Lihat ke Halaman Asli

Ferdiansyah Rivai

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Staf Khusus Presiden dan Wajah Lain Milenial

Diperbarui: 27 April 2020   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Generasi milenial Indonesia sedang mendapatkan ujian akibat adanya "skandal" yang menjerat tiga staf khusus milenial Presiden: Andi, Billy dan Belva. Jika dirangkum, kesalahan utama ketiga staf khusus milenial ini adalah kegagalan mereka dalam memutus rantai "hubungan gelap" bisnis-pemerintah yang sudah lama menjadi problematika negara ini. Masyarakat akhirnya kecewa karena mereka tampak tak beda dengan generasi-generasi sebelumnya yang dianggap suka sekali memanfaatkan posisi dan koneksi di pemerintahan demi melancarkan agenda-agenda bisnis pribadi.

Khusus untuk Belva, ada kesalahan tambahan dimana ia sebagai milenial yang sangat melek teknologi, seharusnya memberikan nasehat kepada presiden tentang konsep "pelatihan online" yang berbiaya murah tapi mampu menjangkau masyarakat di seluruh pelosok Indonesia (bahkan yang belum tersentuh internet). Dengan dana (yang saya rasa) tak sampai triliunan, pemerintah bisa membiayai pelatihan online mulai dari: pembuatan konten, pembuatan kanal, hingga sosialisasi dan evaluasinya. Bahkan Kemendikbud sendiri punya kanal belajar daring yang bernama "Rumah Belajar". Mengapa bukan itu saja yang dikembangkan?

Dengan hadirnya "skandal" ini, anak-anak muda Indonesia diambang krisis kepercayaan. Secara pribadi saya kembali mendengar cuapan-cuapan orang tua yang mengatakan "sudahlah.. memang usia segitu belum matang, belum berpengalaman". Yang parah kemudian anak-anak muda pun ada yang ikut menggerutu "beri saya 10 pemuda, maka akan saya guncang kas negara". Untuk mengcounter itu, maka wajib bagi saya untuk menghadirkan wajah-wajah lain generasi milenial Indonesia.

Dalam situasi pandemi covid-19 ini, bermunculan wajah-wajah milenial yang berbeda dengan kisah di atas. Di Palembang misalkan, ada sebuah kolektif bernama Sriwijaya Youth Action, yang kemudian berinisiatif untuk melakukan aksi-aksi sosial dalam meredam dampak buruk ekonomi dan kesehatan yang disebabkan oleh Covid-19.

Ketika pemerintah masih sibuk menggodok kebijakan penanganan, mereka sudah terlebih dahulu memiliki rencana aksi. Mereka menggalang kekuatan sipil, berkolaborasi dengan banyak kelompok, menggalang donasi dengan menjual karya-karya yang bisa mereka hasilkan (jual kaos, lelang koleksi musik, dll), lalu kemudian membuat dapur umum, membagikan makanan pada kelas miskin kota terdampak, membagikan alat-alat medis bagi tenaga kesehatan, memberikan selebaran berisi pengetahuan-pengetahuan mengenai Covid-19 kepada masyarakat yang tidak terpapar informasi, dan selalu melaporkan detil dan biaya kegiatan sebagai bentuk transparansi.

Aksi-aksi seperti ini juga dilakukan oleh individu-individu yang saya kenal. Mereka mendata masyarakat terdampak, menggalang donasi, mengkaji bantuan apa yang diperlukan lalu membagikannya, tanpa mendapat reward finansial apapun. Ada pula yang membantu masyarakat mengintegrasikan usaha kecil ke dalam platform daring, agar usaha kecil masyarakat ini tetap bisa berjalan. Lalu, sekelompok anak muda di kampus saya juga menggalang dana untuk diberikan pada sopir-sopir bus yang harus kehilangan mata pencaharian karena mahasiswa diminta berada di rumah saja.

Mereka ini bukannya anak-anak muda yang tidak mengerti perkembangan dunia digital global, mereka hanya tahu bahwa saat ini yang terpenting adalah menjalin solidaritas dan membangun kolaborasi. Mereka juga tidak terjebak fantasi untuk menjadi "tokoh". Mereka layak jadi stafsus presiden, tapi mereka tidak mau karena ada hal yang lebih penting dari itu.

Dan yang pasti, mereka juga adalah milenial yang mengerti bahwa di saat seperti ini, yang lebih dibutuhkan masyarakat adalah bantuan bahan-bahan pokok kehidupan yang sifatnya langsung.

Dan ini tentu ironi jika disandingkan dengan fakta bahwa pemerintah tetap ingin menggelontorkan dana kartu prakerja sebesar triliunan rupiah, yang jika dikonversi menjadi bahan pokok akan sangat menolong banyak orang. Apalagi pelatihan-pelatihan online yang disediakan kartu prakerja tersebut konon adalah konten-konten yang jamak ditemukan di kanal-kanal online gratis.

Parahnya, ada staf-staf khusus milenial yang seharusnya bisa membisikkan hal ini kepada presiden. "Maaf Presiden, pelatihan ini sepertinya belum urgent, lebih dananya kita alihkan untuk kebutuhan pokok masyarakat. Kalo Presiden tidak bersedia, perusahaan saya akan mundur, saya pun akan mundur dari jabatan staf khusus ini untuk bergabung dengan masyarakat yang sedang kesusahan".

Ketika Jokowi mengumumkan nama-nama Staf Khusus Milenialnya, jujur tidak ada satupun namanya yang familiar bagi saya. Tapi muncul dua pertanyaan waktu itu: pertama, mengapa nama-nama ini didominasi oleh pengusaha ya? Kedua, mengapa pengusaha-pengusaha pemuda ini mau-maunya masuk ke dalam lingkaran pemerintahhan? Saya coba membandingkan dengan pengusaha-pengusaha muda di negara maju seperti Amerika Serikat yang cenderung memilih berjarak (bukannya tidak berhubungan) dengan pemerintahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline