Lihat ke Halaman Asli

Indonesia yang Pemarah

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yang kulihat saat ini negeriku dihuni oleh warga yang pemarah. Kesantunan dan kesopanan seakan menguap. Kesabaran telah menjadi cerita. Negeriku warganya menjadi mudah marah. Musyawarah dengan penuh kebersamaan dan kekeluargaan menjadi barang langka. Kemarahan yang sering mereka pertontonkan.

Yang menjadi pengurus partai juga suka marah-marah. Yang tua tidak bisa mengayomi yang muda. Yang lama tidak bisa menerima yang baru. Musyawarah hanya buang uang, tenaga dan waktu. Kemarahan menjadi bumbu pertemuan. Perpecahan menjadi akibatnya. Terbelah lagi, terpecah lagi, marah-marah lagi. Mengapa mereka memiliki dada dan kepala yang cepat panas?

Yang berada di legislatif juga seperti itu. Sukanya marah-marah malah membanting meja segala. Apa-apa pake marah, apa-apa pakai membentak. Persis anakku yang umur empat tahun kalau minta sesuatu tidak dituruti marah-marah. Kenapa mereka mudah marah. Apa yang membuat mereka gampang marah? Bukankah gajinya besar, pendidikannya tinggi dan ruangan sidang dingin ber-AC?

Yang muda juga pada marah-marah. Berawal saling ejek antar sekolah berujung tawuran hingga nyawa melayang dan rumah sakit sibuk merawat korban. Nonton sepak bola juga marah-marah sampai tawuran bahkan nyawa suporter lagi-lagi melayang. Nonton konser musik senggol-senggolan kepala panas akhirnya pukul-pukulan dan bunuh-bunuhan. Kenapa masih muda kok sukanya marah-marah?

Yang jadi penegak hukum dan pelindung negara yaitu bapak-bapak TNI dan Polri pun tidak luput dari aksi marah-marah. Saling tembak antar aparat dan alat negara jadi tontonan yang memalukan. Kalau dulu pejuang kita melawan penjajah, mereka malah melawan sesama teman. Bagaimana bisa begitu? Masa sesama pelindung negara dan pelayan masyarakat malah saling adu kekuatan?

Yang berasal dari kalangan agama dengan dalih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar juga marah-marah. Melakukan anarkis untuk merubah kebatilan menjadi kebenaran. Tapi caranya sangat jauh dari yang dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat santun, rendah hati, toleran dan penuh kasih sayang. Jadi mereka pembela agama yang mana? Meniru siapa? Bukankah nabi kita melarang marah-marah pun ketika sedang menegakkan kebenaran. Karena marah berasal dari setan sedangkan kebenaran berasal dari Tuhan.

Jadi ingat petuah kata seorang da’i yang kini jarang nongol di TV lagi. JAGALAH HATI. Jagalah hati agar jangan mudah marah. Isi hati dengan kesabaran dan kesantunan. Penuhi hati dengan kasih sayang. Bersikaplah terhadap orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan baik oleh orang lain. Jangan marah, tenanglah dan sabarlah. Jadilah orang yang ‘panjang ususnya’ alias panjang kesabarannya. Pandanglah orang lain seperti memandang diri sendiri atau saudara sendiri. Pandanglah orang lain dengan kasih sayang. Sikapi perbedaan pendapat dan perbedaan lainnya dengan bijak. Allah akan memberikan berbagai macam kebaikan bagi orang yang berlemah lembut. Dan hal itu tidak akan didapat oleh orang yang berperangai kasar.

Jangan marah, marah itu berasal dari kesombongan. Sedangkan sombong adalah sifat dasar Iblis yang membuatnya terusir dari Surga dan Kelak menghuni neraka. Rendah hati adalah sifat Adam dan sifat orang-orang shaleh. Rendah hati adalah sifat hamba. Rendah hati sifat dasar manusia yang tercipta dari tanah. Tanah itu di bawah. Diinjak dan diberi kotoran malah membalas dengan buah-buahan, emas, tambang, minyak bumi dan makanan. Marah itu dari setan, setan itu dari api, api itu membakar dan membumbung dengan penuh kecongkakan. Kita ini manusia dari tanah jangan berlagak seperti api atau kelak akan dimasukan ke dalam api.

Lembutkan hati dengan maaf. Maafkan semua kesalahan. Padamkan nyala api dendam. Luaskan hatimu sehingga mampu menebar kesabaran dan maaf yang teramat luas. Jadilah orang yang pemurah, penyayang dan penuh kebaikan. Hiduplah sebagai orang mulia dengan sifat mulia dan matilah dalam keadaan mulia dan selalu dikenang kemuliannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline