Semula bukan topik ini penulis rencanakan, melainkan melanjutkan ulasan sekaligus mengomentari tulisan beberapa kompasianer tentang rokok yang diperbincangkan diruang kompasiana ini.
Menjelang memulai lanjutan tulisan link ini, http://www.kompasiana.com/dibalikfakta/saat-minuman-keras-menjadi-pilihan-pengganti-rokok_57baf4100023bda43634468b, tanpa sengaja penulis memperhatikan sampul buku pelajaran anak yang sedang ia baca usai dibeli oleh ibunya beberapa waktu lalu secara eceran.
Awalnya penulis menyarankan agar isteri cukup mendownload buku-buku pelajaran yang memiliki label BSE. Namun saran tersebut ditolaknya dengan alasan saban kali menemani anak belajar cukup merepotkan jika harus mencetak halaman demi halaman terlebih dahulu menggunakan printer. Sementara harga buku yang dibeli juga mahal mencapai Rp.40.000,-, padahal batas tertinggi harga jual buku tersebut sesuai label yang tertulis disampul belakang buku hanya berkisar Rp.6.000,- Apalagi masa berlaku buku yang digunakan melebihi masa berlakunya, yaitu 5 tahun. Namun tetap digunakan ditempat anak bersekolah hingga saat ini.
Perhatian penulis tertuju pada sampul buku teks pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan bertanya-tanya tentang cara penulisannya yang (kayaknya) tidak sesuai kaidah ejaan bahasa Indonesia dengan benar.
Penulis sendiri ragu untuk mengatakan bahwa teknik penulisannya tidak sesuai ejaan yang disempurnakan. Mungkin pembaca kompasiana lebih memahami bagaimana menggunakan bahasa Indonesia dengan benar dibanding penulis yang awam ini. Apalagi sesuai pernyataan yang dimuat pada kata pengantar buku oleh Kepala Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional kala itu, buku teks pelajaran ini telah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan telah ditetapkan sebagai buku teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2008. Hebatkan? Bahkan tidak hanya dihalaman sampul, namun seluruh isi buku hingga halaman terakhir ditulis dengan huruf kecil semua dan tidak disertai tanda baca. Ada apa dengan penulisan buku ini? Apakah ada mazhab baru tentang tulis menulis dalam bahasa Indonesia? Sampai-sampai anak saya ikut-ikutan menulis pakai huruf kecil dan tidak pakai tanda baca.
Lebih hebatnya lagi, penulisan serupa juga terulang pada buku siswa mata pelajaran lainnya, yaitu Akidah Akhlak yang diterbitkan pada tahun 2014.
Penulis pun mencoba menggali informasi untuk menjawab sebuah bahan teks layak menjadi buku pelajaran dan dinyatakan lolos oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Hasilnya kok malah bertolak belakang. Membingungkan! atau perannya sekadar tukang stempel.
Rupanya masih ada lagi contoh buku seperti diatas. Herannya buku aneh ini malah mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kasihan Indonesiaku.
Buku-buku ini sudah dicetak, sudah di edarkan, sudah dipergunakan, masih digunakan, sudah lulus seleksi oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Hasilnya seperti yang sudah kita lihat. Para penulisnya juga sudah mendapat bayaran dari pemerintah, para pegawai pemerintah juga sudah mendapat bayaran dari negara untuk memeriksa dan meloloskannya. Hasil pekerjaannya ya seperti yang sedang disaksikan ini. Sementara para guru mendapat pembayaran tunjangan profesi guru juga menggunakannya setiap hari selama bertahun-tahun dan anehnya juga diam.
Untuk itu, mari periksa buku-buku anak-anak kita sepulang mereka sekolah.
Nah, saya juga membandingkan buku-buku terbitan perusahaan swasta dengan harga lebih mahal, tulisan didalamnya wajar dan sesuai kaidah penulisan berbahasa Indonesia.