Mas Didi Kempot pergi menghadap Sang Khalik ditengah puncak ketenaran pada tanggal cantik, 05052020. Akhir hidupnya juga secantik karya-karyanya yang berjumlah lebih dari700 lagu. Seperti kita ketahui pada tanggal 11 April 2020 atau tiga pekan lalu sang maestro menggelar konser dari rumah yang ditayangkan secara live di Kompas Tivi. Pada konser amal tersebut Mas Didi mampu menggalang dana sebesar 7,6 milyar. Dana yang terkumpul tersebut kemudian sepenuhnya untuk membantu ribuan orang yang terdampak pandemo covid-19. Peran Mas Didi dalam membantu pemerintah tak berhenti disitu. Dengan ketenaran yang dianugerahkan Tuhan Mas Didi minggu lalu merilis lagu ajakan untuk tidak mudik yang dinyanyikan bareng-bareng dengan Walikota dan pejabat kota Solo. Sayangnya ini adalah karya terakhir Mas Didi, sehingga permintaan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 yang meminta Mas Didi untuk membuat lagu ajakan tidak mudik yang lebih luas belum terwujud.
Sebenarnya saya lagi suka-sukanya dengan lagu-lagu Mas Didi. Dan baru sangat ingin nonton konsernya. Sayangnya belum kesampaian. Mungkin hanya kebetulan jika sehari sebelum beliau wafat, saya nonton ulang rekaman acara Didi Kempot waktu tampil di Kick Andy. Setelah itu masih disambung dengan nonton di YouTube konser-konsernya yang fenomenal. Maka alangkah kagetnya ketika mendapati berita Didi Kempot meninggal dunia Selasa pagi tanggal 5 Mei 2020. Innalilahi wa innailaihi raji'un. Rasanya sangat sedih ketika mendengar ini.
Sebagai orang yang lama tinggal di Solo awalnya hanya sekedarnya saja mengenali lagu-lagunya. Itupun justru lebih banyak dari streaming Radio Garuda Suriname. Senang saja mendengarkan Radio Garuda. Karena rasanya kita kembali hidup seperti dimasa kecil tahun 70-an. Bahasa Jawa ngokonya orang Suriname yang kental dengan selingan iklan bahasa Belanda yang tidak saya mengerti justru menghibur.
Tahun 2004 saya pernah ketemu dengan Mas Didi Kempot di rumah makan ayam goreng Sari. Rumah makan kuno yang berada persis diseberang Stasiun Purwosari Solo. Sayangnya sekarang sudah tutup. Dirumah makan Sari ini saya pertama dan terakhir ketemu Mas Didi. Tapi dari sekali ketemu sempat ngobrol sebentar jadi tahu bahwa beliau memang pelanggan setia mie makan ini. Mas Didi saat itu hanya menggunakan celana pendek selutut, berkaos oblong. Penampilannya sangat sederhana dan sangat ramah. Saat itu Mas Didi sudah sangat populer, hanya saja saya belum terlalu banyak mengenal lagu-lagunya.
Ketika diawal tahun 2019 Mas Didi seolah terlahir kembali dan menjadi sangat terkenal, saya justru baru melihat bahwa beliau adalah seniman besar luar biasa. Tiba-tiba lagu-lagunya justru digandrungi anak-anak generasi milenial, generasi Z. Ada apa sebenarnya?
Ternyata memang ada kekuatan luar biasa dari seorang Didi. Penggemarnya yang menamakan dirinya Sobat Ambyar rasanya tak berlebihan dengan memberinya julukan The Godfather of Broken Heart. Tapi bagi saya Mas Didi bukan hanya gelisah pada urusan patah hati karena cinta. Kegalauan hatinya juga terpancar dari wajahnya yang tulus untuk berbuat sesuatu kepada negeri ini.
Rakyat Indonesia yang dulunya rukun dan guyub tiba-tiba terpecah karena politik. Mas Didi memang membawakan lagu patah hati. Liriknya sederhana, menyentuh, jujur, orisinil, apa adanya. Tapi ternyata dengan lagu-lagu melankolis dan nelangsa Mas Didi tidak saja membuat orang terwakili perasaannya secara cinta.Tetapi lagu-lagunya yang bertemakan patah hati justru bisa menyatukan semua kalangan, semua umur tanpa embel-embel politik apalagi agama. Ketika bendera "sobat ambyar" yang dikibarkan, maka tidak ada lagi fanatisme politik dan agama. Lagu-lagunya nelangsa, sedih. Tapi pada saat yang sama rasa patah hatinya terlampiaskan.
Pada konser-konser Mas Didi terlihat betapa patah hati memang justru harus dinikmati. Ada yg joged sambil nangis batin sekaligus bisa tersenyum. Mas Didi dengan kekuatannya sebenarnya seperti mengajak ke jati diri aseli bangsa ini. Bangsa yang tidak gampang frustrasi. Mas Didi dengan kekuatan magisnya mengajak kita semua kembali keselera asal bangsa ini. Sebuah bangsa yang guyub rukun dalam bingkai kebersahajaan yang tulus dan tak berpura-pura. Kita tak perlu menjadi kebarat-baratan atau kearab-araban seperti dua kubu yang saling bertentangan. Kita punya budaya yang menyatukan yang terbukti kokoh menjaga republik ini dari perpecahan.
Selamat jalan Mas Didi. Disaat kami justru sedang sangat membutuhkan tokoh yang bikin adem dan menghibur duka lara Gusti Allah menghendaki lain. Tetapi sungguh kami menyadari kepergianmu dengan pesan yang sangat indah. Kesederhanaan, kejujuran dan kehidupan yang rukun damai. Karya-karyamu akan terpahat abadi dihati kami. Semoga beristirahat dalam keabadian dan kedamaian yang sejati disisi Tuhan. Aamiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H