Lihat ke Halaman Asli

Pemahaman Terkait Penentuan BUT di Indonesia dan Contoh Kasus Sengketanya

Diperbarui: 20 Oktober 2021   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pemahaman Terkait Penentuan BUT di Indonesia

  • Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini, batas geografis antar negara di dunia semakin memudar. Dari hal tersebut, banyak pengusaha dari berbagai negara dapat melakukan kegiatan di mana saja selain di negara domestiknya atau negara tempat kedudukannya. Kegiatan yang dimaksud tersebut berupa perluasan kegiatan yang biasanya dilakukan dengan cara mendirikan anak perusahaan dan/atau membuka cabang perusahaan di negara lain. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat dikatakan sebagai perusahaan multinasional yang mengoperasikan kegiatan perluasan tersebut di luar negeri. Perusahaan multinasional yang mengoperasikan cabangnya di Indonesia baik berdasarkan peraturan-peraturan domestik yang ada maupun Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) ditetapkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang dikenal dengan nama Bentuk Usaha Tetap (BUT).

  • Gambaran Umum Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan Subjek Pajak Luar Negeri (non-resident taxpayer), baik orang pribadi (nature person) maupun badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Batasan waktu 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan ini diterapkan apabila Indonesia dan negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki Tax Treaty atau P3B. Akan tetapi, apabila antara Indonesia dengan negara asal perusahaan tersebut terdapat Tax Treaty atau P3B maka batasan waktu sebagai BUT yang berlaku mengikuti perjanjian yang disepakati kedua negara tersebut.

Pada Pasal 2 Ayat (5) UU PPh, menyebutkan bahwa BUT yang menjadi subjek Pajak Penghasilan saat ini terdiri atas 16 bentuk usaha, yaitu sebagai berikut.

  1. Tempat kedudukan manajemen;
  2. Cabang perusahaan;
  3. Kantor perwakilan;
  4. Gedung kantor;
  5. Pabrik;
  6. Bengkel;
  7. Gudang;
  8. Ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
  12. Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan;
  13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
  14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi eklektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet
  • Penentuan BUT di Indonesia

Pada dasarnya, setiap negara mengatur ketentuan mengenai pemajakan untuk Permanent Establishment (PE) yang ada di negaranya masing-masing dengan berkaca pada Model P3B dan mengembangkannya sendiri. Begitu pula Indonesia, Indonesia mengatur ketentuan terkait BUT dalam UU domestiknya mulai dari wujud atau rupa BUT itu sendiri, kriteria penentuan BUT, kewajiban perpajakan yang timbul atas BUT, dan sejenisnya. Kewajiban pajak subjektif SPLN dengan BUT dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT dan berakhir pada saat orang pribadi atau badan tidak lagi menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu BUT.

Penentuan keberadaan suatu BUT di Indonesia tentunya telah diatur dalam UU domestik dengan memperluas cakupan terkait BUT yang telah didefinisikan dalam Model P3B. Penentuan keberadaan BUT di Indonesia diatur dalam UU PPh Pasal 2 ayat (5) yang telah didefinisikan sebelumnya di atas pada bagian gambaran umum BUT di Indonesia. Kemudian dari penjelasan Pasal 2 ayat (5) tersebut, Indonesia menjelaskan lebih lanjut terkait kriteria terbentuknya suatu BUT di Indonesia dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 (PMK-35) yaitu sebagai berikut.

  1. Adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia

Tempat usaha tersebut merupakan segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin, peralatan, atau gedung, yang tersedia untuk digunakan oleh SPLN dalam menjalankan kegiatan usahanya. Keberadaan tempat usaha tersebut terpenuhi tanpa memperhatikan apakah tempat tersebut dimiliki, atau disewa SPLN, atau apakah SPLN tersebut secara hukum berhak menggunakan tempat tersebut.

       2. Tempat usaha bersifat permanen

Kriteria “permanen” dalam hal ini mencakup dua hal, yaitu digunakannya tempat usaha tersebut secara kontinu atau terus-menerus dan tempat tersebut berada di lokasi geografis tertentu, yang dalam hal ini diartikan sebagai aspek temporal dan geografis. Terus-menerus disini diartikan bahwa tempat usaha tersebut menjalankan kegiatan usahanya yang sifatnya tidak sekadar insidental atau sesekali saja. Akan tetapi, sampai waktu yang belum tahu kapan akan berakhir atau tidak ada rencana awal yang mana sudah ada batasan waktunya.

      3. Tempat usaha digunakan SPLN untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline