Kasus pelecehan seksual oleh rohaniwan Katolik, adalah fakta yang tidak bisa disembunyikan. Bahkan, Sekretaris Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Paulus Christian Siswantoko pun mengakui secara jelas bahwa ada cukup banyak kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para rohaniawan Katolik di Indonesia.
Siswantoko mengakui bahwa kasus tersebut menjadi persoalan tersendiri di internal Gereja Katolik di Indonesia yang kadang lamban ditangani. Ia pun tak menampik bila ada segelintir kalangan rohaniawan yang belum memiliki kematangan pribadi meskipun sudah melewati berbagai tahapan dan tingkatan pendidikan dalam proses formasi menjalani hidup selibat, (CNN Indonesia | Rabu, 11/12/2019).
Sebagai data pembanding, saya meneruskan berita dari Katolik-News.com pada 30 Desember 2019 yang mengutip Majalah Warta Minggu yang diterbitkan oleh Paroki Tomang-Gereja Maria Bunda Karmel (MBK), Keuskupan Agung Jakarta. Dalam majalah tersebut disajikan laporan yang memicu pembicaraan luas, terkait pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik di Indonesia.
Majalah milik paroki yang dilayani para imam Karmel itu melaporkan setidaknya sekitar 56 orang mengalami pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik di seluruh Indonesia. Laporan yang berjudul “Pelecehan Seksual di Gereja Indonesia: Fenomena Gunung Es?” itu, diterbitkan pada edisi Minggu, 7 Desember 2019. Saya kira ini belum seberapa, karena kita tahu ada 37 keuskupan di Indonesia, dan kalau satu Keuskupan terdapat 5 kasus saja, maka jumlahnya jelas sangat banyak.
Dari fenomena ini, salah satu hal yang perlu diperhatikan secara serius adalah bentuk dan proses formasi para calon Pastor atau para Rohaniwan/Biarawan-ti Katolik (kaum selibater pada umumnya). Saya kira dalam menghadapi era saat ini, mereka tidak boleh dan tidak bisa hanya belajar Filsafat dan Teologi saja, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah pendidikan seks atau pemahaman mengenai seksualitas.
Mungkin sudah ada dalam masa formasi tersebut, tetapi kurang intens diperhatikan sehingga tidak diresapi dan direfleksikan secara mendalam. Karena itu, guna meminimalisir persoalan pelecehan seksual para rohaniwan Katolik, maka pendidikan seks atau pemahaman tentang seksualitas perlu menjadi kebutuhan yang urgen.
Dalam kasus ini, saya coba beri kisah dari proses pendidikan dan pembinaan di Seminari Tinggi. Di tingkat ini, seorang Seminaris biasa dikenal dengan sebutan Frater (Latin: Saudara). Seorang Frater merupakan panggilan bagi laki-laki beragama Katolik yang memutuskan untuk hidup selibat dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Bagi laki-laki yang memilih untuk menjadi seorang frater, berarti dirinya telah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya hanya kepada Tuhan dan tinggal di dalam Seminari hingga akhir hidupnya, sehingga ia harus secara sukarela meninggalkan setiap kehidupan duniawinya di luar Seminari.
Selain itu, proses pembinaan yang dijalani para frater bertujuan untuk persiapan menjadi seorang Imam atau Pastor Katolik dengan menjalani hidup selibat. Hidup selibat atau kaul kemurnian ini harus dilakukan, ditaati, dan dihayati oleh setiap frater yang menjalani pilihan hidupnya, meskipun tidak mudah untuk menjalaninya.
Kehidupan perkuliahan yang dijalani, interaksi dengan lawan jenis, serta pembinaan hidup rohani yang lebih dalam bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan dan dihayati oleh masing-masing frater. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban, tetapi seorang frater juga manusia biasa yang sama seperti manusia lainnya.