“Mahasiswa Diujung Jalan Politik 2014”
Gerbang menuju kancah pertarungan politik 2014 kian dekat, suara – suara mulai bermunculan. Dengan lantang menjadikan momentum ini salah satu cara untuk menarik dan meraih simpatisan miliknya. Dimulai dari golongan muda sampai golongan tua. Turut serta dalam hiruk - pikuk dunia perpolitikan bangsa ini. Golongan muda sebagai pemilih pemula tetap menjadi sasaran para pemilik kepentingan peserta pemilu. Pun demikian para mahasiswa antusias dengan hadirnya Pemilu 2014. Mahasiswa yang dimaksud disini adalah golongan muda calon pemilih pemula.
Ketika antusias itu meningkat timbul kekhawatiran atas sikap dari para calon pemilih pemula tersebut. Hal ini terkait dengan sikap yang akan ditunjukkan mereka dilapangan. Dikhawatirkan, jika tidak disikapi dengan sikap idealistik akan menjadi boomerang baginya. Tawaran – tawaran politik transaksional datang beramai – ramai. Berbagai rupa dengan wujud orasi janji – janji manis disampaikan para orator ulung. Terbentuklah komunikasi politik dalam bentuk pencitraan.
Mahasiswa merupakan tonggak penerus cita - cita bangsa, sehingga sudah jelas bahwa intelektual mereka akan sangat berguna untuk pembangunan bangsa. Lain halnya bagi mereka para mahasiswa yang berpikiran pendek. Menjadikan momen politik 2014 sebagai ladang pencarian rejeki. Sungguh menyakiti dari makna “Mahasiswa” itu sendiri.
Sungguh menyedihkan, ketika melihat rekan – rekan seperjuangan terlena untuk menggadaikan idealisme mahasiswanya. Berbagai alasan dikemukakan, baik alasan pribadi maupun alasan kelompok. Dipahami langsung ataupun tidak, pendidikan karakter kader muda bangsa seperti ini kelak melahirkan kader – kader bangsa yang mendahulukan kepentingan pribadi / kelompoknya. Bukan cita – cita bangsa dan suara – suara rakyatnya.
Bagaimana mungkin Indonesia mampu menjadi bangsa yang besar?? jika calon - calon pemimpinnya kelak, tidak memiliki karakter untuk mewujudkan cita – cita bangsanya? Tidak mengetahui Demokrasi bangsanya? Tidak terdidik untuk menjadi pemimpin dari bangsa yang seharusnya “Besar Jiwa dan Raganya”. Soekarno dalam pidato HUT RI tahun 1964, pernah mengatakan “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu bangsa, sebelum bangsa itu merubah nasibnya sendiri.”
Mahasiswa itu boleh berpolitik, tapi sebatas belajar berpolitik. Bukan duduk menjadi basis massa politik itu sendiri. Itulah mahasiswa, yang belajar tanpa menciderai idealis. Jelaslah untuk meningkatkan intelektualitas Kemahasiswaannya, mereka tidak perlu menggadaikan idealismenya. Tetapi justru dengan idealismenya pula, mahasiswa meningkatkan intelektualnya sampai pada tahap pembelajaran di berbagai ruang lingkup.
Mahasiswa sebagai kalangan pemuda idealis, cerdas, dan putih-seputihnya dari kotornya dunia politik itu. Oleh karena itu, mahasiswa cukup mengambil peran sebagai pengawas dan netral dalam menyikapi politik 2014. Bahkan mahasiswa perlu untuk turut memberikan edukasi kepada rakyat. Edukasi yang mencerdaskan rakyat dalam menghadapi musim – musim Politik seperti ini.
Sungguhlah Mahasiswa itu calon pemimpin, mahasiswa itu seharusnya dekat dengan rakyat, mahasiswa itu bersuara untuk rakyat, dan mahasiswa itu solusi bagi rakyat. Karena mahasiswa itu adalah “suara perubahan”. Pesimisme terhadap perkembangan politik di bangsa ini, bukanlah perwujudan yang diambil oleh kita. Melainkan optimisme yang harus tetap kita wujudkan. Menghindar dari keterpurukan dunia politik saat ini pun, sama saja seperti membunuh diri sendiri secara perlahan – lahan. Jelaslah haram bagi kita untuk termasuk kedalam Golongan Putih! (Golput). Maka bangkitlah! Untuk memperbaikinya bukan sekedar menonton dan berkomentar tapi bertindaklah untuk bangsamu.
Penulis – Budi Wijaya Kusuma
Mahasiswa Instiper Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H