Lihat ke Halaman Asli

Didik Djunaedi

TERVERIFIKASI

Penulis, Editor dan Penikmat Hiburan

Industri Teknologi: Google dalam Perang Paten

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: droid-life.com

[caption id="" align="aligncenter" width="610" caption="Sumber: droid-life.com"][/caption] Dalam beberapa tahun terakhir dunia smartphone sedang panas membara, dalam arti positif maupun negatif. Secara positif pangsa pasar terus menaik dalam kurun waktu dua tiga tahun terakhir. Bahkan menurut laporan Berg Inside, sebuah lembaga survei, secara global pangsa pasar smartphone meningkat hingga 74% dari tahun 2009 ke 2010. Sejak hadirnya iPhone buatan Apple Inc. pada 2007 sepertinya smartphone menemukan definisi baru: layar sentuh yang lebar, kecepatan prosesor dan koleksi aplikasi yang banyak, tidak hanya game tetapi juga aplikasi utility dan bisnis. Lalu muncul ponsel berbasis Android besutan Google yang mau tidak mau bisa dikatakan versi massal dari iPhone. Sifat operating system Android yang terbuka (open source) sehingga dapat digunakan oleh beberapa vendor dengan berbagai perangkat, dari yang berbandrol murah hingga selangit harganya. Pendeknya, pasar ponsel cerdas semakin bergairah dan memunculkan dua kelompok besar kategori ponsel, kelompok smartphone yang mempunyai kemampuan lebih dari sekadar fungsi telepon dan teks serta kelompok ponsel standar yang disebut feature phone atau beberapa pengamat mengolok-olok sebagai dumbphone (lawan dari smartphone). Sebelum era iPhone dan Android, kelompok smartphone ini tak lebih dari minoritas dengan segmen kecil yang dikuasai oleh Nokia dan Sony Ericsson dengan produk high-end mereka serta produk dari HP, Palm, dan O2 yang lebih dikenal sebagai PDA. Akan tetapi, saat itu smartphone atau PDA masih belum secanggih saat ini dengan berbagai aplikasi yang membuat ponsel nyaris bisa melakukan apa saja. Pentingnya OS dan aplikasi membuat pengelompokan smartphone berdasarkan OS-nya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang lebih menonjolkan vendor atau seri ponselnya. Saat ini kita lebih mengenal iPhone dengan iOS sebagai satu kelompok dan ponsel Android sebagai kelompok lain, ditambah BlackBerry, Windows Phone dan Symbian kalau masih mau dianggap ada. Koleksi perangkat teknologi pun bertambah dengan hadirnya iPad buatan Apple pada April 2010 sebagai bentuk baru dari komputer tablet. Persaingan di sektor ini pun seketika ramai dengan hadirnya "ipad-ipad" buatan vendor lain yang selama ini memproduksi ponsel dan komputer. Komputer tablet ini sejatinya adalah bentuk besar dari smartphone dengan sistem dan OS yang serupa. Meskipun demikian, komputer tablet berhasil membuat rak baru dalam perangkat teknologi dan mempunyai pangsa pasar yang signifikan di antara desktop dan laptop. Akan tetapi, sejauh ini Apple dengan iPad dan iPad 2-nya masih menjadi pemimpin pasar yang belum bisa disaingi. Selain persaingan jor-joran teknologi yang diusung oleh setiap smartphone dan komputer tablet baru, persaingan juga diwarnai dengan saling tuntut hak paten yang sebetulnya sudah lama terjadi. Persaingan atau perang paten ini semakin memanas ketika Google sebagai pemilik OS Android merasa dirugikan oleh tuntutan pihak lain sebagai pemilik paten. Apple, Microsoft, Nokia, dan Sun Microsystem (Oracle) sebagai pemilik banyak paten yang terkait dengan industri teknologi seolah-olah terlihat gencar menyerang Google yang memang anak bawang dalam industri ini. Hingga memunculkan opini yang dihembuskan oleh pihak Google bahwa mereka bersekutu untuk menyerang Google dan mematikan inovasi dengan hak paten. Dalam sebuah tulisan di Fortune Tech digambarkan peristiwa ini layaknya perang dingin antara beberapa negara yang dalam hal ini Apple berperan sebagai negara Barat yang superpower dan gencar memerangi perusuh dan teroris (diwakili Lodsys), Microsoft layaknya negara Russia/Soviet yang adem ayem tetapi mempunyai kekuatan dan cenderung bersekutu dengan Barat serta Google tak ubahnya Korea Utara atau India yang sok ingin berkuasa tetapi dengan senjata pas-pasan dan mencuri teknologi sana-sini. Kasus paten yang banyak menyita perhatian adalah Google vs Oracle, Microsoft vs Samsung, Apple vs Samsung dan HTC serta Lodsys vs kelompok pengembang aplikasi iPhone. Dalam kasus Microsoft vs Samsung akhirnya terselesaikan dengan kewajiban Samsung membayar pembelian lisensi untuk setiap produk yang menggunakan hak paten milik Microsoft. Apple pun tak luput dari tuntutan Nokia dan akhirnya harus membayar sejumlah uang ke Nokia. Yang masih alot penyelesaiannya adalah kasus Google vs Sun/Oracle dan Apple vs HTC dan Samsung meskipun dalam proses hukum awal Oracle dan Apple sepertinya berada dalam posisi di atas angin. Namun tentu saja Google masih berusaha ngotot mengelak dari tuntutan pembayaran denda atau sangsi pelanggaran lisensi yang diajukan Apple dan Oracle. Dalam kasus hak paten yang diajukan Lodsys terhadap kelompok pengembang aplikasi untuk iPhone, Apple pun akhirnya turun tangan karena sebetulnya Apple telah membeli paten ini dari Lodsys tetapi pihak Lodsys bersikeras bahwa hak paten tersebut hanya dimiliki Apple, tidak termasuk pengembang aplikasi dalam lingkungan iOS. Kasus ini hingga saat ini masih berjalan prosesnya. Dalam kasus Google vs Oracle, berbagai upaya dilakukan Google, di antaranya dengan menarik simpati publik dengan meminta penasihat hukumnya, David Drummond, menulis blog dan sang CEO Eric Schmidt memberi pernyataan yang sangat emosional yang intinya bahwa "hak paten sebagai penghambat inovasi" (Betulkah?) Bahkan dimunculkan bukti email yang seolah-olah menyatakan bahwa Sun Microsystems (pemilik Java sebelum diakuisisi oleh Oracle) telah menyerahkan Java secara cuma-cuma kepada Google sebagai software basis dari Android. Namun, pernyataan ini termentahkan dengan ditemukannya email Andy Rubin, sang pembuat Android, pada 2005 yang menuliskan: "Jika Sun tidak mau bekerjasama dengan kita, ada dua opsi 1) Kita menghentikan pekerjaan kita dan beralih  menggunakan MSFT CLR VM dan bahasa C# atau 2) tetap menggunakan Java, dan mempertahankan keputusan kita, mungkin akan mengundang permusuhan di kemudian hari. Lima tahun kemudian Google memilih tetap menggunakan Java tanpa membeli lisensi yang akhirnya jelas menyeretnya berurusan dengan meja hijau dan mengundang perang paten. Seandainya Google sejak awal membeli lisensi Java untuk keperluan bisnis seperti yang dilakukan RIM (BlackBerry OS menggunakan Java) dan Nokia (Symbian juga berbasis Java), tuntutan pembayarannya mungkin tidak akan setinggi sekarang tapi nasi sudah menjadi bubur dan kepalang tanggung menanggung malu, Google maju terus dengan berbagai upaya. Namun, apabila sejak awal Google membeli lisensi Java untuk Android, kelihatannya hal ini tidak akan menarik bagi vendor lain karena harga OS-nya relatif akan lebih mahal dibandingkan Android saat ini yang dilabeli "open source". Di samping itu, sebetulnya Samsung telah mengembangkan OS sendiri, Bada, demikian juga Sony Ericsson dan Motorola. Sebetulnya keanekaragaman OS ini akan menjadikan iklim smartphone semakin kondusif dan sehat. Mereka akan berlomba-lomba menciptakan teknologi baru dengan bersaing secara sehat. Akhirnya, kita sebagai pengguna hanya bisa menyaksikan para pelaku industri teknologi ini berperang ataupun bersaing mempertahankan reputasinya dalam menarik simpati konsumen dengan produk-produknya. Masalah perang paten kita hanya bisa berharap akan berakhir baik seperti dalam setiap perseteruan atau peperangan. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan pendek yang berbunyi "becik ketitik, olo ketoro" (Kebaikan akhirnya akan menang, dan keburukan pun akan terungkap). Sumber: Fortune Tech, AppleInsider, wikipedia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline