnya. Akhirnya Mavis kembali pulang dan membenarkan alasan Dracula yang mencegahnya pergi ke dunia manusia, walaupun ternyata kita tahu sebetulnya dunia manusia yang ditemui oleh Mavis adalah tipu daya Dracula yang membuat setting palsu dengan zombie-zombie yang berperan sebagai manusia. Tidak dinyana tiba-tiba seorang pemuda pendaki gunung tersesat masuk ke Hotel. Ia awalnya mengira itu adalah hotel biasa yang sedang merayakan acara semacam Halloween dengan tamu-tamu berkostum menyeramkan. Dracula mengetahui kehadiran Jonathan (Andy Samberg) dan berusaha menyuruhnya pergi karena bila para monster tahu keberadaan manusia mereka akan pergi dari hotel dan acara perayaan ultah Mavis bakal buyar. Sementara itu Jonathan masih tidak percaya kalau mereka monster asli dan bersikukuh ingin tinggal di hotel. Akhirnya Dracula yang selalu mencegah amarahnya keluar ini berkompromi dengan Jonathan dan mendandani Jonathan mirip Frankenstein dan merubah namanya jadi Johnystein, keponakan jauh dari Frankenstein. Kelucuan-kelucuan interaksi Johnystein, monster palsu, dengan hantu-hantu atau  monster barat inilah yang dieksplorasi menjadi tontonan komedi. Stereotype kita terhadap monster dan hantu seperti drakula yang selalu bicara dengan gaya tertentu diakhiri dengan bla bla bla yang ternyata tidak dibenarkan oleh Dracula, gaya Frankenstein, mumi, dan hantu-hantu lain yang terlihat konyol daripada menyeramkan membuat kita ngakak sepanjang film. Bukan film Hollywood kalau tidak memasukkan unsur drama meskipun dalam film komedi. Kali ini percitaan tak sengaja antara Mavis dan Jonathan yang membumbuinya. Kisah cinta klasik antara dua insan berbeda golongan, bahkan mungkin alam inilah yang mengikat cerita film ringan penuh tawa ini. Cerita selanjutnya bergulir dengan konflik-konflik seputar interaksi antara monster dan manusia yang akhirnya, bisa ditebak, happy-ending yang melegakan para penonton. Nilai moral dari film ini adalah jika kita saling memahami dan menghargai perbedaan, kita akan bisa hidup berdampingan secara damai. Hal ini sangat sesuai dengan kondisi bangsa kita saat ini yang sering dengan mudahnya memberi cap terhadap golongan tertentu dan mengusiknya tanpa mencoba memahaminya terlebih dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline