Lihat ke Halaman Asli

Serigalapemalas

Nihilistik

Kritik Pemerintah Sama dengan Kebencian?

Diperbarui: 23 Agustus 2019   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image source: Pexels

Isu feodalisme penguasa menguap ke permukaan. Hal ini ditengara karena buruknya komunikasi antar instansi. Begitulah kiranya yang terlihat dan dikemukakan dari sisi pengamat. 

Namun, yang lebih sedih, penguasa dan pendukungnya dinilai anti kritik dan tendensius terhadap segala bentuk kritik. Seolah kata kritik kini melebur bersama kebencian dalam kamus besar bahasa Indonesia.

Ironi memang, di saat pak Jokowi dengan lantang menyatakan ia dan jajarannya terbuka untuk di kritik, disisi lain pejabat, pendukung, dan aparat malah mempermasalahkannya dengan dalih ujaran kebencian. Dan sebab itulah banyak orang segan untuk menyampaikan isi pikiran serta unek-unek mereka pada penguasa.

Sakit hati politik

Harus kita akui, tiga tahun kebelakang negeri kita di bombardir oleh kotornya dunia politik. Yang merembet ke isu sara, hoax dan rasisme. Dan tentu saja, media sosial menjadi bahan bakar potensial untuk mengawetkan konflik horizontal ini. Tapi, biarlah ini menjadi pembelajaran kita kedepan. Meskipun, para pendukung pemerintah suka menyerang pada mereka yang suka mengkritik.

Anti kritik. Begitulah gambaran implisit para pendukung penguasa. Mereka menolak mentah-mentah stereotip negatif pada pemerintah meskipun dari data terpercaya, survey lapangan, media kredibel bahka para ahli sekalipun. Seakan, pemerintah yang dipimpin orang baik itu baik dan haram untuk di kritik.

Barisan sakit hati, manusia pemalas yang radikal, serta pendukung khilafah pun tak luput bergema kala seseorang menyampaikan kritiknya pada penguasa. 

Paling gamblang, pengendalian masa untuk membungkam para kritikus umumnya terjadi di media sosial. Meskipun niatnya mengingatkan, sayangnya tak jarang mereka mengira kritik itu bagian dari tindakan kebencian pada pemerintah.

Padahal, setelah pilpres usai dan KPU menetapkan Jokowi menang, kita bukan cebong dan kampret lagi, melainkan kembali ke fitrah asal, masyarakat indonesia yang ramah dan bersahabat. Dan perlu dicatat jua, politik itu dinamis, haram hukumnya untuk terlalu fanatik.

Selain itu, selama indonesia mengaku menganut paham demokrasi, kritik dan saran sah-sah saja dilontarkan. Bukan malah dibungkam atau dipenjarakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline