Lihat ke Halaman Asli

Didie Yusat

Seorang wiraswasta

Siap Jendral!

Diperbarui: 20 September 2017   01:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari-hari ini sedang ramai pro kontra pemutaran film legendaris "Pengkhianatan G-30 S PKI". Sebelum reformasi bergulir di tahun 1998, antara tahun 1984-1997 film tersebut selalu diputar menjelang peringatan Hari Pancasila Sakti. Jadi Pak Amien Rais sebenarnya mempunya peran juga menghentikan tayangan film tersebut kala itu.  Film tersebut dianggap propaganda dan mengkultuskan Soeharto, sedangkan Amien Rais identik dengan lawan Soeharto.  Kalau sekarang beliau begitu getol menyuarakan bahaya bangkitnya komunisme mungkin beliau sedang kepengin berubah pikiran. Boleh dong berubah pikiran, tidak dilarang. Ngefans artis idola saja boleh boleh gonta-ganti, hari ini Raisa minggu depan Tatjana Saphira.....

Total jenderal mungkin sudah lebih dari sepuluh kali saya nonton tersebut. Bahkan saking seringnya nonton,  kita bisa langsung tahu sudah sampai mana jalan ceritanya. Hal itu terjadi ketika kebetulan kita terlambat memulai  menonton. Bagi generasi yang ber SMA tahun 84-an diwajibkan nonton ramai-ramai bareng teman satu sekolah. Tidak ada yang terang-terangan protes. Menonton bersama satu sekolahan di SMA tentu sangatlah berkesan. Maka selain faham betul alur film, menonton ulang setelah lama meninggalkan bangku SMA sekaligus bernostalgia. Mengenang teman-teman jaman berseragam putih abu-abu.  Jaman Jogja masih sepi dan sangat romantik.

Makanya entah kenapa beberapa tahun kemudian waktu booming  film nonton "AADC-1", waktu  lihat Dian Sastro berseragam SMA kok malah  jadi ingat nonton film "G-30 S".  Semacam terbang ke masa-masa SMA yang ada romantis-romantisnya gitu. Jadi bagi saya nonton film "G-30 S" itu penting untuk belajar sejarah. Kalau ada perdebatan tentang mengkultuskan tokoh, saya kira wajar-wajar saja. Bahkan konon kabarnya Pak Harto pun belum puas dengan film tersebut. Seandainya beliau masih ada dan masih berkuasa mungkin diproduksi ulang "G-30 S jilid 2". Biasalah kebiasaan kita kalau laris kan diulang-ulang.

Ketika menonton film tersebut rasanya memang sedang mencocokkan cerita versi keluarga dengan versi cerita dalam film peristiwa tahun 1965 yang sangat mencekam itu.  Ayah saya yang  nasionalis dan "Soekarnois"  sekaligus juga  berasal dari daerah yang  kebetulan santrinya kuat juga hampir menjadi korban kekejaman PKI. Bagaimana cerita derita kakak-kakak saya yang  sudah remaja dan dewasa saat itu mendapatkan teror langsung dari orang-orang PKI. Bahkan dengan ancaman yang sangat mengerikan: bapakmu minggu depan  akan disembelih. Coba, apa nggak ngeri. Tentu bukan cerita rekaan, tapi sungguh-sungguh dialami.  Cerita nostalgia ini bahkan masih sering diulang ketika kami  kumpul-kumpul saat lebaran.

Singkat cerita ujung-ujungnya rumah keluarga kami ditembak secara misterius suatu hari diwaktu subuh. Bapak selamat dari ancaman pagi subuh itu. Bapak saya kemudian mengabadikan selot pintu rumah yang terbuat dari baja. Patah setengahnya karena terjangan peluru. Ditahun 80-an ketika rumah kami sudah rapuh dan direnovasi,  Bapak bersikokoh takmau mengganti selot pintu itu. Patahan selot pintu bekas terjangan peluru adalah memorable. Menjadi simbol kekuatan mental melawan teror bagi anak cucunya dikelak kemudian hari.

Waktu memasuki bangku kuliah, peristiwa G-30 S PKI dan kaitannnya dengan peran Soeharto seringkali dibahas dalam diskusi ilmiah. Setidaknya kita mendapatkan pengetahuan dari perspektif  yang lebih luas dalam memandang peristiwa berdarah tersebut. Maka ketika menonton ulang film tersebut  ditambah cerita langsung dari kakak yang mengalami kejadian nyata serta kajian sejarah tentang peristiwa tersebut menjadikan kita mempunyai gambaran yang lebih berimbang dan lebih hati-hati dalam memahaminya. Sejarah kelam kekejaman PKI memang pernah terjadi dibumi pertiwi. Tak hanya umat Islam, tapi siapapun yang tak sepaham dengan faham komunisme kala itu diserang secara fisik dan psikis secara brutal. Tujuan akhirnya adalah kekuasaan.

Tetapi seiring jatuhnya faham komunis diseluruh belahan bumi, hantu komunisme mestinya dipandang dengan menyesuaikan kondisi terkini. Tentu saja tanpa melupakan sejarah masa lalu.  Saya pribadi justru khawatir, andaikan kita terlalu takut dengan hantu komunisme  jangan-jangan justru menginspirasi pihak-pihak tertentu yang ingin memancing ikan di air keruh. Menciptakan situasi menakutkan untuk kemudian memanfaatkan ketakutan tersebut untuk tujuan lain. Yang justru akan mengulang sejarah kelam bahkan bisa jadi lebih dahsyat.  Saling fitnah, saling curiga, saling menuduh sekarang begitu massif terjadi di media sosial. Untungnya saya sudah tidak suka lagi memakai  kaos cap gambar palu. Coba kalau sekarang masih suka, terus kebetulan ketetesan kopi yang dipersepsikan berbentuk menyerupai sabit. Bisa kena sial. Lagi enak-enak ngopi malah ditangkap.....

Bukankah lebih baik saling berbaik sangka dan saling percaya sehingga jika ada hal yang buruk akan lebih mudah terlihat? Bukankah lebih mudah mencari sebutir pasir ditengah ribuan butir beras katimbang memilah butiran-butiran beras yang sudah tercampur  ribuan pasir?

Jadi kalau Pak Jenderal Gatot Nurmantyo akan memutar ulang fim tersebut, saya Insya Allah akan ikut nonton, mungkin di pos ronda kampung. Siapa tahu ada yang berbaik hati menyuguhkan ketela goreng, jagung rebus dan kopi Aceh Gayo. Bukan begitu Jenderal?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline