Serangan Terakhir
Fajar mulai menyingsing ketika Raden berdiri di puncak benteng, memandang ke arah cakrawala. Kabut pagi masih tebal, menutupi lembah di bawah benteng, namun di balik kabut itu, ia bisa merasakan kehadiran musuh yang sedang mempersiapkan serangan berikutnya. Hari itu akan menjadi hari penentu, hari di mana segala upaya mereka diuji hingga batas terakhir.
Para prajurit telah berkumpul di sepanjang dinding benteng, bersiap untuk serangan yang tak terhindarkan. Bagus, yang kini menjadi tangan kanan Raden, berdiri di sampingnya dengan wajah tegang. "Kabar terakhir dari mata-mata kita, Raden. Pasukan musuh telah menyusun kekuatan penuh. Mereka akan menyerang dalam hitungan jam."
Raden mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada kabut di depan mereka. "Aku sudah memperkirakannya. Ini adalah serangan terakhir mereka. Jika kita berhasil menahan mereka hari ini, kita akan memukul mundur penjajahan ini sekali dan untuk selamanya."
Bagus menatap pemimpinnya dengan penuh rasa hormat. "Kami semua siap mati demi tanah ini, Raden. Tapi aku percaya, di bawah kepemimpinanmu, kita akan menang."
Raden tersenyum samar, meski hatinya tetap penuh dengan kekhawatiran. "Tidak ada yang perlu mati hari ini, Bagus. Kita berjuang untuk hidup, untuk masa depan yang lebih baik. Itu yang harus kita ingat."
Saat matahari mulai meninggi, suara terompet perang terdengar dari kejauhan, menggema di antara bukit-bukit yang mengelilingi benteng. Kabut perlahan menghilang, memperlihatkan barisan pasukan musuh yang bergerak maju dengan bendera mereka berkibar di udara. Ini adalah serangan terbesar yang pernah mereka hadapi, dengan ribuan prajurit musuh siap menghancurkan benteng terakhir pertahanan Raden.
"Ini dia," gumam Raden pelan, mengambil posisi di tengah prajuritnya. "Semua prajurit, bersiaplah!"
Terompet perang dari pihak mereka pun dibunyikan, dan segera saja benteng itu hidup dengan aktivitas penuh. Para pemanah naik ke posisinya, siap melepaskan hujan panah ke arah musuh yang mendekat. Pasukan infanteri memegang erat tombak dan perisai mereka, sementara kavaleri di belakang bersiap untuk menyerbu saat pertempuran di depan mulai meletus.
Gelombang pertama musuh mulai mendekat. Mereka maju dengan penuh keyakinan, bersenjatakan perisai besar dan senjata tajam. Dari atas benteng, Raden bisa melihat komandan musuh memimpin langsung, membawa bendera besar penjajahan yang telah menghancurkan banyak tanah di seluruh negeri.