Tulisan ini lahir dari pertanyaan dasar atas kasus kemanusiaan yang diliput dan dikawal media ini belakangan. Tindakan anarkis manusia atas manusia yang diangkat sejujurnya mengugah-lapangkan tanggungjawab kemanusiaan dan karena itu mengundang kita semua untuk bertanya siapakah manusia itu dan atau dalam dialek Kupang: 'Orang NTT itu Sapa?'
Mengawali keprihatinan ini, saya memulai dengan meminjam pertanyaan dari Mochtar Lubis ketika merumuskan bagaimana manusia Indonesia masa kini di Taman Ismail Marzuki pada beberapa dekade lalu. Lubis menderetkan ciri-ciri manusia Indonesia dalam empat butir. Pertama, yang menonjol dari manusia Indonesia ialah sikap hipokrit.
Sikap ini merupakan produk penjajah, dalamnya kata hati, perasaan, pikiran malah keyakinannya tetap menyelubungi bagian luar dirinya karena ternyata menghidupkan dan menyelamatkannya. Kedua, manusia Indonesia segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikiran dan sebagainya dan karena itu berdalih, 'Saya hanya melakukan perintah atasan!' Ketiga, manusia Indonesia dengan jiwa feodalnya.
Oleh kekuasaanlah sikap ini diamini dalam kesadaran bahwa yang berkuasa hendaknya ditaati, dihormati, dipatuhi dan sebagainya. Sebab jika tidak demikian maka nasib yang dikuasai siap naas. Keempat, manusia Indonesia masih percaya tahyul. Adalah tabu bila benda, alam semesta dan tanda-tanda heran di luar akal sehat tidak diyakini bahkan tidak disembah, yang bersekolah sama seperti yang tidak bersekolah.
Tidak terhindar dari kritik atas kritik, Lubis sepertinya sudah jauh masuk ke wilayah nubari manusia Indonesia; bahwa bagi saya, pertanyaan ini belumlah final, defenisi manusia Indonesia belum mendekati kesempurnaan. Karena itu, pada akhirnya Lubis mengingatkan bahwa, 'sejarah bangsa Indonesia akan jadi historical irrelevance apabila kita tidak digugat dan menggugat.
Lantas, seperti apakah orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur? Di mana 'rasa' kita saat melihat para pekerja (TKI & TKW) kita dipulangkan dalam kondisi jazad? Berapa lama kita hanya bisa 'maklum' dengan persoalan itu? Dan berbagai pertanyaan lanjutan lainnya... // 'kawan, jawab jujur sa su, apa yang lu lihat dan lu alami' //
Mestinya, rentang pertanyaan kritis dibentang sejauh jumlah kasus yang ada setiap tahunnya, supaya kasus buta ini tidak sampai larut di pinggir timba. Dan kita atas nama narasi, entah agama atau budaya, martabat atau harga diri, anggapan atau praduga, haruslah keluar dari kenyamanan diri sendiri dan menemui orang lain, sebab bagi saya, orang lain bukanlah suatu entitas yang berbeda. Orang lain adalah 'saya yang lain'. Orang lain adalah saya yang berada di luar diri. Maka tepatlah, jawaban dari judul di atas: 'Orang NTT adalah 'saya' dalam bentuk lain.
Walau begitu, mata kita tak bisa terus terbutakan dengan keegoisan dan 'masa bodoh' yang tak bernurani. Sampai kapan saudara dan keluarga pihak korban berduka dirintikkan empati dan simpati murahan yang kita wujudkan.
Kita mesti segera menyelami dan melampaui sudut terdalam lubuk setiap orang NTT untuk menunjukkan bagaimana besar getarannya, di mana posisi asali gusarannya dan ada apa dengan sumber kegetirannya untuk sampai pada mengapa penjualan manusia, pembunuhan atasnya, serta kasus lainnya yang masih terselubung-sudah pasti-jauh dari liputan media.
Tragedi kemanusiaa di wilayah kita, kemarin dan akhir-akhir ini sudah sampai di ambang batas yang tak terseberangi mitos ataupun magis. Bagaimana dengan Yang Mahakuasa yang kita sembah saban hari mendengar suara-Nya dari antara mereka yang menderita, mati karena kelalaian kita, berjazad karena keteledoran kita?
Sampai titik manusiawi ini, kiranya frame yang humanis dalam kebudayaan kita bisa dijadikan dasar dalam menyelami luasnya masalah human trafficking. Suku Dawan (Uab Meto) dalam kalimat aok bian (harafiah: tubuh sebelah) menerima perlakuan manusiawi adalah tidak adil, mesti diadili. Yang dalam kastil kosmos patriarkal pun diberlakukan do ut des.