INI KAMI TUHAN, ENGKAU MAU APA?
Judul tulisan di atas menjadi permenungan saya selama menjalani masa krisis mewabahnya virus corona (Covid-19). Sungguh, problem ini merupakan fakta yang sulit untuk diterima, karena ternyata dampak pandemi Covid-19 telah merasuki semua sendi kehidupan kita.
Bahkan, adanya persoalan ini menjadikan kita seolah 'melupakan' berbagai persoalan lain yang sedang terjadi; kemiskinan, pendidikan yang tidak berkeadilan, korupsi karena ketamakan, dan masih banyak lagi ketimpangan yang dialami masyarakat akar rumput. Tak terkecuali mereka yang melabel diri sebagai orang 'beriman' dan 'beragama' dalam ke-imanan dan ke-agamaannya.
Adanya problematika yang tak kunjung surut ini menimbulkan kecemasan, kewaspadaan, keraguan, kejenuhan, serta kekeringan batin ketika harus menjalani masa karantina dan menjalankan instruksi Pemerintah. Akibatnya, muncullah tanda tanya besar:
Mengapa ini semua bisa terjadi? Apa mau Tuhan dengan dalam peristiwa ini? Di manakah Tuhan yang diyakini sebagai 'Sang Maha-' di tengah derita mematikan ini?
Beragam pertanyaan ini, sudah menjadi hal yang lumrah bagi saya dan beberapa sahabat lain ketika mengenyam pendidikan Strata-1 di Fakultas Filsafat UNWIRA-Kupang. Di sana, rasio kami diuji dan dimurnikan oleh banyak perspektif filosofis yang kadang 'dianggap' kiri dan tidak sesuai dengan realitas sosial. Terlepas dari itu, tulisan ini hanya ingin merefleksikan eksistensi 'Sang Maha-' di tengah derita manusia akibat pandemi.
Benar bahwa, penderitaan (khususnya karena Covid-19) terjadi sebagai suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Penderitaan itu membuat manusia sedikit mulai merasa 'muak' terhadap hidup. Derita ini membuat manusia jengkel dan kecewa terhadap yang lain. Persoalan dalam derita ini menjadikan setiap orang mulai menaruh sikap curiga satu sama lain.
Penderitaan bagi orang yang beriman (beragama) seakan-akan membawa mereka kepada sikap pasrah tak berdaya, serentak menuntut suatu penyerahan total, tanpa mendapat jawaban yang memuaskan, mengapa semua itu harus terjadi. Penderitaan yang telah menjadi 'kejahatan kemanusiaan' akhirnya tetap menjadi suatu misteri hidup yang membingungkan dan sulit terpecahkan. Kejahatan dan penderitaan akan tetap menjadi problem teologi (dari seluruh agama) entah sampai kapan.
Di kata demikian, karena persoalan saat ini telah membawa manusia kepada pertanyaan mendasar tentang eksistensi Tuhan (baca: yang Transenden). Dia yang dinamakan dalam berbagai agama dengan sebutan berbeda, dan selalu diyakini sebagai Sang Maha segalanya, seperti jauh dan jarang ditemukan lagi dalam pengalaman keseharian hidup manusia, khususnya dalam menghadapi derita pandemi virus mematikan ini. Bisa jadi kita, kecewa dan hilang kepercayaan hingga lahirlah pertanyaan fundamental tadi.
Perlu diketahui bahwa penderitaan yang bersumber dari kejahatan merupakan salah satu tema menarik dalam diskursus Filsafat Ketuhanan. Bagi para filsuf, kategori umum yang sering digunakan terhadap hal itu adalah kejahatan moral/moral evil dan kejahatan alamiah/natural evil (Meister, 2009).
Kejahatan moral, yakni jenis kejahatan yang muncul dari seseorang atau beberapa pelaku yang secara sadar dan bebas melakukan tindakan yang salah secara moral. Termasuk dalam kejahatan moral ialah membiarkan orang lain mengalami penderitaan atau menjadi korban kejahatan, meskipun orang tersebut dapat menolongnya.