Lihat ke Halaman Asli

Dibbsastra

Penulis

The Cursed Boy with a Devil's Heart - Part 2

Diperbarui: 6 September 2024   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber Leonardo.ai

Ketika Sekolah Tak Lagi Diinginkan

Pagi itu, ketika matahari sudah memancar terang, Arka masih saja meringkuk di tempat tidurnya, sama sekali tidak menunjukkan niat untuk bangun. Suara lembut ibunya, Mira, yang memanggilnya berkali-kali hanya seperti angin lalu. Hari pertama sekolah setelah libur panjang, namun Arka seolah tidak peduli sama sekali. Mira, yang sudah terbiasa menghadapi sikap keras kepala anaknya, mencoba untuk tetap sabar.

"Arka, bangun, Nak. Nanti kamu terlambat ke sekolah," suara Mira terdengar pelan namun penuh harapan, berharap Arka mau bergerak. Namun, anak lelaki itu tetap terdiam, bahkan tidak ada gerakan sedikit pun. Dalam hatinya, Mira mulai merasakan kekhawatiran yang tak bisa dihilangkan. Selama beberapa hari terakhir, Arka semakin sulit diatur. Tak hanya itu, ucapannya mulai terdengar kasar, penuh kebencian, seolah-olah tidak ada lagi rasa hormat pada keluarga. Mira masih mencoba berpikir positif, meskipun setiap kali dia melihat Arka, perasaan aneh itu semakin kuat.

Mira mendekat lagi, kali ini mencoba membangunkan Arka dengan lebih tegas. "Arka, ayo bangun. Nanti kamu kesiangan." Meski suaranya lebih keras, namun tetap dengan kelembutan seorang ibu yang penuh kasih sayang. Namun, Arka tetap tidak merespons. Dia hanya berbaring dengan mata terpejam, meski Mira tahu bahwa anaknya tidak sedang tidur.

Akhirnya, merasa tak ada jalan lain, Mira keluar dari kamar Arka dan menemui suaminya, Iwan, yang sedang duduk di ruang makan. Iwan, meski kesehatannya sudah menurun drastis, tetap berusaha tampak kuat di hadapan keluarganya. Sambil menyeruput teh, Iwan tampak merenung. Dia tahu ada sesuatu yang salah dengan Arka, tapi selama ini dia lebih memilih menutup mata dan telinga, berharap masalah ini akan selesai dengan sendirinya.

"Pak, tolong bangunin Arka. Dia nggak mau bangun meski sudah kubangunkan berkali-kali," ucap Mira dengan nada penuh harap. Iwan menaruh cangkir tehnya, menghela napas panjang, lalu berdiri dengan susah payah. Dia tahu tugas ini tidak mudah, terutama dengan kondisi tubuhnya yang semakin lemah akibat penyakit jantung. Tapi sebagai kepala keluarga, dia merasa harus mengambil tindakan.

"Aku yang akan bangunin dia," ucap Iwan tegas. Meskipun hatinya diliputi kekhawatiran, dia tetap percaya bahwa sikap tegas adalah kunci dalam menghadapi Arka. Dengan langkah berat, Iwan berjalan menuju kamar anaknya. Ketika dia sampai, dia melihat Arka masih terbaring, tak bergerak sedikit pun.

"Arka, bangun!" suara Iwan terdengar keras dan tegas, tidak ada lagi kelembutan seperti Mira. Namun, Arka tetap diam, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Rasa frustrasi mulai menyelimuti Iwan. Dia mendekati ranjang dan mengguncang tubuh Arka dengan cukup keras. "Bangun! Jangan malas-malasan. Kamu harus sekolah!"

Alih-alih menurut, Arka membuka matanya perlahan. Tatapan dingin yang keluar dari mata anak itu langsung menusuk hati Iwan. "Aku nggak mau sekolah. Sekolah nggak penting," ucap Arka dengan nada mengejek. "Bapak aja yang bodoh karena masih pikir sekolah penting."

Kata-kata itu menghantam Iwan seperti petir di siang bolong. Wajahnya memerah, dan dadanya terasa semakin sesak. Napasnya mulai tersengal-sengal, tapi dia berusaha tetap tegar. "Apa kamu bilang?" suaranya terdengar marah, tapi Arka tidak menunjukkan rasa takut atau penyesalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline