Lihat ke Halaman Asli

Berbagi Itu, Kebiasaan

Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption caption="Gambar Iatimewa"]

Mendengar kata berbagi, sontak di pikiran yang belum menemukan pencerahan dalam berdisiplin ilmu ini, bak sebagai hal yang mudah untuk dikatakan dan sulit untuk dilakukan. Realitasnya demikian. Para alim ulama dan pewaris tahta kenabian tentu sudah faham betul permasalahan dari pada pertanyaan, bagaimana hal yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan? Apalagi hadiahnya merupakan fahala dan keberkahan yang tak terhingga, dari sang Maha Cinta tentunya.

Selaku muslim, saya memandang berbagi bukan saja harus dibenturkan dengan tagihan sebuah janji. Dan, seolah kita berniaga dengan Tuhan, Allah SWT dalam hal ini. Dimana kita saling bertukar produk dengan Allah. Menawarkan perbuatan (berbagi) dan kemudian mengharapkan imbalan dari Allah. Jika demikian kita telah hitung-hitungan dan menganggap Tuhan sebagai zat yang rendah.

Karena jika hal itu dilakukan, tentu saja kita akan kalah modal dengan Tuhan. Karena Tuhan memberikan banyak keberkahan yang tak terhingga, tanpa perlu membayar dan mengagih imbalan terhadap makhluknya. Terus, lantas mengapa hanya melakukan berbagi saja kita susah? 

Makna berbagi jika direalisasikan sesungguhnya sangat sederhana. Berbagi senyuman, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi tenaga terhadap sesama sebagai simbol keihsanan dalam kehidan muslimin. Tetapi, keretakan di tengah muslimin kian hari semakin mendapat keburukan saja.

Prasangka, kesombongan, acuh dan keangkuhan bak menjadi virus yang sulit ditemukan obat vaksin pembunuhnya. Karena muslim pada kenyataannya sibuk dengan urusan pribadi yang sebetulnya itu mengarah kepada sifat hubuddunya (cinta pada kehidupan duniawi).

Memang, fitrah manusia itu merupakan potensi terhadap kemungkinan manusia untuk berbuat baik. Tetapi nafsu terkadang mendominasi. Sehingga, pantas saja jika eksploitasi dan penindasan kearifan tertimbun dalam di bawah pandangan materialistik. Islam bukan lagi diisi oleh manusia yang selalu melakukan penyerahan diri kepada sesama manusianya (habluminannas) dan kepada Tuhannya (habluminallah).

Saya akan memberikan sedikit stimulus agar sahabat pembaca yang saya cintai, benar-benar faham, paling tidak pemikiran awam saya ini bernilai. Ada anggapan dan pernyataan lucu selama ini. Khususnya, saya sempat mengalami sendiri di kehidupan sehari-hari. Mulai dari lingkungan masyarakat, sampai lingkungan kampus. Begini bunyinya. 

“Allah SWT selama ini menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk dalam hal ini menciptakan manusia dengan penuh kecintaan. Selanjutnya, Allah SWT memerintahkan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Bukankah di sini Allah SWT sedang melakukan penagihan imbalan dari pada makhluk-Nya?” Kurang lebih demikian, ungkapan dalam perbincangan ceria kala itu.

Seperti ini logikanya. Tidak ada alasan untuk menghujat sebab pertama yang tidak akan pernah dikenai oleh sebab-sebab yang lain. Manusia adalah akibat, dari adanya Allah SWT selaku Tuhan semesta alam. Dan tidak ada sebab lain yang bisa mengadakan atau meniadakan Allah SWT. 

Jika ditilik dari hukum kausalitas, atau hukum sebab akibat, ada tanaman yang tumbuh dari dalam tanah karena hujan turun, maka hujan sebagai sebab tumbuhnya tanaman. Karena air kita ketahui sebagai energi dan sumber kehidupan untuk berbagai jenis tanaman, di samping energi udara dan matahari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline