Selama Berkuasa, Rezim Demokrat Jatuhkan Martabat Indonesia Dihadapan Negara Asing
[caption id="" align="aligncenter" width="590" caption="sumber: poskota.co.id"][/caption]
Pada Desember 2013, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan World Trade Organization (WTO) yang diselenggarakan di Bali. Pemerintah menghabiskan anggaran Rp 109 miliar lebih tanpa mengahasilkan sepakatan apapun yang menguntungkan Indonesia. Dalam forum bergengsi itu, posisi Indonesia ibarat istilah “kerbau yang dicucuk hidungnya” alias menuruti semua kemauan kepentingan asing tanpa perlawanan yang berarti.
Harapan masyarakat pada pemerintah agar mampu memperjuangkan kepentingan Indonesia terutama dalam hal pertanian pupus ketika pemerintah gagal menegosiasi kenaikan subsidi pertanian. Posisi pemerintah tetap lemah sama seperti saat gagal memperjuangkan komoditi sawit sebagai produk ramah lingkungan di dalam forum APEC beberapa minggu sebelumnya.
WTO tidak memberikan izin subsidi pertanian di atas 10 persen bagi negara – negara berkembang dan terbelakang seperti Indonesia. Subsidi bagi sektor pertanian lokal masih sama yaitu dibawah 10 persen. Ini sangat tidak adil karena negara maju anggota WTO mendapatkan izin subsidi sebesar 30 persen.
Padahal jika pemerintah berani lebih tegas melawan intervensi WTO tersebut, maka subsidi pertanian yang lebih besar akan mampu meningkatkan sekto pertanian lokal sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Pemerintah tidak berdaya untuk mengajukan posisi tawar yang lebih baik di hadapan negara-negara anggota WTO.
Seyogianya, subsidi yang lebih besar akan memudahkan petani mendapatkan bibit dan pupuk dengan harga yang lebih murah, subsidi juga bisa dialokasi pada infrastruktur yang mampu menggerakkan roda industri pertanian lokal. Secara keseluruhan tentu dapat menekan biaya produksi, meningkatkan produktivitas, dan harga jual yang lebih murah. Dengan demikian Indonesia tidak perlu lagi bergantung pada impor pangan.
Pemerintah yang saat ini dikuasai oleh rezim partai Demokrat nyatanya tunduk pada asing sehingga Indonesia sangat mudah diperdaya. Pemerintah memberikan kuasa yang lebih besar bagi WTO pada akses pengambil alihan semua sumberdaya Indonesia melalui modal asing. Menjadikan Indonesia sebagai pasar komoditi produk-produk negara lain melalui sejumlah regulasi perdagangan internasional.
Dari sini jelas, rezim Demokrat gagal menganggkat martabat Indonesia selama dua priode kekuasaanya. Besar harapan, pemimpin yang kelak terpilih dalam Pemilu mendatang adalah pemimpin yang tegas, memiliki pendirian teguh dan berani melawan tekanan asing.
Belajar dari kegagalan Demokrat selama ini, kita masyarakat Indonesia harus bijak menentukkan pilihan pada pemimpin yang tepat. Pemimpin yang benar - benar memahami persoalan negeri ini dan memahami strategi ekonomi untuk memajukan Indonesia. Sudah saatnya Indonesia menjadi negara yang mandiri dan berdaulat. Pemimpin Indonesia ke depan harus mampu mewujudkan cita – cita tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H