Kehidupan keagamaan akan selalu berkaitan dengan kehidupan pemeluk agama. Karena itu, ajaran suatu agama, seperti juga islam, akan terus dihadapkan pada perubahan kehidupan para pemeluknya yang terus berkembang seiring perkembangan zaman. Di satu sisi ajaran islam yang terangkum dalam syariah diyakini baku mutlak sempurna. Di sisi lain, ajaran syariah yang dipahami - diyakini pemeluknya disusun para ulama pada masa sekitar seribu tahun lalu di saat kehidupan umat manusia belum sekompleks sekarang.
Dalam situasi demikian muncullah dua model sikap dan pemahaman, yang secara akademik disebut skripturalis dan disebut substansialis. Kelompok skripturalis lebih bersifat difensif di dalam menghadapi kehidupan yang terus berubah dan berkembang semakin terbuka. Sementara kelompok substansialis terus mencoba mencari solusi dengan menemukan pesan moral dari ajaran syariah untuk didialogkan dengan gaya hidup modern. Boleh jadi, substansialis lebih mudah berkomunikasi dengan gaya hidup modern, sementara cara yang dipakainya mudah ditempatkan sebagai perilaku menyimpang. Tidak seperti skripturalis yang secara pasti sudah menetapkan ukuran, yang justru sering membuat mereka terisolasi dari dinamika hidup modern.
Kategorisasi santri, abangan, dan priyayi lebih berguna pada dataran analisis tapi tidak lagi mencerminkan basis ideologis ketiga kelompok sosio-kultural masyarakat Indonesia. Relevansi Kategorisasi demikian diperhatikan masih akan selalu muncul tingkatan ketaatan ritual yang menjadi dasar pembagi kehidupan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang menjadi data awal bagi prediksi hubungan politik dan berguna bagi pengembangan komunikasi politik di masa depan. Kategorisasi demikian juga penting dalam penyusunan kebijakan sosio-politik dan Kebudayaan bagi pengembangan peran islam dalam sejarah nasional.
Apakah pemeluk islam bersedia membuka diri untuk melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai formula ajaran islam dan syariah yang selama ini diyakini baku-benar-tunggal-sempurna. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap ulama' salaf yang hidup seribu tahun lalu, dan tetap meletakkan kitab suci al-qur'an dan Sunnah rasul sebagai sumber otentik ajaran islam, penting untuk bisa dipertimbangkan suatu cara baru memahami wahyu tuhan dan tradisi kenabian.
Tuhan yang satu itu pun dipahami secara berbeda dan beragam sesuai pengalaman penganut suatu agama. Selain itu juga perlu disadari bahwa sumber ajaran yang Mutlak benar, oleh karena itu pada dirinya, tidak tersedia suatu padanan yang mutlak sepadan. Tuhan adalah laista kamistlihi syaiun ( tiada suatu apa pun yang menyamai-Nya), atau yang tidak sama sekali ada kata atau hal yang bisa menjadi representasi pasti yang sama mutlak dan sempurna. W Allahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H