Lihat ke Halaman Asli

Kekuatan Seorang Ibu (Kedua)

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu sore selepas kerja seharian, saya menyempatkan rehat sejenak di suatu fastfood ternama di sekitar Stasiun Cikini. Sambil menikmati santap siang yang kesorean, saya mengamati suasana di ruang makan fastfood tersebut. Suasananya standar dan biasa-biasa saja. Dipojok ada sepasang pria dan wanita sedang makan bersama tetapi saling berdiaman, karena ternyata masing-masing sedang intens membuka gadget. Mereka aktif berkomunikasi di dunia maya, tetapi pasif di dunia nyata. Suatu kondisi yang umum terjadi di Jakarta.Di pojok yang lain, sekelompok remaja pulang sekolah sedang bersenda gurau, menikmati suasana ceria dan masa mudanya. Demikian juga di sudut lainnya.

Ada yang menarik di dekat wastafel tempat cuci tangan. Seorang ibu berjilbab sederhana, sedang menyuapi anak nya makan dengan sedikit kesusahan, Tetapi ibu itu tidak marah. Dengan telaten dan sabar disuapi anaknya. Tidak ada kesan keterpaksaan, yang terlihat adalah kerelaan, kesabaran dan keikhlasan. Padahal, Astagafirullah, anaknya tersebut laki-laki, cacat, di kursi roda, berusia kira-kira 6-7 tahun, dan menurut pandangan saya dalam kondisi sakit akibat polio atau sejenisnya. Kondisinya tidak memungkinkan untuk berjalan sendiri atau berdiri. Sangat tidak mungkin. Badannya kurus kering. Betapa sabar dan ikhlas nya ibu tersebut. Sama sekali tidak tercermin raut muka terpaksa.

Semoga ibu tersebut diberi umur yang lebih panjang sehingga dapat mendampingi anaknya hingga dewasa atau sampai batas umurnya.

Di meja di seberang kiri saya, ada seorang anak perempuan sedang berlarian dan berteriak-teriak dengan ceria. Usia kira-kira 7-8 tahun. Tidak ada yang istimewa. Ibunya mendampingi dan mengawasi dari meja sebelah. Tetapi setelah saya cermati, raut muka anak perempuan tersebut menurut saya tidak wajar. (Maaf) raut mukanya menunjukkan ada keterbelakangan mental (maaf sekali lagi, seperti idiot). Ibu nya pun mengawasi dengan raut muka wajar, tidak ada keterpaksaan. Mukanya teduh.

Kedua ibu tersebut telah memperlihatkan kepada dunia, bahwa kehadiran anak adalah titipan Allah swt, Yang Maha Kuasa, suatu berkah yang harus di terima dan di syukuri.  Bagaimana pun kondisinya. Jika boleh meminta dan memilih, tentunya kedua ibu tersebut akan meminta kehadiran anak yang sehat. Tetapi, apakah boleh ?

Saya teringat ibu saya, yang Alhamdullillah, sampai hari ini masih diberkahi umur panjang dan telah melahirkan kami, anak-anaknya dalam kondisi sehat dan tidak berkekurangan secara fisik. Terima kasih Ibu telah merawat kami hingga dewasa dan berkeluarga. Saya juga teringat istri saya, yang juga telah melahirkan ke-3 anak kami dengan sehat dan tidak berkekurangan secara fisik.

Terima kasih Ya Allah, hari ini Engkau telah membuka lagi mata hati kami akan kekuatan seorang ibu dalam menerima berkah kehadiran seorang anak, bagaimana pun kondisinya. Maafkan lah mereka, para ibu yang belum mampu memahami, menerima dan mensyukuri kehadiran seorangan anak, meski pun dalam kondisi fisik yang berkekurangan.

Bagaimana dengan anda ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline