Lihat ke Halaman Asli

WARDY KEDY

Alumnus Magister Psikologi UGM

Jangan Takut Lapar, Selagi Kita Masih "Sadar"

Diperbarui: 4 Mei 2020   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: IDNJurnal.com

Ketika bencana (Covid-19) mewabah, dan kita diminta untuk stay at home, banyak orang mulai garang, bahwa ini harus ditantang. Kelaparan nyaris 'mencekam', membuat kita makin cemas akan kebutuhan hidup. 

Kekhawatiran kian menjadi bayang-banyang yang menghantui setiap orang. Memang masih ada yang bisa bertahan hidup, namun tak jarang pula banyak yang 'mungkin bisa' mati kelaparan. Ini semua bukanlah hukuman, tapi tantangan yang harus dilawan. 

Satu pertanyaan untuk direfleksikan, haruskah kita semua kelaparan? Haruskah kita kalah dari mewabahnya Covid-19 ini? Sungguh, bagi saya, persoalan ini merupakan suatu keprihatinan yang patut mendapat perhatian lebih, bukan saja pemerintah atau pun segelintir orang, tetapi merupakan perhatian kita semua.

Dapat kita lihat, betapa kayanya hasil alam kita. betapa kaya dan berlimpahnya hasil olahan tangan kita. Ibarat berlimpaah susu dan madu, itulah tanah kita. 

Seperti yang pernah kita dengar, "orang bilang tanah kita tanah Surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman", itulah yang harusnya menjadi titik tolak bagi kita dalam berjuang dan bekerja mempertahankan hidup kita di tengah pandemi. 

Sang Pencipta sudah memberi kita tanah yang subur, dan dapat menghasilkan berbagai macam tanaman obat obatan dan bahan pangan untuk kebutuhan harian kita, serta memberi kita luasnya laut, dengan ikan-ikan, terumbu karang, dan hasil laut yang berlimpah ruah. Sungguh, kita patut bersyukur atas semua itu.

Harus diakui bahwa mewabahnya virus ini, seakan telah membuat kita tersisihkan. Lebih-lebih para petani, mereka terkena imbas yang sangat besar akibat diberlakukannya PSBB dan kita diminta untuk stay at home. 

Memang benar, untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini, kita diminta untuk tetap dirumah. Akan tetapi, bagaimana dengan para petani, yang menggantungkan hidup mereka di luar rumah (baca: kebun/lahan)? 

Untuk siapa sebenarnya himbauan untuk work from home? Apa arti WFH bagi Petani, jika hidup mereka bergantung sepenuhnya pada tanah? Saya melihat, ini bukan masalah yang mudah. Petani (ladang) yang hidpnya bergantung pada hasil pertanian lewat olahan tanah kebun, pada dasarnya tidak bisa tinggal di rumah. 

Mereka harus keluar dan bekerja di kebun. Maka benarlah bahwa 'rumah' mereka yang sebenarnya adalah 'kebun'. Rumah mereka adalah tanah olahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline