[caption id="attachment_209925" align="aligncenter" width="540" caption="The Indonesia Choir menampilkan Negeri Rempah-Rempah"][/caption] Negeri Indonesia itu kaya raya. Sudah banyak yang mengatakannya. Sudah tidak terhitung yang menuliskannya. Sudah banyak lagu yang menyenandungkannya. Akan tetapi, bagaimana kenyataannya? Kita tidak perlu susah-susah membuktikannya. Kita tidak perlu bekerja keras untuk mencari alasan tentangnya. Tengoklah sekitar, rasakan sekeliling, dan dengarkan seputar.
Itulah yang saya rasakan ketika menyaksi-dengarkan konser Negeri Rempah-Rempah yang digelar oleh The Indonesia Choir dan The Indonesia Children Choir di Goethe Haus Concert Hall, Goethe Institut, Jakarta tadi malam (17 November 2012). Kita digiring, dibawa, dan diantar menikmati kekayaan Indonesia dalam berbagai makna, Indonesia yang kaya dengan sukubangsa, bahasa, seni, budaya dan keberagaman lain yang mencirikan kekayaan. Keberlimpahan.
Konser dibuka dengan lagu Sigulempong, lagu daerah Tapanuli, yang menurut sang conductor/pemimpin Jay Wijayanto secara berkelakar sudah hampir jadi kewajiban bagi TIC membawakan lagu dari sukubangsa itu karena sebagian besar anggota koor ini adalah keturunan Batak. Alasannya, penjiwaan dan pembawaan lagu-lagu tersebut akan lebih mudah. Tentu saja, Jay hanya bercanda karena sejatinya ada banyak suku lain dalam kelompok ini. Setelah menikmati lagu pembuka yang riang kita langsung dihunjam oleh lagu "galau" Dolcissima Mia Vita. Alunan nada melankolis betul-betul menghanyutkan kita pada suasana romantis nan agung. Belum terbangun kita dari buaian asmara, nada-nada riang dengan bahasa "ajaib" Segalariak menghempaskan kita ke nuansa kocak tak beraturan karena menurut Jay ini adalah lagu yang menggambarkan para pemotong rumput di Spanyol yang tentu saja seenaknya sendiri. Lagu Sanctus yang kudus dan sakral, The Three Fishers yang menyayatkan kepedihan para istri yang ditinggal tiga suami nelayan ke laut, dan De Profundis mengisi paruh pertama pertunjukan sebelum diakhiri penampilan para junior-nya, The Indonesia Children Choir. TICC ini membawakan lagu-lagu daerah seperti Cik Cik Periuk, Ayo Mama, Kampuang Nan Jauh di Mato dan Bolelebo. Penampilan anak-anak yang khas, lucu (atau bisa dibaca lugu) ini jadi hiburan tersendiri, apalagi ditambah pengantar sang conductor yang kocak.
[caption id="attachment_209927" align="aligncenter" width="540" caption="Jay Wijayanto bersama The Indonesia Children Choir"]
[/caption] Di paruh kedua pertunjukan TIC lebih banyak mengekplorasi kekayaan lagu daerah dari negeri kita sendiri yang kaya raya ini seperti Wor (Biak, Papua), Soleram (Riau), dan Kerraban Sape (Madura). Inilah seuntai mutiara yang merangkai negeri rempah-rempah dan membawa kita berkelana nusantara. Sekali lagi, membuat kita berdecak dalam hati, memang kaya negeri ini. Alangkah sayangnya bila kekayaan ini dikukupi dan hanya dinikmati oleh segelintir atau sekomplotan manusia haus-harta-tak-berjiwa. Di tengah pertunjukan kita juga diberi siraman komentar pendek dari Romo Muji Sutrisno yang konon setia mengikuti dan mendukung setiap pertunjukan kelompok paduan suara yang baru berusia lima tahun ini. Yang juga membuat unik pertunjukan ini adalah guyonan menyentil dari Jay Wijayanto yang selalu segar dan membuat kita menertawakan diri sendiri. Dan ternyata selain memiliki talenta dalam musik, Jay yang sempat main dalam salah satu sekuel film Laskar Pelangi ini juga piawai bercerita melalui tulisan. Dalam kesempatan ini ia meluncurkan secara tak resmi bukunya yang berjudul Loro Blonyo dan Nyanyian Burung yang menceritakan segala hal yang penulis alami dengan perspektif guyon, nakal tapi selalu penuh makna. Selain buku, CD Bunga Rampai Tanah Airku yang berisi lagu-lagu daerah dan nasional yang dinyanyikan oleh The Indonesia Children Choir juga diluncurkan. Sungguh pertunjukan yang merupakan "pemanasan" sebelum mengikuti sebuah kompetisi di Vietnam bulan Desember depan ini membawa kita dalam suasana guyub khas masyarakat agraris, jauh dari kesan formal necis layaknya pertunjukan sejenis. Sang conductor bisa tiba-tiba menyuruh fotografer membawakan mike ke penonton, bertanya pada penonton tentang tetek-bengek dan dia sendiri mondar-mandir naik turun panggung, berteriak-teriak memberi aba-aba agar anggota junior keluar atau masuk. Anak-anak ini sendiri entah dibuat-buat atau memang demikian keadaannya sungguh tampil apa adanya. Bersih, lucu, dan jujur. Di sanalah justru kita harus kembali belajar. Pada anak-anak. Silakan menikmati salah satu penampilan TICC: http://www.youtube.com/watch?v=V6EPdiR3DKk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H