Lihat ke Halaman Asli

Dicky JanatanSyahbana

Bebas Ekspresi

Patologis Super Star Melankolia

Diperbarui: 28 Mei 2022   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Informasi super star mulai sampai kepada penggemar dan khalayak banyak, informasi yang paling menarik ialah menelanjangi diri dalam kemegahan dan keglamoran dirinya. 

Hal tersebut membuat seantero dunia media sosial terbayang-bayang oleh kemolekan dan kematerian serta mampu merubah ideologis pemuda untuk mencari trotoar menuju kedukaan sebuah piramida, 

meski hal ini termaksud penyakit namun tak gentar toh persolan penyakit pikiran kita mempunyai psikiater untuk menyembuhkan serta penyakit ambien telah beredar obat-obatan di apotek atau warung madura 24 jam.

Itu sebuah informasi, namun ini penafsiran dangkal patologis kekuatan cinta dan kemajuan teknologi menjadikan pangkuan seorang tak membutuhkan mereka yang dekat dengan sebuah jarak, kelembutan cinta yang meradang hingga getaran nyawa mampu ia limpahkan menjadikan manusia yang menuju kemajemukan diri mencapai kebenjolan pikir. 

Apakah mereka rela berhijrah diri akan kenyataan itu ? Atau siap menghadapi kehancuran yang menggerogoti proses kefanaan lambat laun. Semua itu bukan tanggung jawan kita. Informasi dan kepandaian merintis dan berlarut gagal menemukan keabadian.

Serat melankolia merangsek menjadi bahan penyakit utama, mulanya saya mengira melankolia hanya menyangkut permasalan gaya ataupun popularitas yang menerobos masuk tanpa batas didunia media sosial, seperti para revolusioner melantangkan sebuah kebebasan, 

bercita-cita dengan segala keikhlasan yang ia puasakan dengan harapan mampu menjadi perubah atau mempunyai daya untuk mengontrol kehidupan sosial pra remaja, dalam integritas dan kapasitas public speaking yang mereka dapatkan, menuju nuansa keinginan hati mereka (revolusioner).

Kicauan burung dalam sangkar menjadi penonton dan disekitarnya menikmati kelengkingan serta mampu membawa mereka kenuansa alam nusantara yang dulu kita idamkan kembali, terlahir dengan umbi-umbian lebih utama dari satu kilogram beras, membawa kita sadar bahwa nuansa itu hanya sementara kicauan tersebuat bukan keindahan namun tangis kepenjaraan hati yang ingin memaksa keluar dari kandang besi pemelihara yang tak seharusnya.

Ketenaran dan kebebasan kiraku itu sebuah surga dunia, ternyata menjadi penyakit jiwa pada seorang pemuda desa yang salah dalam mencari idola memaksa merangsek masuk dan melankolis sebutan yang pantas untuk penyakit jiwa ini. Aku sangat mengagungkan kemelankolisan diri, dengan segala ide fatamorgana, ide ironi yang aku sangka akan menjadi ide keabadian. 

Ternyata semua itu hanya jalanku menuju gerbang ke ghaiban. Sehingga aku mengubur nyawa ruang dan waktu yang seharusnya mampu merubah diri menjadi lebih produktif.

Kaca mata diri ini penting, bukan karena mengidolakan namun penyebaran sudah tak bisa aku redam apalagi di akhiri, bahkan sakit kepalaku sudah berat berbutir-butir kapsul telah aku minum namun tak kunjung membaik, bukan karena kemegahan aku dianggap kaya. Saat ini aku lebih senang dipandang sebelah mata toh tak menjadi anggota kelompok elit tak membuat diriku jatuh. Kuputuskan untuk keluar dari komunitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline