Lihat ke Halaman Asli

Rusaknya Rakyat dan Penguasa Karena Ulamanya Rusak

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Imam al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Kata-kata Imam Al-Ghazali ini malam lalu benar-benar membuat saya tidur tidak nyenyak. Saya kira bila minuman keras marak, zina merajalela, korupsi di mana-mana dan berbagai macam dosa berkembang itu adalah kerusakan mereka sendiri karena tidak taat atau karena kontrol pemerintah yang tidak ketat. Tapi setelah membaca uraian Al-Ghazali barulah saya paham justru segala kerusakan itu justru berawal dari rusaknya ulama.

Ulama yang diam, yang hanya sibuk berzikir dan mengaji di mihrabnya. Tidak mau turun ke masyarakat untuk membetulkan mereka, tidak mau mengkritik penguasa agar kembali ke jalan yang benar. Menyampaikan ilmu di mimbar hanya untuk popularitas dan nama. Menyampaikan ilmu yang hanya sekiranya tidak membuat penguasa tersinggung. Berusaha dekat dan tidak mengusik penguasa meskipun mereka bergelimang dosa.

Saya terus terfikir hal ini. Saya memang bukan seorang ulama, tapi saya guru agama Islam di SD. Tapi memikirkan kata-kata itu membuat saya takut kalau ternyata saya sebagai guru agama adalah guru yang rusak moralnya karena tidak bisa membendung arus kemunkaran dan kemaksiatan yang saat ini sudah seperti banjir bandang.

Melihat dosa yang sudah semakin menjadi-jadi saat ini begitu mengerikan. Korupsi sudah menggurita di mana-mana. Di jalan, di kantor, di sekolah, di tempat-tempat keagamaan, bahkan kitab suci Qur’an saja dikorupsi, sungguh menyakitkan hati. Belum lagi perzinaan yang sudah menjangkiti semua kalangan. Ke mana perginya para ulama?

Para ulama atau paling tidak muballigh yang tampil di TV juga tidak punya wibawa. Belum lagi da’i yang hanya mementingkan kelucuan dalam dakwahnya. Yang penting jama’ah suka, yang penting rupiah melimpah dan yang penting tawaran iklan membanjir. Saya sungguh rindu ulama semacam Buya Hamka yang begitu gigih mengawal pemerintah agar berada di jalan yang benar sehingga harus menerima dinginnya tembok penjara. Saya bosan melihat ulama yang hanya pandai ceramah di mimbar dengan gaya yang kucu dan sedikit saru di tabligh-tablig akbar.

Andai ulama Indonesia cerewet mengritik pemerintah, cerewet membimbing pemerintah, cerewet menasehati DPR, cerewet membenarkan umat, pastilah Indonesia akan berjaya. Lepas dari berbagai macam dosa dan bencana. Saya sadar untuk melakukan hal itu mereka akan mengalami berbagai macam penyiksaan, penjara, ataupun bahkan harus dibunuh. Tapi itulah perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Jihad yang paling besar adalah berkata yang benar di depan penguasa yang zalim. Wahai para ulama, kami menunggumu, kami menunggu ilmumu, kami menunggu bimbinganmu. Jauhi dunia, jauhi zona nyaman, jauhi kemewahan. Mari para ulama, masuklah ke kancah kesulitan, mari masuk ke zona berbahaya untuk menegakkan kebenaran. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Imam Ibnu Hajar sebuah meriwayatkan hadis Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika telah nampak fitnah agama, maka orang berilmu (alim) wajib menampakkan ilmunya” (HR. al-Hakim)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline